Oleh: Anak Pagi
Siang hari di tengah ketangguhan diri menahan lapar dan dahaga, tidak lantas menebalkan iman. Terik matahari yang kian menyengat seakan mengikis ketebalan iman. Begitulah suara hati yang terbungkam dari jutaan manusia kala menunggu maghrib datang.
“Beras untuk sahur habis, Bray,” pesan yang terlihat di jendela whats*pp.
Notifikasi yang lebih mendebarkan dari pada panggilan adzan. Tanda harus berlari bukan sekedar berjalan, karena nasib ratusan orang tersirat dalam pesan. Aku bergegas menghidupkan vespa modern yang sedang pilek karena starter macet. Berkendara di bawah terik mentari pun tak lantas menyusutkan semangatku karena beban notifikasi lebih berat dibandingkan membayar denda puasa. Aku tersenyum lebar, mencoba menerapkan kata-kata motivator berupa “afirmasi positif.”
Mencoba menghilangkan segala sesak di dada entah apapun penyebabnya. Berharap susunan rencana hari ini berjalan sesuai rencana. Aku yang pelupa mencatat baik-baik tujuanku dalam buku saku minimalis. Pertama, ambil gabah untuk dibawa ke selepan. Kedua, ke ATM untuk ambil uang. Gaji untuk tenaga yang telah dikerahkan untuk mencapai tujuan bersama harus segera kubayarkan. Ketiga, beli sedikit oleh-oleh untuk berbagi di bulan suci. Keempat, ke selepan lagi untuk menggiling gabah agar bisa segera dimasak.
Tak terasa, hanya mencoba mengingat runtutan catatan, aku sudah sampai di tujuan awal, yaitu tempat penitipan gabah. Ada tiga nenek nenek yang sedang bekerja memgupas kulit jagung. Tapi kurasi itu hanya sampingan. Dilihat dari mereka bertukar pandang dan berbisik, ada informasi A1 yang sesang disalurkan. Aku mematikan mesinku.
Senyum ceria seperti biasa sambari menyapa, “Assalamu’alaikum, Mbah….” Salamku tak dibalas dengan salam. Ketiganya melihatku bersamaan. Tatapan tajam bak singa kelaparan dan makian, seketika membuyarkan konsep ‘senyum sapa salam’ dan ‘afirmasi positif.’
Raut wajah yang kuharap dapat membalas, minimal salamku, benar-benar nenatapku masam. Bibir yang biasa dipakai untuk berdzikir entah mengapa aku tidak membayangkan sebelumnya memgeluarkan kalimat-kalimat menyayat hati menembus jantung.
Memang salahku, berharap banyak pada manusia. Entah mengapa mataku berkaca-kaca, ulu hatiku seperti dihantam dengan palu besi, dan telingaku berdengung. Aku tidak bisa berpikir dalam beberapa detik. Aku yang awalnya ingin masuk dan memastikan kondisi gabahku, mengurungkan niat.
“Nggih mpun mbah mboten sios mundut gabah,” kalimat sesederhana itu kuucapkan dengan gagap.
Aku bergegas menghidupkan motor bututku. Aku sudah kesulitan bernafas. Aku menarik gas hingga motor itupun kesulitan melaju. 80km/jm di kawasan desa tentu tidak wajar. Tapi semakin pelan, pikiranku semakin kacau. Aku tidak lagi mempertimbangkan planning yang tersusun rapih di buku saku.
Demi menjaga kewarasan dan gengsi hidupku, aku menarik semua tunai di kartu ATMku. Karena uang dalam planning awal tidak cukup. Sehingga tabungan keringat mau tidak mau benar-benar harus keluar. Aku melebihi apa yang seharusnya kuberikan di perjanjian awal.
Aku berharap tidak ada lagi kata-kata kejam dilontarkan. Lebih tepatnya aku berharap tidak perlu bersua untuk selanjutnya. Meskipun aku tahu, itu tidak bisa. Setelah semua ku berikan, tiba-tiba jumlah orang di teras bertambah banyak. Aku tidak menatap mata siapa pun. Aku bahkan menjawab seadanya. Aku meletakkan barang secepat-cepatnya.
Aku ingin ragaku segera pergi dari sana. Tiba-tiba kalimat pujian terlontar jelas, “Wong ancen bocahe sregep. Iku sing gawene nyelep.”
Kalimat itu membuatku semakin sakit. Aku memalingkan muka karena tak kuasa membendung tangis. Begitu mudahnya mereka mengucapkan itu setelah beberapa kalimat sebelumya yang hampir memusnahkan jiwaku.
Sepanjang perjalanan aku berdo’a, “Ya Allah, aku hanya ingin do’a baik yang aku panjatkan. Tapi kenapa begitu berat? Kenapa aku harus bertemu dengan berbagai jenis manusia yang membuatku ingin berdo’a yang tidak aku inginkan? Apakah aku tidak berhak berdo’a?”