Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
FeatureKolom

Haus Validasi

×

Haus Validasi

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Muhammad Aufal Fresky*)

Sepertinya saya harus mengakui dan menyatakan dengan seterang-terangnya bahwa memang benar fenomena “haus validasi” sudah menyasar semua kalangan. Bisa jadi, sebagian dari kita sudah terpapar, entah berapa persen kadarnya. Disadari atau tidak, masifnya penggunaan media sosial (medsos), seperti Instagram, Facebook, X, dan semacamnya, juga mendorong kita untuk juga berbondong-bondong menunjukkan diri kepada dunia. Segala hal yang menyangkut pemikiran, prestasi, kendaraan, rumah pribadi, aset, karir, dan bahkan keluarga juga diposting di medsos hanya untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain.

Example 300x600

Menampilkan citra diri sebagai sosok yang unik, hebat, istimewa, dan “the best” semacam menjadi kepuasan tersendiri. Padahal, belum tentu juga netizen peduli dengan segala apa yang kita tampilkan. Entah itu berupa teks, gambar, audio, atau video. Bahkan, bisa jadi menimbulkan iri, dengki, dan kecemburuan sosial bagi yang melihat postingan-postingan kita. Sebab, kita pun tak kuasa untuk mengontrol persepsi orang lain.

Ali bin Abi Thalib, salah satu sahabat Nabi, pernah mengatakan, “Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun. Karena yang menyukaimu tidak membutuhkan itu. Dan yang membencimu tidak akan mempercayai itu.” Rasa-rasanya, pernyataan beliau menjadi cambukan sekaligus pengingat yang cukup relevan di era digital sekarang. Era di mana, sebagian dari kita berlomba-lomba untuk mendapatkan apresiasi, tepuk tangan, dan sanjungan atas segala pencapaian diri. Sebenarnya sah-sah saja mengisi postingan medsos dengan ragam kegiatan, pencapaian, dan apapun itu. Hanya saja yang patut digarisbawahi adalah ketika kita terus menerus mendambakan like, komen, dan share dari orang lain.

Kadang kita terlalu berharap orang lain akan merespon dan mengacungkan jempol kepada diri ktia. Sebaliknya, ketika harapan itu tidak sesuai kenyataan, kita pun uring-uringan dan merasa kecewa. Seolah-olah semua sedang tidak baik-baik saja. Padahal, itu hanya anggapan kita yang salah kaprah. Perasaan semacam itulah yang patut diwaspadai. Sebab, bukan tidak mungkin. cepat atau lambat, kita akan kehilangan identitas diri. Itu semua terjadi karena kita terlalu menggantungkan gerak langkah hidup kita pada pengakuan dan penialaian orang lain. Konsekuensinya kita bisa terombang-ambing dalam menjalani hidup. Tidak memiliiki arah dan tujuan yang jelas. Sebab, sekali lagi, kita selalu mempertimbangkan apa yang orang lain pikirkan terhadap diri kita. Padahal, belum tentu juga orang-orang peduli.

Apa jadinya hidup kita setiap langkahnya hanya berupaya untuk memuaskan dan menyenangkan setiap orang. Bahkan, sekalipun dengan berdusta dan tidak menjadi diri sendiri, kita tela melakukannya. Dengan memakai topeng yang berlapis-lapis alias bermain sandiwara, kita mati-matian mencari validasi. Idealisme yang dulunya diperang erat-erat tiba-tiba digadaikan hanya untuk mendapatkan perhatian netizen. Kita pun menanggalkan nilai-nilai luhur dan prinsip hidup. Semua itu bermula dari keinginan yang menggebu-gebu untuk diperhatikan dan dianggap oleh orang lain. Kita pun akan sukar mengontrol diri. Termasuk mengontrol gejolak emosi yang berkecamuk karena senantiasa mendambakan perhatian.

Salah satu dampak dari haus validasi yaitu kita bisa menghalalkan segala cara untuk sekadar viral dan terkenal. Dikiranya dengan menjadi masyhur otomatis menjadi orang hebat. Padahal, tidak semua yang terkenal itu hebat. Padahal, tidak semua yang tidak terkenal itu tidak hebat. Betapa banyak orang yang mungkin ada di sekitar kita yang betul-betul hebat tapi tidak terkenal. Dalam hal ini, saya perlu menegaskan kembali bahwa popularitas tidak menjamin kualitas seseorang. Maka dari itu, mari kita berpikir ulang mengenai konsep manusia hebat dan besar itu seperti apa. Sebab, faktanya banyak orang yang bahkan tidak memiliki medsos, tidak pernah melakukan branding diri, tapi sampai sekarang orang-orang mengenang jasanya. Bukankah orang-orang itu termasuk orang pilihan? Silakan renungi lagi. Maka dari itu, kita sebagai pengguna medsos, saya rasa tidak perlu berlebihan mengejar pengakuan dari orang lain. Apalagi sampai melabrak norma agama dan hukum. Itu sudah melampuai batas dan sangat keterlaluan.

Lagi pula, langit tidak pernah menunjukkan dan menyatakan dirinya itu tinggi. Gunung tidak pernah bersuara lantang bahwa dirinya menjulang tinggi. Singa tidak pernah mendeklrasikan diri sebagai raja hutan. Artinya adalah tidak usah sibuk menampilkan diri sebagai sosok yang hebat, istimewa, cerdas, dan bergelimang harta. Sebab, kehebatan yang sebenarnya itu tanpa ditunjukkan pun, orang-orang akan mengakuinya. Tugas dan tanggung jawab kita hanyalah terus menerus berproses menjadi insan beriman, berilmu, dan senantiasa beramal sholeh. Menjadi hamba Tuhan yang sebenarnya. Menjadi manusia yang takwa secara lahir dan batin. Menjadi manusia yang senantiasa menebar kebermanfaatan di mana pun kita berada. Karena yang namanya mutiara itu tetap berharga sekalipun tergeetak di pinggir sawah. Artinya, tidak harus berada di toko perhiasan dan dinyatakan oleh salesnya sebagai benda mulia.

Terkait pembahasan di atas, untuk mengakhiri tulisan ini, izinkan saya mengutip peribahasa Jawa: “ojo rumongso iso, nanging biso rumongso”. Artinya jangan merasa bisa, tetapi bisa merasa. Peribahasa tersebut sangat filosofis dan relevan untuk diamalkan setiap dari kita. Terutama untuk membuang jauh-jauh perasaan narsistis dan sifat “keakuan” yang bercokol dalam alam pikiran dan batin kita. Peribahasa. tersebut menjadi alarm pengingat bagi kita untuk menangkal kesombongan dan kebohongan untuk mendapatkan validasi orang lain. Sehingga dalam menggunakan medsos akan lebih bijak dan tidak mengandalkan keegoan yang berlebihan.

Dengan begitu, kita justru akan lebih fokus pada tujuan hidup yang lebih hakiki. Tidak begitu peduli dengan penilaian orang lain. Sebab, yang kita pedulikan hanyalah bagaimana Allah, Sang Pencipta alam dan seisinya, ridha pada kita. Sebab, yang kita pedulikan hanyalah bagaimana agar kelak bisa mendapatkan syafaatnya manusia pilihan, manusia terbaik di muka bumi, yaitu Baginda Yang Mulia Nabi Muhammad SAW. Jadi mari kosongan hati kita dari segala hal yang menyangkut keinginan untuk mendapatkan validasi orang lain. Karena dengan begitu, hidup akan terasa lebih indah dan penuh ketenangan.

*) Penulis buku Empat Titik Lima Dimensi

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *