Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Opini

Flourishing Semu di Negeri Religius: Paradoks Indonesia di Mata Dunia

×

Flourishing Semu di Negeri Religius: Paradoks Indonesia di Mata Dunia

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Ayyub Fatwa Ibrahim, Mahasiswa Pendidikan Kimia UIN Walisongo Semarang

Indonesia kerap dielu-elukan sebagai negara religius. Dengan populasi Muslim sekitar 240 juta jiwa (87% dari total penduduk), Indonesia memegang predikat sebagai negara dengan jumlah umat Muslim terbesar di dunia. Gambaran ini seolah menempatkan Indonesia sebagai pusat spiritual dunia Islam, simbol kesalehan kolektif yang patut dibanggakan.

Example 300x600

Namun, di balik angka besar itu, data menunjukkan fakta yang mengganggu: menurut Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, tingkat buta huruf Al-Qur’an di Indonesia masih mencapai 72,25%. Artinya, mayoritas penduduk Muslim di negeri ini belum mampu membaca kitab suci yang menjadi pedoman utama hidup mereka. Kontradiksi ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah religiusitas yang diagungkan selama ini benar-benar berakar pada pemahaman mendalam, atau sekadar identitas simbolik?

Pertanyaan ini semakin tajam ketika kita melihat posisi Indonesia di dua survei global terkemuka: Global Flourishing Study (GFS) 2025 dan World Happiness Report (WHR) 2025.Menurut GFS, Indonesia menempati peringkat pertama di dunia dalam flourishing, yaitu keadaan di mana individu merasa hidupnya baik dalam enam domain: kesehatan, kebahagiaan emosional, makna hidup, karakter, hubungan sosial, dan keamanan finansial. Angka ini memancarkan optimisme: rakyat Indonesia, tampaknya, hidup dalam harmoni dan kepuasan.

Namun, WHR 2025 menempatkan Indonesia di peringkat 83 dari 143 negara dalam kebahagiaan global. Perbedaan ini bukan sekadar statistik; ini adalah paradoks yang menuntut penjelasan.GFS mengukur persepsi subjektif: ketika ditanya “Apakah Anda merasa aman secara finansial?”, banyak orang menjawab “ya” berdasarkan standar lokal — sering kali tanpa membandingkan dengan standar hidup di negara lain. Sebaliknya, WHR menggunakan indikator objektif: PDB per kapita, harapan hidup sehat, kebebasan menentukan hidup, dukungan sosial, hingga persepsi korupsi.Dengan kata lain, GFS merekam rasa cukup; WHR merekam kondisi nyata. Perbedaan inilah yang membuka jalan bagi kritik: skor tinggi flourishing di Indonesia bukan bukti kemakmuran objektif, melainkan cermin kepuasan subjektif yang dibentuk oleh budaya.

Kepuasan semu ini mendorong skor GFS tinggi: rakyat merasa aman dan cukup, padahal secara material dan struktural, kesenjangan ekonomi, lemahnya layanan publik, dan rendahnya daya saing global tetap menjadi masalah besar.Kontradiksi terbesar muncul di sini: Indonesia dikenal religius, tetapi literasi Al-Qur’annya rendah. Banyak Muslim mampu melafalkan ayat tanpa memahami maknanya — bagaikan penyihir yang membaca mantra tanpa tahu daya dan maksudnya, atau burung beo yang pandai bersuara tapi buta akan pesan yang dibawanya. Pendidikan agama di sekolah sering berhenti pada hafalan dan ritual, tanpa mendidik keterampilan tafsir atau pemahaman konteks historis.

Hal ini menunjukkan bahwa religiusitas di Indonesia sering kali bersifat visual: masjid megah, pengajian besar, sedekah massal, dan atribut keagamaan yang mencolok — semua menciptakan citra, tetapi tidak menjamin kedalaman pemahaman. Padahal, dalam riwayat disebutkan bahwa nikmat diberikan sesuai kadar akalnya; kemegahan lahiriah tanpa pemahaman batiniah hanyalah kemasan kosong. Allah juga menegaskan dalam QS. al-Ankabut: 43 bahwa hanya orang berilmu yang memahami perumpamaan-Nya.

وَتِلْكَ الْاَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِۚ وَمَا يَعْقِلُهَآ اِلَّا الْعٰلِمُوْنَ

“Perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia. Namun, tidak ada yang memahaminya, kecuali orang-orang yang berilmu.”

Dalam Islam, qonaah adalah merasa cukup sambil tetap berusaha, dan zuhud adalah tidak diperbudak dunia meski menguasainya. Namun, di Indonesia, tafsirnya sering bergeser menjadi kepasrahan pasif:

Qonaah → “Jangan mengeluh, terima saja nasib.”

Zuhud → “Menjauhi kemajuan material demi kemiskinan yang dianggap suci.”

Interpretasi ini mematikan daya juang. Seperti kritik Karl Marx bahwa agama dapat menjadi “opium bagi rakyat” — bukan karena ajarannya salah, tetapi karena dipakai untuk meninabobokan masyarakat agar menerima status quo. Pernyataan ini sering disalahartikan sebagai penolakan total terhadap agama, padahal yang ia soroti adalah bagaimana agama bisa dipelintir menjadi alat untuk meninabobokan masyarakat, membuat k menerima penindasan sebagai takdir. Candu membuat rasa sakit tak terasa, tetapi juga membuat pasien lupa bahwa penyakitnya belum sembuh.

Dalam konteks Indonesia, “candu” itu bukan hanya agama, melainkan juga budaya. Kita begitu terbiasa dengan narasi kepasrahan, ungkapan seperti “nrimo ing pandum” (menerima bagian yang diberikan), “urip mung mampir ngombe” (hidup hanya singgah sebentar), atau “sing penting slamet” (yang penting selamat)— ungkapan yang di satu sisi memberi ketenangan batin, tetapi di sisi lain menjadi selimut tebal yang menutupi luka sosial.

Di sinilah pengamatan Robert Grudin menjadi relevan. Ia menulis, “Ada dua tipe subjek yang hanya sedikit dipelajari oleh sebuah kebudayaan: subjek yang disukainya dan subjek yang dibencinya.” Indonesia menyukai kepasrahan dan membenci ketidakpuasan. Kita mempelajari cara menerima keadaan, tetapi jarang mempelajari cara mempertanyakan dan memperbaikinya. Kritik terhadap kondisi sosial sering dibungkam dengan narasi “kurang bersyukur”. Budaya ini memperkuat jurang antara realitas objektif dan persepsi subjektif.

Hasilnya, kritik dianggap ancaman, ketidakpuasan dianggap dosa, dan rasa cukup yang sejatinya bernilai tinggi justru direduksi menjadi alasan untuk tidak bergerak. Seperti pasien candu yang merasakan euforia palsu, bangsa ini sering merasa makmur di atas ranjang yang reyot.Padahal Al-Qur’an secara tegas mengaitkan rasa syukur dengan peningkatan nikmat. Surah Ibrahim ayat 7 berbunyi:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

Ayat ini jelas memerintahkan syukur aktif — bersyukur sambil berusaha, yang berbuah peningkatan kualitas hidup. Tetapi di banyak komunitas, syukur disalahartikan menjadi diam, puas, dan berhenti mengejar kebaikan yang lebih besar. Inilah bentuk kepasrahan yang mematikan daya juang dan membuat masyarakat menerima status quo.

Kondisi ini memberi keuntungan bagi elite politik dan agama. Rakyat yang puas secara subjektif tidak banyak menuntut perbaikan. Kesenjangan antara data GFS dan WHR menjadi indikator stabilitas semu: di atas kertas, rakyat merasa “baik-baik saja”; di lapangan, kualitas hidup nyata tertinggal.

Literasi agama yang lemah juga membatasi potensi Islam sebagai kekuatan pembebas sosial. Alih-alih mendorong keadilan ekonomi dan distribusi sumber daya, agama sering berfungsi sebagai alat legitimasi bagi tatanan yang ada. Indonesia akan terus terjebak dalam “flourishing semu” jika rakyat merasa puas tanpa mengetahui bahwa standar hidup di banyak negara lain jauh lebih layak. Dengan literasi agama yang rendah, umat mudah diarahkan oleh narasi sederhana: “Bersyukur saja,” alih-alih mempertanyakan kenapa pendidikan, layanan kesehatan, atau pendapatan mereka tertinggal.

Indonesia tidak akan maju jika religiusitas berhenti pada identitas dan ritual. Literasi Al-Qur’an harus menjadi kemampuan dasar bagi mayoritas umat. Qonaah harus dimaknai sebagai syukur aktif yang mendorong inovasi, bukan pasrah pasif yang membunuh aspirasi.Paradoks GFS–WHR seharusnya menjadi alarm: jika kita puas tanpa tahu standar hidup dunia, kita hanya membangun ilusi. Dan jika buta huruf Al-Qur’an tetap tinggi di negeri Muslim terbesar dunia, maka kita telah gagal memahami agama kita sendiri — agama yang menuntut umatnya menjadi “khairu ummah” (umat terbaik) sebagaimana disebut dalam QS. Ali Imran: 110, karena pengetahuan dan keadilannya, bukan sekadar jumlahnya.

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya Ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *