Medan, 8 Agustus 2025 — Ketika bangsa Indonesia bersiap menyambut Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia dengan gegap gempita, suara dari jantung Tanah Batak kembali bergema lantang. Bukan dalam irama perayaan, melainkan dalam jeritan perlawanan yaitu Tutup Perampasan Ruang Hidup!
Di tengah bendera-bendera yang dikibarkan dan upacara-upacara yang dipersiapkan, warga adat di kawasan Danau Toba justru kembali memperjuangkan hak-hak dasarnya atas tanah, air, dan hutan. Perusahaan industri berbasis hutan tanaman monokultur kembali disorot sebagai aktor utama yang diduga merampas ruang hidup masyarakat adat di wilayah itu. Dan kali ini, kritik tersebut hadir dengan dukungan kajian akademik yang tajam dan berbasis data.
Salah satu suara paling kritis datang dari akademisi dan aktivis lingkungan, Ruben Cornelius Siagian, yang juga menjadi salah satu penulis dalam jurnal ilmiah yang baru saja terbit yaitu “The Urgency of the Indigenous Peoples Bill: Developing a Legal Framework for the Protection of Environmental Activists in Indonesia” (Wijaya et al., 2025), dipublikasikan di jurnal terakreditasi nasional.
Dalam wawancaranya dengan media ini, Siagian menegaskan bahwa konflik ekologis yang terus terjadi di wilayah adat tidak bisa lagi dipandang sebagai persoalan lokal semata, melainkan sebagai cermin kegagalan sistemik negara dalam melindungi rakyatnya dari bentuk baru kolonialisme yang berwujud ekspansi korporasi.
“Ini bukan sekadar soal konsesi hutan. Ini adalah tragedi konstitusional. Ketika tanah adat yang sudah diakui negara tetap dijajah oleh investasi besar, maka yang runtuh bukan hanya pohon dan sungai — yang runtuh adalah wibawa negara itu sendiri,” ujar Ruben.
Dalam jurnal yang ia tulis bersama lima akademisi dari berbagai universitas, termasuk dari Warmadewa University dan Universitas Islam Indragiri, Siagian memaparkan bahwa akar dari konflik ekologis dan maraknya kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan di Indonesia, termasuk di kawasan Danau Toba, adalah ketiadaan payung hukum yang tegas untuk melindungi masyarakat adat dan pembela lingkungan. Penelitian mereka mengulas sejumlah kasus represif di berbagai daerah, termasuk di Sumatera Utara, yang menunjukkan pola yang sama: korporasi besar melanggar hak masyarakat, negara diam, dan aktivis dikriminalisasi. Kajian ini mendesak segera diratifikasinya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MHA) sebagai fondasi hukum yang mampu memberikan kepastian dan perlindungan.
Salah satu kasus yang diangkat dalam kajian ini menunjukkan bagaimana negara justru memberi ruang bagi perusakan ekosistem dan penindasan terhadap komunitas adat. Negara dinilai absen dalam mencegah konflik struktural akibat tumpang tindih perizinan, lemahnya penegakan hukum, serta keberpihakan pada modal besar alih-alih pada keadilan sosial.”Jika tak segera diratifikasi, maka Indonesia akan terus menyaksikan tragedi-tragedi ekologis yang bukan hanya meluluhlantakkan alam, tetapi juga menghancurkan martabat rakyat,” ujar Siagian dalam paparan penelitiannya.
Selama lebih dari tiga dekade, sebuah korporasi berbasis industri ekstraktif di kawasan tersebut telah meninggalkan jejak konflik yang panjang. Puluhan desa adat mengklaim bahwa wilayah mereka dirampas secara sistematis oleh perusahaan tersebut, yang memanfaatkan sumber daya alam untuk produksi skala besar. Hutan adat yang dahulu menjadi sumber air, pangan, dan budaya kini berubah menjadi bentang monokultur yang rentan terhadap bencana ekologis.
Laporan-laporan lapangan mencatat adanya intimidasi terhadap warga yang menolak aktivitas perusahaan. Bahkan tak sedikit warga adat, termasuk perempuan dan anak-anak, menjadi korban dalam proses penggusuran paksa dan kriminalisasi.Yang paling ironis, Presiden RI sendiri telah menetapkan beberapa kawasan hutan adat sebagai wilayah yang tak boleh dimasuki oleh korporasi. Namun di lapangan, perusahaan tersebut tetap beroperasi tanpa hambatan, seakan-akan kebal terhadap hukum. Fakta ini menjadi sorotan tajam dalam jurnal yang ditulis oleh Siagian dan rekan-rekannya, yang menyatakan bahwa kekuatan modal mampu “membeli” kebijakan publik dan membungkam suara rakyat.
Menjelang perayaan kemerdekaan, pertanyaan mendasar kembali mencuat: Untuk siapa kemerdekaan ini dirayakan? Apakah untuk rakyat, atau untuk investor dan pemilik modal? Siagian menilai bahwa momen 17 Agustus seharusnya bukan hanya panggung seremoni, tetapi panggung evaluasi – apakah kita sudah benar-benar merdeka?
“Kalau rakyat yang mempertahankan tanahnya dianggap sebagai kriminal, tapi perusahaan yang merusak lingkungan dilindungi oleh aparat, maka jelas: kemerdekaan itu belum merata,” katanya.
Seruan untuk menutup operasi perusahaan tersebut kini tak lagi datang dari satu-dua pihak. Dari lembaga keagamaan, komunitas adat, organisasi sipil, akademisi, hingga lembaga-lembaga nasional seperti Komnas HAM dan Ombudsman RI, suara penolakan makin menguat. Bahkan dalam laporan Ombudsman 2023 dan 2024, aktivitas perusahaan tersebut diidentifikasi mengandung potensi maladministrasi dan konflik berkepanjangan.
Ruben Siagian menegaskan bahwa negara memiliki seluruh perangkat hukum untuk mencabut izin perusahaan yaitu dari UUD 1945, UU Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009, hingga Putusan MK No. 35 Tahun 2012 yang mengakui eksistensi hutan adat. Namun yang tak dimiliki, katanya, adalah keberanian politik.
“Kita tidak kekurangan hukum, kita hanya kekurangan keberpihakan,” tegasnya.
Dalam penutup wawancaranya, Ruben Siagian mengajak seluruh elemen bangsa yaitu dari presiden, DPR, pemerintah daerah, hingga masyarakat sipil agar untuk melihat konflik ini sebagai simbol dari kegagalan pembangunan yang tidak adil.
“Kalau kita terus membiarkan tanah rakyat diambil, hutan dirusak, dan aktivis dibungkam, maka jangan bicara soal masa depan bangsa. Karena masa depan itu sudah dirampas hari ini,” katanya.
Maka, di tengah kemeriahan perayaan 17 Agustus nanti, satu suara dari Tanah Batak akan tetap bergema: Hentikan perampasan tanah. Pulihkan tanah adat. Wujudkan kemerdekaan sejati.
Referensi Akademik:
Wijaya, I.K.K.A., Azhar, A., Ridwan, M., Fikri, K.N.S., Siregar, V.A., & Siagian, R.C. (2025). The Urgency of the Indigenous Peoples Bill: Developing a Legal Framework for the Protection of Environmental Activists in Indonesia. Journal of Defense and Environmental Justice, Vol. 11, No. 1, pp. 1–15.