Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah dan Penulis Satupena
Di sebuah rumah sederhana di Cilacap, hidup seorang anak istimewa bernama Fariz Ramdhan Mayrano. Lahir pada 9 Juni 2017, Fariz datang ke dunia lebih cepat dari waktunya. Pada usia kehamilan 31 minggu, ia terpaksa dilahirkan karena sang ibu mengalami pendarahan akibat plasenta previa.
Fariz lahir dengan berat hanya 1,6 kilogram dan harus bertahan dalam inkubator selama 20 hari. Saat keluar dari rumah sakit, bobotnya bahkan turun menjadi 1,1 kilogram. Sejak awal, hidup Fariz sudah ditempa ujian yang berat. Tak hanya tubuh yang rapuh, tetapi juga matanya yang akhirnya dinyatakan tidak bisa melihat.
Orang tuanya, Fandi Mayrano yang bekerja sebagai pelaut, dan Rizcky Yuni Astuti, sempat terpukul. Pemeriksaan demi pemeriksaan menyatakan Fariz mengalami Retinopathy of Prematurity (ROP) stadium lanjut. Harapan untuk memulihkan penglihatannya pun hilang. Setelah melewati berbagai upaya terapi dan pengobatan, keluarga memilih ikhlas dan menyimpan energi untuk masa depan Fariz.
Dalam kegelapan itu, Fariz menemukan cahayanya sendiri: musik. Sejak usia tiga tahun, ia sudah menunjukkan ketertarikan pada nada. Sang ayah pernah memberinya drum mainan, sementara ibunya mengenalkan chord dasar pada keyboard peninggalan sang kakek. Sejak itu, musik menjadi dunia Fariz.
Dengan hanya mendengar, ia mampu menebak letak chord. Pendengarannya tajam, melampaui orang-orang di sekitarnya. Jika yang lain harus mencari kunci lagu lewat internet, Fariz cukup mendengarkan sekali untuk tahu pola chord yang digunakan. “Dia benar-benar belajar secara otodidak,” ujar sang ibu.
Di sekolah, kisah yang sama terulang. Bapak Lucky Febrianofa, salah satu gurunya di SLB Negeri Cilacap, mengenang pertemuan pertama dengan penuh kesan. “Fariz itu anak yang kritis, selalu punya pertanyaan dalam pembelajaran,” ungkapnya. Dari awal, Fariz menunjukkan rasa ingin tahu yang besar terhadap musik.
Bahkan sebelum resmi bergabung dengan sekolah, Fariz langsung mencari ruang musik. Usai pelajaran, ia berkata polos, “Boleh tidak Pak, saya mencoba keyboardnya?” Saat itulah para guru sadar bahwa Fariz membawa bakat istimewa. Sejak itu, ruang musik menjadi tempat di mana ia bersinar.
Teman-teman sekelasnya merespons dengan penuh dukungan. Dalam pelajaran musik, Fariz sering mengiringi mereka bernyanyi. Kehadirannya bukan hanya memberi harmoni, tetapi juga menumbuhkan semangat kebersamaan. “Fariz istimewa di mata guru dan teman-teman karena kepekaan musiknya di atas rata-rata,” tutur gurunya.
Namun, perjalanan tidak selalu mulus. Fariz sempat mengalami panic attack sebelum tampil di depan umum. Ia batuk, bahkan muntah, karena gugup dan takut salah. Butuh kesabaran panjang dari orang tua maupun guru untuk menumbuhkan rasa percaya dirinya. Perlahan, Fariz belajar menghadapi panggung.
Kini ia sudah beberapa kali tampil di acara sekolah maupun di luar sekolah. Salah satunya saat menjadi pengisi acara “GADA BERCAHAYA” di pendopo Kabupaten Cilacap di depan Bupati. Setiap penampilannya menjadi bukti bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk bersinar.
Di rumah, orang tua terus mendukung dengan menyediakan berbagai alat musik, dari digital piano, gitar listrik, hingga perangkat rekaman. Fariz bahkan memiliki akun media sosial pribadi untuk membagikan karyanya. Keluarga ingin dunia melihat keajaiban dari jari-jarinya.
Yang menarik, Fariz tidak pernah menyesali keterbatasannya. Ketika ditanya apakah ia sedih, ia menjawab, “Fariz gak sedih, Fariz bersyukur. Pasti ada kelebihan yang lain.” Jawaban itu justru membuat orang tuanya belajar ikhlas dan kuat. “Anak kami melihat dengan hati, bukan dengan mata,” kata ibunya.
Fariz punya cita-cita sederhana tapi besar: menjadi musisi terkenal dan masuk televisi. Harapan orang tua dan guru sejalan, agar Fariz tumbuh menjadi pribadi mandiri, rendah hati, dan selalu dekat dengan Allah. Mereka ingin ia bangga pada dirinya sendiri tanpa kehilangan arah.
Hari-hari Fariz tidak lepas dari musik. “Musik itu jiwanya Fariz,” kata ibunya. Benar saja, setiap denting yang ia mainkan terdengar bukan sekadar nada, tetapi juga doa, semangat, dan cahaya. Cahaya yang lahir dari kegelapan, namun mampu menyinari banyak orang.
Fariz Ramdhan Mayrano adalah bukti bahwa mata bisa buta, tapi hati tidak. Dari Cilacap, ia mengajarkan kita bagaimana musik bisa menjadi bahasa jiwa dan keterbatasan bisa berubah menjadi kekuatan. (*)