Oleh: Nawwaf Absyar Rajabi, Santri-Murid SMP Alam Nurul Furqon Rembang
Angin sore berhembus pelan, menebarkan harum tanah yang baru saja disiram hujan. Di kejauhan, senja menjingga menari di balik rimbun pepohonan, seolah membisikkan bahwa segala yang pergi pasti akan diganti dengan yang lebih baik—jika hati tetap sabar, dan langkah tetap lurus di jalan-Nya.
Adam duduk di beranda masjid kecil itu. Di tangannya tergenggam buku lusuh berjudul Tazkiyatun Nafs, hadiah dari almarhum ayahnya. Pandangannya kosong menatap hamparan sawah yang mulai menguning. Bukan hanya mata, tapi hatinya pun lelah. Tiga tahun lalu ia meninggalkan Jakarta, setelah gagal dalam ujian hidup—ditinggal ibunda, dipecat dari kerja, dan gagal menikah dengan perempuan yang ia cintai diam-diam selama bertahun-tahun.
Kini ia kembali ke kampung halaman, menjadi guru ngaji untuk anak-anak desa dan kadang membantu memanen padi. Ia tak banyak bicara, tapi diamnya menyimpan lautan yang dalam.
Suatu sore, saat hujan turun rintik-rintik, ia melihatnya. Seorang perempuan berjilbab biru tua sedang memunguti daun yang jatuh di halaman madrasah. Gerak-geriknya pelan, penuh adab. Adam tak tahu namanya. Hanya mendengar desas-desus bahwa dia anak ustaz baru yang datang dari Yogyakarta. Namanya Zahra.
Hari-hari berlalu, dan setiap kali Adam membersihkan masjid atau mengajari anak-anak, Zahra selalu datang, duduk jauh di pojok serambi, menulis sesuatu di buku catatannya. Tak pernah menyapa, tak pernah menatap lama. Tapi cukup untuk membuat hati Adam kembali bertanya: apakah Allah sedang menguji lagi, atau memberi kesempatan yang baru?
Namun Adam tahu batas. Ia menjaga jarak, menjaga pandangan. Ia percaya, jika memang cinta itu suci, ia tak perlu dikejar dengan nafsu. Ia cukup dititipkan dalam doa.
Suatu malam, saat langit penuh bintang, Adam menulis sepucuk surat. Isinya tak panjang. Hanya sebuah pengakuan yang dalam: “Jika aku jatuh cinta, maka biarlah cinta ini tetap dalam sujudku. Jika aku menginginkanmu, maka biarlah aku meminta pada Pemilikmu, bukan padamu. Karena aku ingin, jika kau adalah takdirku, maka Allah yang menyatukan kita dalam cara yang paling halal dan berkah.”
Surat itu tak pernah dikirim.Beberapa minggu kemudian, ustaz kampung memanggil Adam. Ia tersenyum kecil, berkata, “Zahra menyampaikan sesuatu pada ayahnya. Bahwa ada seseorang yang ia lihat menjaga dirinya. Yang mengajarkannya makna mencintai tanpa melanggar batas.”
Adam terdiam.“Dan jika kau siap, datanglah ke rumah kami. Bukan untuk pacaran. Tapi untuk taaruf. Karena cinta yang tumbuh dalam diam, harus disempurnakan dengan adab.”
Adam menunduk, air matanya jatuh. Bukan karena senang semata, tapi karena ia tahu: Allah benar-benar tak pernah menolak doa yang tulus.
Mereka tak banyak berjanji. Tapi mereka saling berdoa. Tak pernah saling menggenggam tangan, tapi saling menguatkan dalam sujud. Karena cinta yang menunduk kepada Tuhan, tak akan membuat luka—melainkan menghadirkan sakinah yang menjelma surga di bumi.