Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Cerpen

Butiran Abadi

×

Butiran Abadi

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Namaku Danyi. Aku berusia 16 tahun, duduk di kelas 11. Sejak kecil aku percaya bahwa semua yang terjadi adalah takdir—sesuatu yang tak bisa diubah, apalagi diulang. Takdir adalah lukisan semesta yang digoreskan Tuhan. Jadi, ketika ada orang berkata bahwa kita bisa mengubah takdir, jujur saja aku tak pernah benar-benar percaya. Namun tanpa kusadari, kakak tertuaku, Rais, menyimpan sebuah rahasia besar selama 23 tahun hidupnya. Rahasia itu tak pernah ia bagikan kepada siapa pun, bahkan kepada orang tuaku. Dan rahasia itu terbongkar olehku ketika umurnya berhenti di angka 24.

Suasana yang paling kubenci adalah saat rumahku penuh sesak oleh orang-orang berpakaian hitam. Isakan terdengar di seluruh ruangan, dan di depan rumah sudah terpasang bendera kuning. Aku tak tahu harus berbuat apa. Duka ini datang begitu saja, tanpa diundang.

Example 300x600

Aku memperhatikan tamu-tamu yang berdatangan. Beberapa kukenal, sebagian lainnya tidak. Wajah mereka sama: penuh kesedihan. Seharusnya aku juga menunjukkan ekspresi serupa, tapi entah kenapa aku tak tahu caranya.

Tangisan yang terus terdengar sepanjang hari akhirnya ditutup dengan penguburan kakakku sore tadi. Aku hanya bisa merasa hampa. Tak ada lagi yang akan mengomeliku karena bangun kesiangan, tak mengerjakan tugas, atau tidak membereskan kamar. Rasanya seperti kehilangan sosok Mamah—versi cerewet dan kasar. Aku merebahkan tubuh di sofa yang tadi disingkirkan dari ruang tamu, menatap langit-langit dengan tatapan kosong.

“Nyinyi, lusa kamu bisa bantu Mamah bereskan barang-barang kakakmu di kamarnya? Kalau ada yang tidak terpakai bisa kita sumbangkan ya?” Suara Mamah mengejutkanku dari belakang. Aku menatapnya seksama. Matanya sembab karena sejak pagi tak kuasa menahan tangis. Suaranya lelah, tubuhnya terlihat semakin menua dan kurus. Aku hanya mengangguk pelan, membiarkannya pergi entah ke mana.

Dua hari kemudian, aku dan Mamah mulai membongkar kamar Kakak. Rasanya seperti membuka majalah lama yang masih terjaga baik. Aroma parfum koleksinya menyeruak. Lemari besar penuh buku tampak rapi, tak ada satu pun yang rusak. Rencananya, kamar ini akan dijadikan ruang baca karena banyaknya buku, meski Ayah lebih suka menjadikannya ruang kerja. Aku tentu mendukung Mamah, dan akhirnya suara terbanyak dimenangkan olehnya.

Di meja belajar Kakak, aku menemukan sebuah jam pasir berukuran sedang. Pasir di bagian atas sudah habis turun ke bawah. Pasirnya cukup banyak, mungkin berdurasi lebih dari lima menit. Aku mengangkatnya, alisku terangkat heran. Untuk apa Kakak punya jam pasir seperti ini? Bukankah zaman sudah serba canggih? Stopwatch atau alarm di ponsel jauh lebih praktis.

“Mah, jam pasir Kakak aku simpan di kamarku ya. Siapa tahu berguna.”
Mamah hanya mengangguk, lalu kembali membereskan lemari. Aku menaruh jam pasir itu kembali ke meja, lalu melanjutkan beberes.

Setelah selesai, barang-barang Kakak sudah tertata dalam beberapa kardus. Dua kardus berisi pakaian dan buku pelajaran untuk disumbangkan ke panti asuhan. Satu kardus lainnya, yang dipacking oleh Mamah dan Mbok, akan disimpan di gudang.

Aku membawa jam pasir itu ke kamar, menaruhnya di meja belajar. Kupandangi sebentar, masih heran mengapa Kakak membelinya. Tapi kuputuskan untuk menjadikannya pajangan saja.

Malam harinya, aku kembali memperhatikan jam pasir itu. Lalu kucoba membaliknya.

BUM!
Sekejap pandanganku memudar. Rasanya seperti ada tangan besar menarikku. Saat sadar, aku berada di ruang kelasku. Kebingungan masih menyelimuti, hingga Ayla—teman dekatku—datang sambil tersenyum dan mengajakku ke kantin. Aku sempat menolak, tapi tanganku sudah lebih dulu ia tarik.

Di kantin, saat ia pergi membeli bakso, aku berusaha mengingat-ingat. Lalu aku sadar! Ini adalah hari saat aku disiram jus oleh kakak kelas karena disangka mendekati sahabat cowoknya. Padahal sahabat cowoknya itu—jujur saja—mirip kecoa menurutku. Dari peristiwa itulah, aku dan dia bertengkar hebat.

Karena sudah tahu alurnya, aku bertekad mengubah sedikit jalannya. Bukan untuk melempar meja (meski sempat terlintas, hehe), tapi agar tak terjadi perkelahian.

Dan benar, momen itu tiba. Aku melihat gerombolan kakak kelas dengan make-up tebal. Salah satunya membawa jus mangga. Aku berdiri, berharap bisa menghindarinya. Namun mereka justru menyapaku. Salah satu mendekat, siap memulai keributan. Saat itu, Ayla kembali dengan es teh di tangannya. Ia merangkulku, lalu kami pergi bersama meninggalkan kantin. Kali ini tak ada pertengkaran.

DEG!
Aku terkejut. Jadi benar, aku kembali ke masa lalu? Bagaimana bisa? Rasanya aneh, sekaligus menyenangkan karena berhasil menghindari pertengkaran. Tapi aku juga bertanya-tanya: apakah masa depan ikut berubah?

Keesokan harinya, saat kuberitahu Alya, ia malah bingung. Katanya, ia tak pernah melihatku bertengkar dengan kakak kelas. Aku tercekat. Berarti… jam pasir ini benar-benar bisa mengubah masa depan?

Sejak saat itu, aku memutuskan untuk menyimpan rahasia ini dari Mamah. Namun tubuhku mulai terasa aneh, meski aku belum tahu apa penyebabnya.

Rasa penasaran mengalahkan rasa takut. Aku kembali membalik jam pasir itu. Kali ini aku terlempar ke acara kumpul keluarga besar dari pihak Ayah. Sosok yang kutemui adalah Kavi, sepupuku yang lebih tua tiga tahun. Biasanya kami selalu lengket setiap kali acara keluarga, tapi aku selalu menyesal karena tak banyak mengobrol dengannya. Kini, aku punya kesempatan.

Aku menikmati momen itu. Kami banyak bicara, tertawa bersama, hingga waktu berlalu tanpa terasa. Saat acara usai, aku sedih, tapi juga lega karena tak lagi menyimpan penyesalan.

DEG!
Aku kembali ke kamarku. Senyum tak henti menghiasi wajahku. Tapi rasa khawatir tetap ada: apakah jam pasir ini menyimpan efek samping?

Aku teringat diary Kakak yang kutemukan saat beres-beres. Bergegas aku masuk ke kamarnya dan mencari buku bersampul biru dengan gambar bulan. Saat membukanya, aku menemukan catatan Kakak tentang jam pasir itu.

17 Oktober 2021 – 03:46 – Pouring Rain

Malam ini aku bermimpi aneh. Dalam mimpi itu ada seorang perempuan bergaun putih lusuh, duduk di ayunan taman. Rambutnya panjang terurai. Saat kuajak bicara, ia tak menjawab. Lalu ia berkata dengan bahasa asing. Setelah melihat aku tak paham, ia berkata jelas:
“Waktumu tinggal tiga hari lagi, Rais. Kau sama saja seperti manusia lain—serakah. Padahal aku berharap jam pasir itu kau gunakan dengan bijak. Kau mengecewakanku.”

Ia lalu menatapku dengan mata merah penuh kebencian. Aku takut. Aku sadar ia berbicara tentang jam pasir yang kutemukan di antara toko-toko.

Sejak saat itu dadaku sering terasa sesak. Aku tahu ini ada hubungannya dengan jam pasir. Aku menyesal menggunakannya terlalu sering, hanya demi mengubah hal-hal kecil. Tapi aku tak ingin merepotkan Ayah dan Mamah.

Kudengar detak jantungku semakin kencang setelah membaca catatan itu. Jadi benar, setiap kali jam pasir digunakan, umur pemakainya berkurang. Kakakku menggunakannya berulang-ulang hingga akhirnya… ia pergi terlalu cepat.

Aku menggenggam diary itu erat. Aku takut bernasib sama. Aku bertekad tak akan pernah lagi menggunakan jam pasir itu, apa pun alasannya.

Jam pasir itu tetap kusimpan di kamarku, hanya sebagai pajangan. Setiap kali ada yang bertanya, aku hanya menjawab:
“Itu hiasan, kenang-kenangan dari Kakakku.”

Oleh: Fahma Kaifia Deena, Santri-Murid Planet Nufo Rembang

13 September 2025

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen

Oleh: Keysaralituhayu, Santri-Murid Kecil (Sancil) Planet Nufo Rembang…

Cerpen

“Hidup itu memang susah. Jadi, kita tetap harus…

Cerpen

Oleh: Nawwaf Absyar Rajabi, Santri-Murid SMP Alam Nurul…

Cerpen

Oleh: Sultan Murad Arkan Nurrahmat, Santri-Murid Kelas VII…