Oleh: Siti Efrilia, Mahasiswa UIN Salatiga
Di masa liburan semester ini, pasti kamu di rumah, diperintah untuk melakukan pekerjaan seperti mencuci piring, menyapu, mencuci baju, bahkan disuruh untuk pergi ke warung, disuruh ini dan itu, pokoknya segala hal tentang urusan rumah. Pekerjaan yang sungguh melelahkan bukan? Tapi nyatanya pekerjaan itu dilakukan oleh ibumu, setiap hari.
Saat kamu tidak melakukan perintah ibumu, ia marah, dan mungkin tidak sengaja keluar kata-kata yang membuat hati kalian tersakiti. Kemudian kamu yang merasa tersakiti itu membuka sosial media, melihat postingan singkat tentang kata-kata seperti “cape ga si? Baru bahagia sebentar, udah sedih lagi. Baru lega sebentar, udah sesak lagi. Hidup kok gini banget ya? Saya salah apa emangnya? Katanya gaboleh jahat, tapi terlalu baik juga salah. Harus gimana sih? Sumpah! Capek.”
Diiringi lagu sedih yang menyayat hati.Kamu merasa relate dengan postingan singkat tersebut. Lalu mencari postingan tentang kata-kata singkat seperti itu untuk menambah suasana sedih di hatimu sambil menangis tersedu-sedu di kamar.Di lain sisi ibumu sedang berkutat dengan panci dan wajan di dapur, menyalakan kran air untuk mencuci baju, dan menggerutu tentang dirimu yang hanya berdiam diri di kamar seharian.
“Terkadang kita terlalu sabar menjaga sikap agar tidak menyakiti hati orang lain. Tetapi terkadang justru orang lain tak pernah berpikir untuk menjaga hati kita. Inilah hidup, kita yang menjaga, kita yang tersakiti.”
Satu postingan lagi bergulir, berganti dengan postingan lain yang lebih menyayat hati dengan nuansa lagu yang benar-benar membuat hati terenyuh menikmati kesedihan. Kamu merasa bahwa kesedihanmu itu harusnya dibagikan kepada orang-orang, kamu merasa bahwa mungkin orang lain akan peduli. Kamu merasa bahwa keluarga kalian tidak baik-baik saja, kamu merasa hidup di keluarga broken home, kamu tidak betah tinggal di rumah, rasanya ingin keluar dari rumah, dan tangan kalian dengan enteng memposting kegalauan tentang sulitnya hidup.
Berharap mendapat simpati dari orang lain. Yang padahal sebenarnya tidak.Lalu apa yang kamu dapat setelahnya? Kamu depresi, merasa dunia tidak berpihak kepada kalian. Merasa bahwa teman-temanmu tidak ada yang mengerti. Muncul lagi postingan sosial media tentang “8 tanda kalau kamu sedang lelah hati, pikiran, dan terindikasi depresi.”
Diikuti penjelasan-penjelasan tanpa bukti ilmiah.Kamu melihat ke sekitar kamar, mata sudah sembab oleh air mata, rasa lapar mulai terasa tetapi kamu gengsi untuk keluar dari kamar, rambut tidak karuan berantakannya, matahari yang tadi menyinari jendela kamar juga kini mulai pergi untuk mengistirahatkan diri.
Sampai di malam hari seperti ini pun tidak ada tanda-tanda ibumu akan mengetuk pintu kamar. Begitu juga dengan kamu yang sangat enggan untuk keluar dari kamar walaupun sangat lapar. Kamu masih saja men-scroll postingan-postingan menyedihkan tentang kehidupan. Menyetel lagu galau yang membuat hatimu terus-terusan merasa sangat tersakiti.
Kakakmu pulang ke rumah selepas bekerja, 200 ribu tersisa. Gajinya bulan ini, tiga juta sebelumnya dikirim ke rekening bank kampus untuk membayar ukt-mu. Ibumu datang memberinya segelas teh hangat di meja.
Kamu masih merasa depresi dengan hidupmu? Masih merasa setres ketika kakakmu dengan gajinya yang pas-pasan itu digunakan untuk membayar ukt-mu? Masih merasa bahwa tidak ada yang peduli denganmu? Masih tidak sadar bahwa kakakmu bahkan hidupnya mungkin lebih berat daripada kamu yang hanya meromantisasi kesedihan di kamar sambil rebahan? Masih merasa tidak adil ketika kamu disuruh ibumu untuk bersih-bersih rumah sementara kakakmu tidak pernah disuruh oleh ibumu?
Sadarlah, tulisan ini ditulis bukan untuk meremehkan kondisi mental seseorang, tapi untuk menyadarkan diri penulis sendiri, dan diri para mahasiswa yang ketika diperintah orang tua untuk melakukan pekerjaan rumah malah merasa bahwa ia anak yang paling disuruh-suruh, padahal seharusnya sadar diri, bahwa hidupnya masih dibiayai, bukan mencari sendiri.
Kamu bicara soal depresi sambil merebahkan badan di kasur, sementara ibumu berkutat dengan pekerjaan rumah yang menggunung dan kakakmu mencari uang untuk membayar ukt-mu sampai kakakmu lupa untuk membahagiakan dirinya sendiri. Harusnya kamu malu. Bukan teriak depresi. Harusnya kamu sadar diri. Bukan menangis seolah-olah jadi anak paling tersakiti.