Oleh: Azzahra Parameswari Khazim, Santri-Murid SMP Alam Nurul Furqon (Planet Nufo) asal Bogor
Cahaya matahari masuk melalui celah-celah jendela kamarku. Aku sendiri dan diam. Aku tidak sedang menatap senyuman mentari. Aku hanya duduk termenung di tepi ranjang memikirkan “mengapa aku selalu diejek?”
Aku beranjak, berjalan gontai mendatangi teman bayangan. Ialah diriku dalam cermin pipih panjang yang berukuran persis setinggi badanku dan menempel di samping tempat istirahatku. Aku berdiri di depan cermin dan melihat pantulan wajahku itu.
“Oh, pantas saja!” suara lirih dalam hati seolah membentak, mengagetkanku.
“Kulitku gelap. Hidungku pesek. Rambutku ngembang.” Suara itu terdengar lagi. Kali ini berucap perlahan namun tegas, membungkamku dengan fakta.
“Diriku memang terlihat sangat buruk!” Gantian, mulutku mulai bicara.
Aku mengembuskan napas kasar sambil bergerak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri lalu bersiap untuk ke sekolah. itu artinya aku juga sedang bersiap untuk menerima semua ejekan yang dilontarkan teman-temanku padaku. Setelah selesai mandi, aku pergi ke sekolah diantar orang tuaku.
Aku tiba di sekolah. Sesampainya di pintu gerbang, benar saja mereka mulai mengolok-olokku.
“Hitam!”
“Jelek!”
“Rambut singa!”
Itu semua julukan yang mereka berikan padaku. Aku selalu diam saat diejek. Aku berusaha tetap bersikap tak acuh tapi mereka masih saja tiada henti mengejekku.
Hingga akhirnya kesabaranku sudah habis. Aku muak mendengar semua itu. Tanpa peduli aku berdiri dari bangku lalu berteriak sekeras-kerasnya agar semua mendengarkanku,
“Atas dasar apa kalian mengejekku? Apakah kalian tidak merasa bahwa kalian juga belum sempurna? Kita semua ini diciptakan berbeda-beda. Kita ini beragam. Harusnya kalian bangga punya teman yang berbeda. Bukan malah mengejek!” lengkap sudah ungkapan isi hatiku yang perih itu.
Mereka semua tercengang mendengar suaraku. Mereka diam sejenak dan tersadar. Kemudian akhirnya mereka meminta maaf padaku.
Tamat