Oleh: Siti Munawwaroh, Mahasiswa UIN Sunan Kudus
Kasus pembunuhan Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo bukan sekadar kriminal biasa. Ia menjadi potret paling terang tentang bagaimana nilai-nilai Pancasila—yang seharusnya menjadi pedoman moral bangsa—dilanggar oleh pihak yang justru diberi mandat untuk menjaganya. Pancasila bukan hafalan dalam upacara, melainkan fondasi etis tentang bagaimana kekuasaan dijalankan, bagaimana manusia diperlakukan, dan bagaimana hukum ditegakkan. Ketika kasus Sambo mencuat, publik menyaksikan bagaimana kekuasaan dimanipulasi untuk menutupi kebenaran dan bagaimana skenario rekayasa hampir menggantikan fakta. Pada titik inilah kita patut bertanya: di mana posisi Pancasila ketika kekuasaan disalahgunakan?
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menuntut kejujuran, tanggung jawab, dan integritas moral. Seorang aparat penegak hukum tidak hanya memegang kekuasaan legal, tetapi juga amanah etis yang melekat pada jabatannya. Namun kasus Sambo menunjukkan bagaimana integritas dapat runtuh ketika kekuasaan ditempatkan di atas moralitas. Kebohongan yang disusun, bukti yang dirusak, serta upaya mengaburkan kebenaran mencerminkan hilangnya nilai ketakwaan dan kejujuran. Pancasila mengajarkan bahwa jabatan tidak boleh mematikan nurani, tetapi kasus ini menunjukkan betapa mudahnya nilai itu tergelincir ketika kekuasaan menjadi prioritas.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, bahkan lebih terluka lagi. Pembunuhan Brigadir J merupakan pelanggaran paling nyata terhadap martabat manusia. Tidak hanya nyawanya direnggut, tetapi nama baiknya dirusak melalui narasi rekayasa dan kriminalisasi alibi. Negara seharusnya menjadi penjaga nilai kemanusiaan, namun kasus ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan bisa digunakan sebagai alat penindas, bukan pelindung.
Retaknya nilai kemanusiaan itu berdampak langsung pada sila ketiga, Persatuan Indonesia. Kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian mengalami krisis besar setelah kasus ini terungkap. Kepercayaan adalah syarat utama persatuan; tanpa kepercayaan, relasi antara rakyat dan aparat berubah menjadi hubungan curiga. Masyarakat tidak lagi merasa aman, melainkan ragu apakah mereka bisa benar-benar dilindungi oleh negara. Pancasila mengingatkan bahwa persatuan hanya dapat tumbuh jika rakyat merasa diperlakukan adil, bukan ditakut-takuti atau dibohongi.
Di tengah gejolak itu, sila keempat tentang kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan menemukan relevansinya. Titik balik kasus ini justru muncul dari suara publik. Ketika narasi awal dikemas sebagai “baku tembak”, masyarakat merasakan kejanggalan. Tekanan publik melalui media, jagat digital, dan organisasi masyarakat sipil mendorong penyelidikan dibuka kembali secara transparan. Inilah bukti bahwa kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan negara lahir dari partisipasi rakyat. Tanpa pengawasan publik, besar kemungkinan kasus ini akan tenggelam sebagai laporan palsu. Kasus Sambo menunjukkan bahwa rakyat memiliki kekuatan moral dan politik yang penting dalam mengawal kebenaran.
Semua perjalanan panjang ini bermuara pada sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tujuan akhir negara adalah menegakkan keadilan tanpa memandang pangkat, jabatan, atau status sosial. Proses hukum terhadap Ferdy Sambo menjadi ujian apakah hukum di Indonesia hanya tajam ke bawah atau mampu tegas ke atas. Meski penuh intrik, pengadilan akhirnya menjatuhkan hukuman berat kepada Sambo. Hal ini menjadi preseden yang menunjukkan bahwa hukum dapat berdiri melampaui kekuasaan, bahwa negara mampu menegakkan keadilan meskipun pelakunya pejabat tinggi, dan bahwa sistem hukum dapat pulih ketika pengawas eksternal—dalam hal ini publik—tetap waspada. Namun perjalanan menuju keadilan tidak pernah mudah. Banyak perwira harus diperiksa etik, banyak fakta harus dibuka paksa, dan kepercayaan publik harus dirawat kembali dari luka yang dalam.
Kasus Ferdy Sambo adalah pelajaran pahit tentang rapuhnya nilai Pancasila ketika tidak dihayati dalam kehidupan bernegara. Namun ia juga menjadi bukti bahwa ketika publik bersuara dan sistem bekerja, keadilan masih mungkin ditegakkan. Bangsa ini membutuhkan lebih dari sekadar hafalan lima sila; kita membutuhkan aparat, pejabat, dan warga negara yang menghidupkan Pancasila dalam tindakan. Pancasila hanya bermakna jika menjadi kompas moral, bukan slogan kosong. Kasus Sambo mengingatkan kita bahwa tanpa penghayatan itu, hukum mudah retak, moral mudah runtuh, dan kebenaran dapat dikaburkan oleh rekayasa.
Hari ini, lebih dari sebelumnya, kita membutuhkan Pancasila sebagai napas penegakan hukum—bukan sekadar simbol, melainkan pondasi etis yang benar-benar diterapkan.


















