Oleh: Mokhamad Abdul Aziz, M.Sos, M.E., Koordinator Bidang Riset dan Inovasi DPD KNPI Jawa Tengah 2022-2025, Ketua Kompartemen Pertanian dan Pangan BPW HIPKA Jateng 2024-2029
Regenerasi petani di Jawa Tengah—dan Indonesia secara umum—sedang berada pada tahap yang mengkhawatirkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 menunjukkan bahwa hanya sekitar 21,93% petani berada pada rentang usia muda 19–39 tahun. Artinya, dari lebih dari 28 juta petani di Indonesia, hanya sekitar 6,18 juta yang tergolong muda. Bila dilihat lebih spesifik, generasi yang lebih muda lagi seperti Gen Z bahkan hanya menyumbang sekitar 2,14% dari total petani. Sebaliknya, mayoritas petani kini berada pada kategori usia di atas 40 tahun—kelompok yang dalam waktu dekat akan memasuki masa pensiun.
Angka-angka ini mencerminkan pergeseran minat yang cukup drastis. Di banyak daerah di Jawa Tengah, pemuda cenderung memilih bekerja di sektor industri atau jasa yang dianggap lebih stabil, lebih modern, dan menawarkan pendapatan yang lebih pasti. Pertanian dipersepsikan sebagai pekerjaan berat, penuh risiko cuaca dan harga, serta kurang menjanjikan secara ekonomi. Sementara itu, akses terhadap lahan dan permodalan masih menjadi kendala klasik yang membuat anak muda sulit memulai usaha tani secara mandiri. Kombinasi faktor-faktor ini membuat pertanian kalah bersaing dengan profesi lain dalam imajinasi ekonomi generasi baru.
Namun gambaran itu tidak sepenuhnya mencerminkan realitas pertanian masa kini yang mulai berubah cepat. Di berbagai wilayah, teknologi telah masuk ke ladang dan sawah, menghadirkan model pertanian yang jauh lebih efisien, bersih, dan menarik bagi generasi digital. Drone kini digunakan untuk pemetaan lahan dan penyemprotan, sensor IoT mampu membaca kelembapan tanah dan kebutuhan nutrisi secara real time, dan greenhouse modern memungkinkan pemuda menghasilkan komoditas premium tanpa bergantung pada cuaca. Urban farming dan hidroponik menjadikan pertanian mungkin dilakukan di lahan sempit, bahkan di halaman rumah. Semua ini memperlihatkan bahwa pertanian hari ini tidak lagi identik dengan lumpur dan kerja kasar; ia telah naik kelas menjadi sektor teknologi yang mengandalkan data, otomatisasi, dan inovasi.
Perubahan ini juga membuka peluang pendapatan yang lebih menarik. Laporan pemerintah dan berbagai media menunjukkan meningkatnya jumlah petani muda yang mampu menghasilkan antara Rp 15 juta hingga Rp 20 juta per bulan melalui model pertanian modern. Mereka menggunakan greenhouse otomatis, sistem irigasi pintar, pemasaran digital, dan pendekatan agribisnis. Fakta-fakta seperti ini menunjukkan bahwa peluang ekonomi sebenarnya cukup besar, hanya saja belum cukup tersosialisasi ke seluruh lapisan pemuda.
Bagi Jawa Tengah, momentum ini seharusnya menjadi pintu masuk bagi strategi regenerasi petani. Provinsi ini memiliki kombinasi ideal antara potensi lahan, sumber daya manusia yang besar, serta tradisi agraris yang sudah mengakar. Jika dikelola dengan visi modern dan berbasis inovasi, Jawa Tengah berpeluang menjadi pusat pertanian maju yang mampu menarik minat pemuda kembali mengolah tanah mereka sendiri.
Regenerasi petani tidak bisa lagi sekadar mengandalkan imbauan agar pemuda “ikut membantu orang tua di sawah”. Ajakan moral tidak cukup kuat untuk menjawab perubahan nilai dan preferensi bekerja generasi sekarang. Yang diperlukan adalah transformasi wajah pertanian itu sendiri: pertanian yang modern, digital, efisien, dan menjanjikan secara ekonomi. Ketika pemuda melihat bahwa pertanian memberi ruang untuk kreativitas, inovasi, dan keuntungan, mereka akan datang dengan sendirinya.
Tentu tantangan tetap ada. Akses lahan dan modal perlu diperbaiki melalui skema pembiayaan yang bersahabat bagi pemula. Pendidikan dan pelatihan teknologi pertanian harus diperluas agar pemuda tidak sekadar tertarik, tetapi juga mampu mengelola pertanian modern secara profesional. Kolaborasi antara pemerintah, kampus, pelaku agritech, serta organisasi kepemudaan seperti KNPI perlu diperkuat agar tercipta ekosistem pendukung yang berkelanjutan. Pendidikan vokasional, inkubasi startup agritech, hingga pengembangan desa inovasi pertanian dapat menjadi model yang mempercepat transformasi.
Di tengah ancaman menurunnya jumlah petani muda, harapan tetap terbuka. Teknologi telah mengubah pertanian dari sektor tradisional menjadi sektor yang sangat relevan bagi generasi digital. Dengan pendekatan yang tepat, pertanian dapat kembali dipandang sebagai profesi masa depan—bukan masa lalu. Pertanyaannya bukan lagi apakah pemuda mau bertani, tetapi apakah kita mampu menyiapkan ekosistem yang membuat mereka melihat pertanian sebagai jalan karier yang modern, layak, dan bermartabat.
Jika Jawa Tengah mampu memimpin agenda regenerasi petani berbasis teknologi, maka provinsi ini bukan hanya menjaga ketahanan pangannya sendiri, tetapi juga memberi contoh bagi daerah lain. Masa depan pertanian tidak ditentukan oleh luasnya lahan, melainkan oleh seberapa jauh kita mampu menggabungkan teknologi, inovasi, dan semangat generasi muda. Dan pada akhirnya, masa depan itu hanya bisa ditanam hari ini. Wallahu a’lam bi al-shawwab.
















