Oleh: Aruna Fajria, Santri-Murid Planet Nufo Rembang asal Pekalongan
Aku tidak tahu berapa daerah atau kota yang sudah melupakan tradisi ini. Namun setahuku, hari ini seluruh Indonesia serentak merayakan kemerdekaan negeri ini. Sudah 80 tahun lamanya sejak kita lepas dari penjajahan. Rasanya tidak ada satu pun darah atau tanah di negeri ini yang tidak ikut merayakan hari kemerdekaan, meskipun hanya dengan upacara sederhana dan perlombaan kecil.
Dalam perhitunganku yang sederhana, sepertinya sejak tadi pagi aku tidak memperhatikan waktu. Malah hari sudah sore, tetapi masih saja ada lomba yang belum selesai dilaksanakan. Aku melihat beberapa anak kecil ikut lomba, walau wajah mereka tampak lelah.
Aku sendiri kehilangan selera untuk menonton lomba. Aku lebih memilih duduk bersandar di bawah pepohonan besar yang entah sudah berapa dekade umurnya. Angin berhembus menerpa wajahku, membuat rambutku ikut bergerak pelan. Walaupun tidak sepanjang kemarin, rambutku masih terasa segar diterpa angin sore.
Pikiranku mulai menjelajah, memunculkan memori-memori lama. Ah, benar. Aku teringat masa kecilku di hari yang sama, bertahun-tahun silam.
“Nak Maul, jangan pernah lupakan perjuangan para pahlawan. Meskipun mereka sudah tiada, perjuangan mereka tetap hidup dalam jiwa kita.”
Entah apa maksud kakekku waktu itu. Saat itu aku masih kecil, hanya bisa mendengarkan tanpa memahami sepenuhnya. Kata-kata beliau masih terngiang sampai sekarang.
Rasa kantuk mulai datang. Perlahan mataku terpejam setelah kalah oleh hembusan angin sore.
10 Agustus 1945.
Gelap.
Di mana aku? Kenapa tempat ini begitu asing?
Perlahan terdengar suara-suara keras. Suara letusan senjata memekakkan telinga. Semakin lama, semakin banyak orang berlarian, sebagian berteriak panik. Mataku terasa perih oleh cahaya terang, dan saat kubuka kembali, aku terbelalak.
Orang-orang dengan pakaian lusuh berlarian. Wajah-wajah mereka penuh ketakutan. Tepat setelah seorang ibu berlari melewatiku, sebuah bom jatuh di tempat yang baru saja ia tinggalkan. Aku terkejut, langsung berlari mengikuti kerumunan. Untung saja aku sempat menghindar.
Kami berlari tanpa arah, hanya mengikuti naluri. Aku mulai sadar: mungkin ini adalah kilasan peristiwa besar yang terjadi pada tahun 1900-an, ketika bangsa kita benar-benar menderita karena perang, kelaparan, dan penjajahan.
Aku merasa iba pada mereka. Begitu berat penderitaan yang harus ditanggung.
“Maul! Maul! Kamu mau tidur sampai kapan?!”
Tubuhku diguncang keras. Aku terbangun kaget. Rupanya Faiz, temanku yang menyebalkan.
“Kamu di mana sih? Lombanya sudah selesai! Mau pulang atau tidak?”
Aku melihat sekeliling. Ternyata semua itu hanya mimpi. Setidaknya aku hidup di zaman yang lebih baik daripada masa lalu yang penuh derita itu. Walaupun hanya sebuah mimpi, aku jadi lebih bersyukur atas karunia Allah yang telah memberikan kemerdekaan kepada bangsa ini.