Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
KolomOpini

Jeritan Hati Masyarakat Tanjung Aan

×

Jeritan Hati Masyarakat Tanjung Aan

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Abdurrahman Syafrianto, M.H., Ketua Umum Himpunan Masyarakat Lombok Banjar Jawa Tengah (Himalo Jateng), Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Unissula Semarang.

Pantai Tanjung Aan, dengan pasir putihnya yang lembut dan air laut yang jernih membiru, selama ini bukan hanya sekadar permata pariwisata di Kuta Mandalika Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Bagi masyarakat lokal Kuta Mandalika, Tanjung Aan adalah jantung penghidupan, urat nadi yang mengalirkan kehidupan ke dalam rumah-rumah mereka. Di sana, mereka berjualan, menyediakan jasa, dan merajut asa demi kelangsungan hidup. Namun, kini, detak jantung itu terancam berhenti, digantikan oleh deru pembangunan hotel bintang lima dan beach club sebagai bagian dari program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika yang dikelola oleh PT Pembangunan Pariwisata Indonesia atau Injourney Tourism Development Corporation (ITDC).

Example 300x600

PT ITDC adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang pengembangan dan pengelolaan kawasan pariwisata. PT ini diberi wewenang untuk mengelola dua kawasan pariwisata, yakni The Nusa Dua di Bali dan KEK Mandalika di Lombok NTB. Dikutip dari Kompas.com (2023), ITDC berhasil mengubah Kawasan Nusa Dua Bali yang awalnya daerah pantai tidak produktif menjadi wisata mewah, tapi tidak dengan KEK Mandalika.

Di KEK Mandalika, ITDC justru membebani Negara dengan utang sebesar Rp 4,6 triliun, sehingga ujung-ujungnya mengajukan Bantuan Negara melalui Penyertaan Modal Negara (PMN). Artinya, ada yang tidak beres dalam pengembangan dan pengelolaan yang dilakukan oleh ITDC di KEK Mandalika. Lalu apakah Pemerintah Daerah akan membiarkan ITDC terus membangun KEK Mandalika tanpa melakukan audit dan evaluasi? Apalagi saat ini ITDC akan melakukan penggusuran lapak jualan masyakat setempat di pesisir Pantai Tanjung Aan untuk membangun hotel bintang lima dan beach club.

Keputusan ini terasa seperti tamparan keras di wajah keadilan sosial. Bagaimana mungkin pembangunan yang diagung-agungkan sebagai pendorong ekonomi justru mengorbankan masyarakat yang telah berjuang mempertahankan denyut nadi pariwisata lokal? Pemerintah Daerah seolah menutup mata, pura-pura tidak melihat ketika rakyatnya sendiri terancam kehilangan mata pencarian. Ironisnya, selama ini, para pedagang dan penyedia jasa di Tanjung Aan selalu taat membayar pajak, berkontribusi langsung pada kas daerah. Ini adalah bukti nyata bahwa pemerintah daerah, dalam hal ini, hanya memikirkan keuntungan sektoral, mengabaikan nasib rakyat pribumi yang menggantungkan hidupnya pada secuil tanah dan laut.

Pemerintah bahkan tidak hanya menutup mata, melainkan ikut terlibat mengawal penggusuran lapak jualan rakyat pesisir Pantai Tanjung Aan. Sebagaimana dikutip dari Netralnews.com, pada Senin, 16 Juni 2025, Pasukan Keamanan ITDC dan Aparat Kepolisian yang didampingi Kepada Desa Sukadane Kecamatan Pujut, mendatangi warung-warung yang berjualan di sekitar pesisir Pantai Tanjung Aan untuk mengantarkan surat pengosongan lahan atas nama Vanguard yang mewakili kelompok Investor di KEK Mandalika. Pengosongan lahan tersebut diberi tenggang waktu sampai 14 hari sejak surat tersebut diberikan. Sebelum itu, para pedagang sering didatangi oleh Pihak ITDC untuk menandatangi surat pernyataan siap digusur, tapi mereka menolak, karena meyakini punya dasar dan taat aturan saat berjualan di sana.

Salah seorang warga pemilik lahan dan sekaligus warung makan di Pantai Tanjung Aan bernama Adi Wijaya menuturkan bahwa tanah warisan keluarganya di kawasan Tanjung Aan belum terselesaikan sampai saat ini, tapi pihak ITDC terus mengklaim sudah clear and clean hingga masuk ke dalam Hak Pengelolaan Lahan (HPL) KEK Mandalika. Selama Tinggal di pesisir Tanjung Aan, ia sering didatangi Aparat Keamanan, baik Securty ITDC maaupun Aparat lainya. Bahkan pada malam hari, ia didatangi rampok atau maling.

Selain itu, Kartini yang juga mempunyai Cafe di Pesisir Pantai Tanjung Aan menyampaikan bahwa dirinya dan warga lainnya sudah berjualan di tempat itu sejak lama dan mempunyai izin serta selalu membayar Pajak ke Pemerintah Daerah. Ia menambahkan bahwa penggusaran ini akan merugikan masyarakat setempat dan menghilangkan sumber pendapatan tempat mereka menyambung hidup selama ini. Jika orang asing boleh beriwrausaha di Tanjung Aan, kenapa mereka sebagai warga pribumi tidak?

Pemerintah dan ITDC harusnya tidak bisa menyamakan kondisi Kawasan Nusa Dua Bali dengan Kuta Mandalika Lombok yang sejak awal memang sudah ramai pengunjung. Artinya, para turis berdatangan ke Lombok karena keindahan alam dan budayanya. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan seorang wisatawan asing dalam akun Instagramnya yang mengatakan bahwa mereka datang ke Lombok karena budaya, penduduk lokal, keindahan aslinya bukan karena hotel mewah dan beach club. Ia pun mengajak masyarakat untuk menolak rencana pembangunan hotel mewah dan beach club di Tanjung Aan, karena akan menghapus Usaha lokal dan merusak keaslian budaya Lombok.

Amanat konstitusi, yang seharusnya menjadi pedoman utama dalam setiap kebijakan, seolah diabaikan begitu saja oleh Pemerintah. Dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dengan jelas dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Apakah penggusuran masyarakat demi pembangunan hotel mewah adalah bentuk kemakmuran rakyat? Apakah keuntungan segelintir korporasi lebih diutamakan daripada kesejahteraan ribuan warga lokal? Ini adalah pertanyaan retorik yang menggantung di udara, menuntut jawaban yang jujur dari para pemangku kebijakan.

Selain itu, dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 secara tegas disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bagaimana bisa masyarakat memiliki penghidupan yang layak jika tempat mereka mencari nafkah dirampas? Bagaimana mereka bisa bekerja jika lahan dan pantai yang selama ini menjadi sumber rezeki mereka dialihfungsikan menjadi properti privat yang tidak dapat diakses? Ini adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara. Pembangunan seharusnya mengangkat harkat dan martabat rakyat, bukan malah menjerumuskan mereka ke dalam jurang kemiskinan dan keterpurukan.

Proyek KEK Mandalika memang digadang-gadang akan membawa investasi besar dan meningkatkan kunjungan wisatawan. Namun, apakah pembangunan harus selalu berarti pengorbanan? Apakah kemajuan harus selalu datang dengan tangisan dan air mata rakyat kecil? Pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan seharusnya mampu menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pembangunan tidak boleh menjadi alat untuk memperkaya segelintir pihak dengan mengorbankan mayoritas. Masyarakat lokal adalah aset, bukan beban. Pengetahuan mereka tentang lingkungan, budaya, dan pariwisata lokal adalah modal yang tak ternilai harganya. Melibatkan mereka dalam proses pembangunan dan memberdayakan mereka untuk menjadi bagian dari ekosistem pariwisata akan jauh lebih bermanfaat daripada sekadar menggusur mereka.

Kita perlu belajar dari pengalaman banyak daerah lain. Pembangunan pariwisata yang tidak melibatkan masyarakat lokal seringkali berujung pada konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan hilangnya identitas budaya. Hotel-hotel megah dan fasilitas mewah memang menarik wisatawan, tetapi yang membuat sebuah destinasi berkesan adalah keaslian budayanya, keramahan penduduknya, dan keunikan pengalaman yang ditawarkannya. Ketika masyarakat lokal tergusur dan kehilangan mata pencarian, siapa yang akan menjaga nilai-nilai luhur ini? Siapa yang akan menjadi duta wisata yang sesungguhnya?

Pemerintah Daerah dan PT ITDC seharusnya tidak hanya melihat Tanjung Aan sebagai sebidang tanah kosong yang siap dibangun. Mereka harus melihatnya sebagai rumah, sebagai tempat berakar, sebagai sumber kehidupan bagi banyak keluarga. Dialog yang tulus, transparan, dan partisipatif adalah kunci. Masyarakat tidak menolak pembangunan, tetapi mereka menuntut keadilan. Mereka menuntut agar hak-hak mereka dihormati, agar mata pencarian mereka tidak direnggut, dan agar mereka dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka. Kompensasi yang layak, relokasi yang adil, dan program pemberdayaan yang berkelanjutan harus menjadi prioritas, bukan sekadar janji kosong.

Sudah saatnya pemerintah berhenti melihat rakyatnya sebagai statistik atau angka-angka dalam laporan pembangunan. Rakyat adalah manusia, dengan harapan, impian, dan hak-hak yang melekat pada diri mereka. Pembangunan yang adil dan beradab adalah pembangunan yang menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama. Jika pembangunan KEK Mandalika tidak mampu menjamin kesejahteraan masyarakat lokal, jika pembangunan ini hanya akan menciptakan kantong-kantong kemiskinan baru di tengah kemewahan, maka patut dipertanyakan, untuk siapa pembangunan ini sebenarnya dilakukan?

Tanjung Aan adalah cerminan dari tantangan pembangunan di Indonesia. Apakah kita akan membiarkan gemerlap investasi membutakan mata hati kita terhadap jeritan rakyat kecil? Atau akankah kita berdiri teguh, memastikan bahwa setiap jengkal tanah, setiap tetes air, dan setiap kebijakan yang diambil benar-benar dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana amanat konstitusi? Ini adalah pertanyaan yang harus dijawab dengan tindakan nyata, bukan hanya dengan retorika kosong. Masa depan masyarakat Tanjung Aan, dan pada akhirnya, masa depan keadilan sosial di Indonesia, berada di tangan kita semua.

#SaveTanjungAan #RakyatMelawan #KEKMandalikauntukSiapa

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *