Oleh: Anak Pagi
Perjalanan naik ‘tayo’ memang penuh experience. Kadang dari supir yang barbar, kondisi mobil yang tidak prima, lalu lintas padat, penumpang rusuh, pengamen datang silih berganti, dan masih banyak lainnya. Semua itu kadang menyisakan trauma tapi tidak sedikit yang membawa bahagia. Perjalanan Rembang-Semarang naik ‘tayo’ bukan untuk para pengecut.
Di musim hujan, kawasan Kudus, Demak, dan Semarang adalah wilayah zona merah karena banjir. Para supir pengecut hanya akan mendapat uang tarif jarak jauh, namun menurunkan penumpang di jarak dekat, Kudus. Supir pemberani yang arif dan bijaksana sudah pasti menerjang gelombang banjir dengan penuh tekad tanpa keraguan. Ibarat tokoh wayang, supir macam ini sudah pasti menjadi Gatotkaca.
Pagi yang cerah, aku memulai hari dengan penuh harap agar banjir segera surut sehingga supir jenis apapun, aku akan tetap sampai di Semarang. Barang yang kubawa kali ini lumayan berharga, yaitu kamera. Kukemas sedemikian rupa untuk mengantisipasi cuaca yang tidak bisa dikira-kira.
Tayo biru datang dari arah timur. Tulisan Surabaya-Semarang terpampang nyata. Begitupun dengan keterangan lain yang lebih besar, tulisan EKONOMI. Aku masih ragu. Tayo biru itu mendekat cepat. Arah pandang mataku tertuju ke supir. Kulihat tatapan mata pak supir yang tajam dan penuh kepercayaan diri membuatku yakin bahwa aku harus segera naik tayo ini.
Tempat duduk depan kosong karena penumpang sebelumnya sudah turun. Aku bergegas menduduki kursi istimewa itu. Kursi yang selalu menjadi primadona kemana pun arah tujuannya. Duduk di kursi primadona ini tidak berarti tanpa konsekuensi. Debu dan polusi dari jalanan akan langsung memapar penumpang depan, terutama kernet dan supir. Maklum, pintu Tayo Ekonomi selalu terbuka.
Aku ingat ada kaos kaki hitam di tas. Kaos kaki yang sudah aku cuci dan rendam dengan pewangi. Aku bergegas memakainya sebelum debu dan polusi semakin menerpa. Kaos kaki yang sudah amat serasi dengan sendal hitam bertali belakang telah terpakai. Tapi tiba-tiba aroma tak sedap seperti aroma kaos kaki basah menyengat hidungku tanpa ampun. Lambungku bereaksi dengan kecepatan tinggi. Tidak ada satu detik, aku hampir mual.
Pikirku, “Tidak mungkin ini aroma kaos kakiku. Sudah kupastikan yang kubawa sudah ku cuci. Apa jangan-jangan kita di tambak ya?”
Aku melihat jendela tepat di sisi kiriku. Tapi tayo berhenti di kawasan pembuatan garam. Tidak mungkin sebau itu. Aku dengan berat hati mencopot kaos kakiku dan aroma tidak sedap itu hilang. Aku segera mencium kaos kakiku, memastikan aromanya. Mmm… Kuhirup dengan seksama dan siap dengan segala konsekuensinya.
Hufff…. lega. Kaos kakiku wangi bunga. Aku pakai lagi kaos kakiku dengan senang gembira. Lalu aroma itu datang kembali. Mataku terbelalak. Jantungku berdegup kencang. Instingku bergerak liar. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Hingga ujung pandangan mata ada pantulan dari jendela. Kaki manusia yang tepat berada di belakang tempat dudukku. Posisinya presisi dengan hidungku. Aku memastikan dan menoleh ke belakang.
Benar, bapak-bapak setengah tua duduk santai dan menumpangkan kakinya di tepian jendela. Tidak ingin bersu’udzon dengan orang. Aku kembali mencium kaos kakiku. Lagi-lagi masih beraroma bunga. Aroma busuk itu masih tercium dan semakin tercium ketika ada angin dari belakang yang dibawa oleh penumpang. Aku memutuskan untuk memakai kaos kakiku.
Langkah selanjutnya memberikan serangan kepada lawan. Aku menoleh ke belakang dan memberinya tatapan tajam. Bapak itu seketika grogi dan menurunkan kakinya. Aku beristirahat, kembali mengumpulkan energi untuk sampai Semarang setalah memberikan serangan pada lawan.