Aku nibras, usiaku masih tujuh tahun saat di mana aku dikenalkan oleh ayah kepada klub yang akan aku cintai selamanya. Hari dimana sorak gembira dan gemuruh lautan manusia menyambut generasi baru sepertiku. Hari di mana aku terpukau oleh sepakbola, atmosfer stadion yang menyihir mataku. Merogoh ke dalam hatiku dengan jari jari yang membara agar hati turut tertular radiasinya.
Persis Solo, menjadi klub yang berhasil membuatku merasakan suka dan duka didalamnya.
“Di sini semua berawal, di sini kita berbagi kesenangan,” itu yang dikatakan oleh musisi lokal dari Solo yakni The working class symphony. Dan dari sinilah kisahku bermula.
Tatkala mentari berdiri gagah pada shaf timur dunia. Ayahku berkata kepadaku, “Nak, ikutlah denganku!”
“Kemana, Ayah?” jawabku.
“Sore nanti, kita akan melihat Persis, ” kata ayahku.
“Mau!” sahutku cepat.
“Bersiaplah, punya kaos merah? Kalo ada dipakai!” imbuh ayah.
Akupun bergegas melihat beberapa pakaian yang tersusun rapi pada sebalik pintu lemari. Dalam hati aku berkata, “Padahal aku punya kaos Persis Solo, itupun ayah yang berikan.”
Sore terasa lama sekali bagiku. Menunggu sambil melihat televisi sangatlah membosankan.
Beberapa jam berlalu, matahari telah duduk pada kuasa tertingginya sebelum nantinya akan lengser jatuh ke ufuk barat.
“Makan siang dulu, Nak!” panggil bundaku dari dapur.
Seperti penyihir, perutku dibuat berbicara dengan sihirnya. Terbius aroma yang menggoda dari ruang kantornya. Tak kuasa tubuh ini menahan, Langkah kaki pun berjalan sendiri menuju pusat aroma. Terlihat piring dipenuhi nasi dan sepotong ayam goreng, di temani ca kangkung pedas yang menggoda.
“Ini sudah bunda siapkan,” kata bundaku.
“Hehe, Iya, Bunda, terima kasih,” kataku.
“Iya, sudah dimakan dulu. Katanya mau nonton bola. Biar semangat. Jangan lupa doa dulu,” suruh bundaku.
“Okeey,” jawabku cepat dan langsung melahapnya.
Jam telah menunjukan pukul 3 siang. “Ayo berangkat, Nak!” ajak ayahku.
“Ayo, Ayah!” sahutku dengan semangat.
Kami pun berkendara ke kota Solo, suasana kota yang ramai tapi tidak seramai kota metropolitan lainnya. Gedung-gedung megah berdiri gagah di pusat kota, dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi di setiap pinggir jalanya. Tidak hanya hatiku yang menari Bahagia, begitu pula dedaunan rindang yang menari di atas ranting-ranting pepohonan dan terbang bebas mengikuti kemana angin membawanya.
Akhirnya aku sampai pada stadion Manahan Solo. Beton tinggi gagah menjulang, dan aku tak pernah tau keajaiban apa yang ada disebaliknya. Ayahku mengandengku, memandu menyusuri lorong seakan membawaku ke dunia lain. Hingga tiba di ujung lorang terlihat rumput yang terbentang luas di tenggahnya. Aku tersihir kemegahan ini. Tribun berdiri kokoh mengelilingi pinggir lapangan, seolah menggundang siapa saja untuk ikut merasakan atmosfer megah ini.
Para supporter di belakang gawang terlihat saling bernyanyi dan memukul beberapa drum yang nyaring dan menggema.
“Yah, itu pada ngapain?” tanyaku polos.
Ayahku tersenyum bangga melihatku “Itu pada nyanyiin yel-yel. Nanti bakalan sahut-sahutan di belakang gawang sana (sambil menunjuk gawang utara) sama sana (dan menunjuk gawang selatan)”
Di bawah langit bumi bengawan yang cerah, pertandingan pun di mulai. Para supporter pun bersorak dan bernyanyi bersama. Membangkitkan semangat bagi siapa saja yang mendengarnya. Alunan drum menari bersama nada-nada dan kata semangat di udara. Menggetarkan beton kokoh dinding stadion, dan menyatu dalam satu irama yang sama. Hingga gol pun tercipta, “GOLLLLLLLLLL………..” gemuruh stadion berteriak bahagia.
Aku yang polos hanya diam tertegun karna belum pernah merasakan atmosfer gol seperti ini. Tapi rasanya semangat dan Bahagia ini mengalir dalam diriku. Atmosfer stadion bersama Persis Solo benar-benar menyihirku. Rasanya hati ini telah jatuh pada pelukan mereka.
Langit bumi Sambernyawa berubah menjadi jingga yang menawan. Akhirnya wasit pun meniup peluit akhir, Persis Solo unggul atas lawannya. Pertandingan pertama yang aku tonton, dan kemenangan pertama pula yang aku rasakan. Sungguh kenangan yang membahagiakan. Aku pun pulang untuk menemui bunda dan akan menceritakan bagaimana Persis Solo dan atmosfer Manahan Solo menyihirku, juga kemenangan tentunya. Bahagia rasanya saat perjalanan pulang kerumah. Tadi dimana matahari bertahta aku masih biasa saja, sekarang saat dimana bulan yang bertahta, aku bawa pulang kemenangan dan bahagia.
Yah, itulah hari di mana aku dipertemukan dikenalkan dengan sebuah klub sepakbola yang aku cintai dan banggakan. Cinta yang diwariskan dari seorang ayah kepada anaknya dan akan terus di wariskan hingga kapan pun. Suka dan duka akan diterjang berasama, loyalitas kepada kebanggaan akan selalu ada. Hari pada penulisan ini 23 desember 2024 tim yang aku banggakan sedang berjuang dari keterpurukan.
Berjuang melewati zona degradasi liga 1 agar dapat tampil dan berbenah lagi di musim selanjutnya. Doa selalu dilayangkan agar menemui titik terang. Sedih rasanya melihat kenyataan ini. Tapi beginilah hidup seperti roda yang berputar.
“Roda hidup terus berputar dan takdir pun tak selalu sama… pahamilah… namun hasrat tuk tetap bersama menjadi semangat yang membuat kita semakin kuat!” begitu sepenggal lirik lagu dari band The working class symphony yang telah menjadi lagu kebanggaan Persis Solo.
Kadang berada di atas kadang di bawah. Semua harus dan akan terus di lalui bersama bagaimana pun keadaanya.
Oleh: Varell Nibras Bella Muhammad, Mahasiswa UIN Salatiga