Oleh: Iqlima Rosyidah Khoirunnisa, Santri-Murid Kecil (Sancil) Planet Nufo Rembang
Pada suatu pagi, seorang gadis kecil yang ceria dan hobi bermain sepeda bangun dari tidurnya yang lelap. Ia membuka jendela, menghirup udara segar, lalu tersenyum.
Pelayan mengetuk pintu kamarnya.
“Selamat pagi, Nak. Hari ini mau sarapan apa?” tanya pelayan sopan.
“Aku ingin makan spageti dan roti. Jangan lupa susu full cream, ya,” jawab gadis kecil itu.
Pelayan pun segera menyiapkan menu. Sementara itu, si gadis kecil—Soimah namanya—bersiap mandi, lalu mengenakan seragam merah putihnya yang rapi.
Dari bawah, terdengar suara Mama.
“Soimah! Turun, Nak, sarapan sudah siap!”
Setelah makan, Soimah berpamitan. Hari itu adalah hari pertamanya masuk kelas 2 SD. Ia tampak bangga memakai tas baru, oleh-oleh dari ayahnya yang pulang dari Jepang.
Pertemuan Sahabat Lama
Di sekolah, Soimah kembali bertemu sahabat-sahabatnya: Maemunah dan Emma. Mereka sudah lama merencanakan untuk bermain sepeda sore nanti. Di antara ketiganya, Soimah memang yang paling mahir mengayuh sepeda.
Sore hari, mereka bertiga berkumpul di lapangan milik ayah Soimah. Angin sepoi-sepoi menemani tawa mereka. Soimah terlihat bersemangat, bahkan mulai berani bersepeda sampai ke tengah jalan.
“Soimah! Hati-hati, ada truk!” teriak Maemunah keras.
Namun Soimah mengabaikannya. Ia gengsi jika harus kalah berani.
Tin… tin… brak!
Jeritan terdengar. Tubuh Soimah terhempas. Kakinya hancur. Semua orang panik, lalu segera membawanya ke rumah sakit.
Duka Sang Ayah
Di tempat lain, ayah Soimah—Pak Soto—baru saja menerima kabar buruk. Bukan hanya karena anaknya kecelakaan, tetapi juga karena pekerjaannya dipecat oleh bosnya, Pak Wildan. Usaha dan tabungan yang selama ini ia kumpulkan demi Soimah, kini runtuh seketika.
Di rumah sakit, dokter memberi kabar pahit.
“Pak, kaki Soimah tidak bisa diselamatkan. Kedua kakinya hancur,” ucap dokter dengan hati-hati.
Pak Soto terdiam. Hatinya remuk.
Soimah yang sadar kemudian menangis.
“Ayah, belikan aku kaki baru… aku ingin bisa berlari lagi!” pintanya dengan mata berkaca-kaca.
Pak Soto tak sanggup menjawab. Yang bisa ia lakukan hanyalah berusaha keras. Ia rela menjual mobil, bahkan rumahnya, demi membeli kaki palsu untuk anak yang sangat ia cintai.
Jejak Roda yang Tinggal Kenangan
Beberapa minggu kemudian, Soimah pulang dari rumah sakit. Meski tubuhnya tak lagi sama, ia berusaha tegar. Ayahnya selalu berada di sampingnya, meski kini mereka hidup sederhana di rumah kecil.
Setiap kali melihat sepeda di halaman, air mata Soimah menetes.
Ia teringat suara sahabatnya—peringatan yang diabaikannya.
Ia juga teringat ayahnya—yang rela mengorbankan segalanya demi dirinya.
Kini, setiap jejak roda selalu meninggalkan jejak air mata.
Tamat.