Oleh: Saidah Marifah MZ, M.Pd., Pengajar di Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO Rembang.
Guru adalah seorang professional yang mempunyai tanggung jawab untuk mengajar, mendidik dan membimbing siswa dalam proses belajar dan mengajar. Dalam sistem pendidikan di Indonesia, terdapat dua jenis guru yang memiliki peran penting dalam proses belajar mengajar, yaitu guru honorer dan guru ASN (Aparatur Sipil Negara). Meskipun keduanya memiliki tugas yang sama, yaitu mengajar dan mendidik siswa, namun terdapat beberapa perbedaan yang signifikan antara keduanya.
Guru honorer adalah guru yang tidak memiliki status sebagai pegawai negeri, namun dipekerjakan oleh sekolah atau lembaga pendidikan untuk mengajar siswa. Guru honorer biasanya dipekerjakan berdasarkan kontrak atau perjanjian kerja yang memiliki jangka waktu tertentu. Gaji guru honorer biasanya lebih rendah dibandingkan dengan guru ASN atau tidak memiliki gaji tetap, dan tidak memiliki hak-hak yang sama seperti guru ASN, seperti hak cuti, hak pensiun, dan lain-lain.
Sementara itu, guru ASN adalah guru yang memiliki status sebagai pegawai negeri dan dipekerjakan oleh pemerintah untuk mengajar siswa di sekolah-sekolah negeri. Guru ASN memiliki hak-hak yang sama seperti pegawai negeri lainnya, seperti hak cuti, hak pensiun, dan lain-lain. Gaji guru ASN juga lebih tinggi dibandingkan dengan guru honorer. Guru ASN juga memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam proses belajar mengajar dan pengembangan kurikulum.
Guru ASN dan guru honorer mempunyai hak yang sama dalam proses pengajaran dan pengembangan kurikulum. Sedangkan yang menjadi perbedaan utama yaitu guru ASN memiliki status sebagai pegawai negeri, sedangkan guru honorer tidak mempunyai status tersebut. Gaji guru ASN lebih tinggi dibandingkan dengan guru honorer. Guru ASN mempunyai hak-hak yang sama seperti pegawai negeri lainnya, sedangkan guru honorer tidak memiliki hak-hak tersebut.
Namun realita yang terjadi di pendidikan Indonesia, semua guru, baik guru honorer maupun guru ASN memiliki tanggung jawab dan beban kerja yang sama, akan tetapi gaji atau penghargaan yang didapatkan oleh guru honorer berbeda dan bahkan di bawah UMR. Hal itu disebabkan oleh guru honorer yang tidak memiliki status kepegawaian dan membuat guru honorer atau guru kehormatan merasa cemas, khawatir, dan tidak nyaman dalam bekerja. Tak sedikit guru honorer yang memiliki pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan dasar lainnya sebab gaji yang didapatkannya tidak bisa memenuhi hal tersebut.
Seyogyanya pemerintah memperhatikan hal ini, berpihak kepada keadilan, memberikan kesempatan kepada guru honorer untuk mengembangkan karir dan kemampuan agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan memiliki prospek karir yang cerah. Terkhusus guru-guru honorer yang terdapat di sekolah pelosok desa, jangan sampai pendidik yang ada di pelosok desa terabaikan. Sehingga hal itu akan memberikan dampak buruk pada proses peningkatan kualitas dan kemampuan para siswa di sekolah yang terletak di pelosok desa.
Diharapkan pemerintah peduli akan kesejahteraan guru honorer atau guru kehormatan sebab itu bukan hanyalah sebuah masalah sosial namun hal itu menandakan kegagalan sistem pemerintah dalam menghargai dan memprioritaskan pendidikan sebagai pilar utama dalam mendidik anak-anak dan membangun bangsa. Bukan malah saling melempar tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan guru honorer yang merupakan kontributor terbesar dalam kualitas anak bangsa dan pendidikan di Indonesia. Bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan mutu pendidikan meningkat, jika para pendidik atau pengajarnya berjuang untuk bertahan hidup? Jika hal ini tidak dapat diselesaikan maka krisis ini akan selalu menjadi noda hitam dalam proses perjalanan pembangunan pendidikan di Indonesia. Wallahu ‘alamu bi al-shawaab