Oleh: Akhmad Yusuf Muzaqi, Mahasiswa UIN Salatiga
Menurut pemahaman saya, demokrasi tidak hanya sebatas memilih presiden, kepala daerah, dan sebagainya, tetapi juga tentang bagaimana kita saling menghargai pendapat dan usulan orang lain. Saya pernah mengalami sendiri situasi di mana pendapat teman saya sama sekali tidak dihargai.
Pengalaman ini terjadi saat saya mengikuti kepanitiaan dalam sebuah organisasi daerah di Salatiga, tepatnya ketika berlangsung kegiatan Musyawarah Besar (Mubes). Saat itu terjadi perbedaan pendapat antara kakak tingkat dan teman saya yang juga merupakan mahasiswa baru. Perbedaan pendapat tersebut sempat membuat suasana menjadi gaduh beberapa kali. Pada akhirnya, keputusan yang diambil adalah mengikuti pendapat kakak tingkat tanpa adanya kesepakatan yang jelas. Kami sebagai mahasiswa baru hanya bisa diam, karena merasa belum memahami sistematika musyawarah besar tersebut.
Dari pengalaman itu, saya mulai memahami bahwa demokrasi bukan hanya soal memilih sesuatu secara bersama-sama, tetapi lebih dari itu—yaitu tentang bagaimana kita menghargai pendapat orang lain tanpa menimbulkan perselisihan. Sikap demokratis harus dimulai dari diri sendiri, dengan berani berbicara, menjadi pendengar yang baik, dan jika pendapat kita tidak diterima, kita harus bisa menerima dengan lapang dada.
Saya juga belajar dari pengalaman lainnya di tempat kost yang saya tinggali sekarang. Di kost tersebut hanya ada satu dapur dan satu kompor gas yang masih berfungsi, yang digunakan oleh lima orang. Suatu ketika, saat saya ingin memasak, dapur sangat kotor—piring dan gelas tidak dicuci, sampah berserakan. Saya pun mengusulkan adanya jadwal piket harian agar kebersihan dapur bisa terjaga. Namun, usulan tersebut langsung ditolak dengan alasan “dari dulu memang tidak pernah ada jadwal piket seperti itu”.
Saya pun berpikir bahwa demokrasi tidak berjalan jika segala sesuatu selalu dibenarkan hanya karena “dari dulu memang begitu”. Seharusnya, demokrasi membawa perubahan ke arah yang lebih baik, bukan justru terjebak dalam kebiasaan lama yang tidak efektif.
Dari kedua pengalaman tersebut, saya belajar bahwa demokrasi sejati adalah tentang menghargai dan mendengarkan, bukan memaksakan kehendak atau mempertahankan kebiasaan lama yang tidak membangun.