Oleh: Kodrat Alamsyah, Ketua Bidang Kajian Strategis PW GPII Jawa Tengah
Media social di bulan kemerdekaan ini diramaikan oleh wacana pengibaran bendera Jolly Roger dari anime One Piece. Aksi ini dianggap sebagian orang sebagai bentuk ekspresi generasi muda atas kemerdekaan—bebas, kreatif, dan simbolik.
Wacana tersebut direspon negara dengan narasi negatif. Sejumlah pejabat mengingatkan agar masyarakat tidak sembarangan mengibarkan simbol selain bendera negara. Bahkan, ancaman sanksi mulai disuarakan atas dasar penghormatan terhadap lambang negara.
Sikap ini menimbulkan pertanyaan: mengapa negara mudah tersinggung terhadap ekspresi budaya pop rakyat, sementara simbol yang sama pernah digunakan oleh elit tanpa masalah?
Pilpres kemarin misalnya, Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming terlihat mengenakan pin bergambar logo bajak laut dari One Piece. Potret itu tersebar luas dan dipuji sebagai gaya milenial yang keren dan dekat dengan Gen Z.
Gibran tidak sendiri. Banyak politisi saat kampanye menggunakan simbol budaya populer demi menjangkau suara anak muda. Ketika digunakan elite, simbol pop culture dinilai “gaul”. Tapi saat rakyat melakukannya, kok tiba-tiba dicurigai dan dianggap mengancam nasionalisme?
Sejauh penelusuran penulis, tidak ada aturan yang benar-benar dilanggar. UU Nomor 24 Tahun 2009 memang mengatur penghormatan terhadap bendera Merah Putih, tapi tidak secara eksplisit melarang penggunaan simbol non-negara dalam konteks informal atau ekspresi pribadi.
Selama bendera One Piece tidak menggantikan Merah Putih di forum resmi, maka tindakan itu berada di ruang aman. Menuduhnya sebagai pelanggaran hukum menunjukkan kecenderungan negara memelintir tafsir demi membatasi kebebasan simbolik.
Profesor Ni’matul Huda, pakar hukum tata negara, menyebut tafsir terhadap simbol negara harus proporsional. Tak semua ekspresi budaya adalah ancaman. Tafsir hukum tidak boleh didasarkan pada ketakutan negara yang berlebihan.
Simbol tak pernah netral. Ia hidup dari makna yang dilekatkan masyarakat. Dalam Buku Imagined Communities, Benedict Anderson menjelaskan bahwa bangsa dibentuk oleh simbol-simbol yang dibayangkan bersama oleh rakyatnya.
Simbol bukan milik negara semata. Ia bisa lahir dari bawah—dari pengalaman kolektif, media populer, atau narasi perjuangan yang relevan secara emosional bagi generasi tertentu.
Bendera Straw Hat Pirates bukan sekadar ikon bajak laut. Ia membawa narasi perlawanan terhadap tirani, solidaritas, dan kebebasan mengejar mimpi. Nilai-nilai itu justru sejiwa dengan semangat kemerdekaan itu sendiri.
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin kebebasan menyatakan pendapat, termasuk lewat simbol. Selama tidak menyerang negara, ekspresi itu sah dan tidak sepatutnya dibungkam dengan tafsir hukum yang lentur demi ketertiban semu.
Jika negara merasa terganggu oleh bendera bajak laut yang dikibarkan di beranda rumah warga, barangkali masalahnya bukan pada benderanya, tapi pada rasa takut negara kehilangan kendali atas makna kemerdekaan itu sendiri.
Generasi muda hari ini tidak ingin menjadi penghafal teks proklamasi saja. Mereka ingin memaknai merdeka dengan cara yang kontekstual, simbolik, dan menyenangkan. Jika itu dianggap mengganggu, lalu apa arti merdeka sebenarnya?
Bendera One Piece bukan hanya soal fandom. Ia jadi ruang pelarian simbolik bagi generasi yang lelah melihat aparat brutal pada mahasiswa, elite rakus atas anggaran, dan hukum yang tebang pilih, tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Negara yang bijak tidak akan tersinggung oleh simbol rakyatnya. Ia justru hadir mendengar, mengayomi, dan mengakui bahwa nasionalisme hari ini tidak bisa lagi dibatasi oleh pakaian resmi, lagu kebangsaan, dan bendera merah putih semata.
Nasionalisme hari ini bisa berbentuk pin di dada, gambar bajak laut di jaket, atau bahkan meme di Twitter. Bila esensinya tetap cinta negeri dan semangat merdeka, biarlah rakyat bebas berekspresi. Sebab, itulah inti dari kemerdekaan.