Oleh: Shidqin ‘Aliya
Dulu, di puncak Jabal Nur, dalam kesunyian Gua Hira yang disinari bintang-bintang, seorang manusia pilihan diliputi kerisauan yang dalam. “Siapa yang akan percaya?” bisik hati Muhammad bin Abdullah. Kekhawatiran itu membayangi wahyu pertama yang agung, “Iqra’!” Sebuah amanat Maha Tinggi, sebuah risalah yang akan mengguncang fondasi jahiliyah, diterima oleh seorang yang dikenal jujur dan terpercaya namun khawatir akan pengakuan manusia. Bagaimana mungkin Quraisy yang menyembah berhala akan menerima seruan tauhid? Bagaimana mungkin hati yang keras akan tunduk pada pesan kasih dan keadilan? Kekhawatiran Sang Nabi adalah kekhawatiran seorang kekasih yang membawa mutiara kebenaran ke tengah kegelapan, takut mutiara itu tak dikenal nilainya.
Kini, berabad-abad kemudian, gema kekhawatiran itu masih terdengar namun telah berpindah tangan. Bukan lagi kekhawatiran akan pengakuan atas kenabian, melainkan kerisauan yang menghantui dada setiap insan yang mengaku mencintainya: “Akankah aku diakui sebagai umatnya?”
Kekhawatiran Nabi SAW terpupus oleh cahaya iman yang tumbuh di Madinah, Mekkah, dan meluas ke seantero jagad. Kalimat Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah bergema dari bibir jutaan, lintas zaman dan bangsa, membuktikan Allah SWT telah memenangkan risalah kekasih-Nya. Kenabiannya telah terpatri dalam sejarah, diakui oleh hati yang jernih dan akal yang tercerahkan.
Kini, giliran kita. Kekhawatiran kita bukan lagi tentang kebenaran risalahnya, tapi tentang kesetiaan kita pada jejaknya. Di tengah gemerlap dunia yang memalingkan, di antara riuh nafsu yang mengaburkan, muncul pertanyaan yang menusuk: “Sudahkah hidupku mencerminkan akhlakmu, ya Rasulullah? Sudahkah cintaku padamu terwujud dalam ketaatan dan keteladanan?”
Kita takut tidak diakui bukan karena keraguan akan kemuliaannya, tetapi karena kesadaran akan kekurangan diri. Takut amal kita terlalu tipis dibanding luasnya syafa’atnya. Takut hati kita lebih banyak diisi keduniaan daripada kerinduan akan sunnahnya. Takut lisan kita lebih fasih menyebut nama selainnya daripada melantunkan sholawat. Takut kaki kita lebih cepat menuju kemaksiatan daripada menelusuri jalan yang ia rintis dengan tetesan darah dan air mata.
Inilah tanda cinta sejati. Kerinduan untuk diakui sebagai umatnya adalah nyala iman dalam hati. Ia adalah pengakuan bahwa gelar “Umat Muhammad” bukan sekadar warisan keturunan, melainkan amanah yang harus diperjuangkan setiap saat. Ia adalah motivasi untuk terus belajar tentang sirahnya, menghidupkan sunnahnya, meneladani kesabarannya yang tak bertepi, kejujurannya yang tak tergoyahkan, kasih sayangnya yang menyelimuti semesta, dan keteguhannya menegakkan kalimat Illah.
Ya Rasulullah, kekhawatiranmu dulu telah Allah ganti dengan keabadian namamu. Kini, ijinkan kami menjadikan kerisauan kami – takut tidak diakui sebagai umatmu – sebagai lentera pengingat. Agar kami tak lalai, agar kami terus berbenah, agar setiap helaan nafas dan langkah kaki ini berusaha setia menapaki jalan yang kau terangi.
Semoga kelak, di padang mahsyar yang penuh keagungan, ketika kau berdiri sebagai pemilik panji pujian (Liwa’ al-Hamd), kami bisa merapat dengan penuh harap, dan kau bersabda dengan senyum nan indah, “Itu umatku.” Karena pada hakikatnya, pengakuan terindah bukanlah dari bibir manusia, melainkan dari Sang Nabi di hadapan Rabbul ‘Alamin, atas kesungguhan kita mencintainya dengan segenap jiwa dan raga.
Sungguh, engkau adalah cahaya yang kekal. Kekhawatiranmu telah pupus menjadi sejarah gemilang. Kini, biarkan kerinduan dan ketakutan kami menjadi bukti cinta yang berusaha setia, meniti jejakmu hingga akhir zaman.