Di suatu senja yang kelabu, saat hujan gerimis masih menitikkan rintik-rintik di trotoar basah, Bang Kay dan Bang Sat berjalan bersama menyusuri lorong-lorong sepi di belakang kantor organisasi. Suasana itu seakan mencerminkan kondisi hati mereka—penuh ironi dan kesunyian yang mendalam. Di antara bayang-bayang lampu jalan yang redup, Bang Sat tampak bersinar dengan keyakinan yang tak terbantahkan, seolah-olah dirinya adalah pusat semesta perjuangan yang selalu diperlukan.
Bang Sat berjalan dengan langkah yang mantap dan penuh gaya. Setiap kali ia membuka mulut untuk berbicara, suaranya menggema, seakan ingin menegaskan bahwa tanpa keberadaannya, segala sesuatu akan hancur. Ia bercerita tentang rapat-rapat yang ia pimpin, pidato-pidato yang ia sampaikan, dan bagaimana setiap keberhasilan dalam organisasi—sekecil apa pun—selalu ada campur tangan dirinya. Baginya, semua prestasi dan transformasi itu adalah buah dari kerja keras pribadinya, sebuah pencapaian yang harus diakui oleh semua anggota, tak terkecuali mereka yang masih berjuang di lapangan.
“Tanpa aku, semua program cuma angin lalu,” gumam Bang Sat dalam hati sambil tersenyum puas. Ia merasa telah memberikan kontribusi yang sangat besar, bahkan terkadang tak bisa membayangkan bagaimana organisasi ini bisa bertahan tanpa dirinya. Rasa kesombongan itu begitu melekat, sehingga ia pun seringkali menolak adanya evaluasi atau kritik yang datang dari mana pun. Baginya, segala pujian sudah cukup sebagai penilaian, dan segala perbaikan dianggap sebagai pengakuan bahwa dirinya memang tak tergantikan.
Di sisi lain, Bang Kay berjalan dengan langkah yang lebih tenang. Matanya yang tajam menyapu sekeliling, mencatat setiap detail dengan kebijaksanaan seorang yang telah lama belajar dari pengalaman pahit. Ia tahu betul bahwa perjuangan bukanlah tentang mengukir nama di atas setiap keberhasilan, melainkan tentang membangun fondasi yang kokoh melalui kerja kolektif. Namun, setiap kali Bang Sat mulai berbicara, Bang Kay tidak bisa menahan diri untuk merenung dalam-dalam tentang fenomena yang kian merajalela di kalangan elit aktivis.
Bang Kay mengingat kembali rapat pagi itu. Di ruangan yang penuh dengan aroma kopi dan semangat, Bang Sat dengan lantang menyatakan bahwa semua keberhasilan organisasi—mulai dari kampanye penggalangan dana hingga acara sosial—selalu bermula dari inisiatifnya sendiri. Ia seakan-akan menggembar-gemborkan jati dirinya sebagai “penyelamat” yang tak ternilai, yang membuat segala sesuatunya berjalan sempurna. “Aku yang menentukan arah, aku yang membawa inspirasi,” begitulah kata-kata Bang Sat yang terus terulang dalam benak Bang Kay.
Sambil berjalan, Bang Kay mendengus pelan. Ia teringat akan sajak yang pernah ia dengar di sebuah forum internal: “Orang yang mengumandangkan perjuangan diri itu seperti ayam jago yang berkokok di pagi buta, yakin bahwa tanpa suaranya dunia akan tetap gelap—padahal fajar tetap datang meski ayam-ayamnya diam.”
Bagi Bang Kay, sajak itu bukan hanya rangkaian kata-kata indah, melainkan cermin getir yang menggambarkan betapa banyaknya aktivis yang rela mengorbankan kerendahan hati demi sorotan diri. Ia melihat, dalam setiap pidato megah Bang Sat, tersimpan ambisi untuk menjadi pusat segala perubahan, sehingga tak ada ruang bagi siapa pun untuk memberikan masukan atau kritik.
Bang Sat pun tidak pernah menyembunyikan sikapnya. Di setiap kesempatan, ia dengan bangga menceritakan betapa besar peran dan pengaruhnya dalam setiap inisiatif organisasi. Setiap keberhasilan yang diraih selalu ia kaitkan dengan kehadirannya, seolah-olah tanpa dia, semua itu tak akan terjadi. Dia merasa bahwa ia telah mengantarkan organisasi ke puncak keberhasilan, dan setiap individu yang ikut berjuang hanyalah pendukung yang mengikuti arus, bukan pionir yang menentukan arah.
Dalam keheningan itu, di tengah rintik hujan dan debu perjalanan, Bang Kay pun merenung. Ia tahu bahwa sikap seperti itu bisa merusak esensi perjuangan yang telah lama mereka bangun bersama. Perjuangan yang seharusnya bersifat inklusif dan kolaboratif, berubah menjadi arena ego yang menyisakan luka di hati rekan-rekan seperjuangan. Organisasi ini, yang dulu dibangun atas dasar mimpi untuk menciptakan perubahan, kini kian tersisihkan oleh penampilan para aktivis yang terlalu mengagungkan diri.
Saat mereka tiba di sebuah bangku tua di belakang kantor, Bang Sat berhenti sejenak, menatap ke kejauhan dengan mata berbinar, seolah masih belum puas dengan segala pujian yang baru saja ia rangkum. Di sisi lain, Bang Kay duduk termenung, mengamati langit yang mulai cerah walau mendung masih menyelimuti. Di situ, di antara perbedaan sikap dan keyakinan, terukir sebuah harapan bahwa perjuangan sejati adalah tentang mengakui kekurangan dan merangkul keberagaman kontribusi, bukan hanya sekedar memonopoli sorotan untuk diri sendiri.
Bang Kay menghela napas panjang dan berkata lirih, “Perjuangan itu seharusnya bukan tentang siapa yang paling bersinar, Bang Sat. Itu tentang bagaimana kita, bersama-sama, membawa perubahan yang berarti.” Namun, kata-kata itu pun tenggelam di tengah desah angin, sementara Bang Sat masih terjebak dalam dunia di mana dirinya adalah pusat segala keberhasilan.
Dan di situ, di bawah langit yang perlahan cerah, tercipta kontras yang pahit: antara mereka yang rela membiarkan diri terhanyut oleh egonya sendiri, dan mereka yang masih berjuang untuk menemukan arti sejati dari perubahan. Sebuah pengingat bahwa dalam setiap perjuangan, yang terpenting adalah keberanian untuk melihat ke dalam, mengakui kelemahan, dan menyadari bahwa setiap keberhasilan adalah hasil kerja kolektif—bukan sekadar propaganda diri yang kosong.
Di antara rintik hujan yang mulai berhenti dan embun yang menyelimuti dedaunan, Bang Kay dan Bang Sat pun melangkah ke depan, masing-masing membawa beban dan harapan. Di satu sisi, ada semangat untuk terus mengkritik dan merenungi, di sisi lain, ada keinginan untuk memperbaiki sistem yang mulai terjerat oleh keangkuhan. Hanya waktu yang akan menjawab, apakah perjuangan mereka mampu mengembalikan makna sejati dari semangat aktivisme.
Dari buku “Apologia Aktivis Kampret” oleh Mokhamad Abdul Aziz