Oleh: Levina Elysia Felda, Duta Siswa Putri Kabupaten Karanganyar 2025
Kabut pagi Tawangmangu turun perlahan, menyelimuti lereng Lawu dengan kelembutan yang dingin. Udara lembap menembus kulit, sementara aroma tanah basah berpadu dengan wangi pepohonan pinus yang menjulang tinggi. Di antara kabut yang menggantung, aku memulai langkah menuju sebuah tempat yang konon menyimpan keindahan tersembunyi — Kedung Sriti, surga kecil yang hanya dikenal oleh segelintir orang yang mau menapaki jalan sunyi.
Perjalanan ini bukan sekadar liburan atau pelarian dari hiruk pikuk kota. Aku datang membawa rasa ingin tahu yang tumbuh dari cerita penduduk lokal. Mereka bercerita dengan nada penuh kagum, seolah tempat itu bukan hanya air terjun, melainkan ruang bagi jiwa untuk beristirahat.
“Kedung Sriti itu bukan hanya tentang air dan batu,” kata Pak Paiman, penjaga warung kecil di tepi jalan Cemoro Kandang. “Ia tempat di mana hati bisa kembali jernih. Tapi tidak semua orang bisa sampai ke sana. Kadang yang dicari bukanlah tempatnya, melainkan maknanya.”
Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku saat langkahku menapaki jalan setapak yang sempit dan berliku. Jalannya diapit oleh rumpun bambu, akar menjalar, dan suara gemericik air yang mengiringi sepanjang perjalanan. Aku berjalan mengikuti aliran sungai kecil yang mengalun seperti penuntun menuju rahasia alam. Setiap langkah terasa seperti menembus waktu — dunia kota yang bising perlahan menghilang, digantikan oleh suara burung, desir angin, dan nyanyian jangkrik yang menenangkan.
Ketika matahari mulai menembus dedaunan, sinarnya menari di atas permukaan air, menciptakan pantulan berkilau seperti serpihan kaca. Aku berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan menatap pepohonan. Dalam kesunyian itu, aku merasa alam sedang berbicara dalam bahasa yang hanya mampu dipahami oleh hati yang tenang.
Setelah hampir satu jam berjalan, terdengar gemuruh halus dari kejauhan. Suara itu seperti panggilan yang lembut — samar namun memikat. Langkahku mempercepat. Semakin dekat, kabut semakin tebal, dan ketika aku menembus semak terakhir, pandangan terbuka pada pemandangan yang menakjubkan.
Di hadapanku terbentang Kedung Sriti — air terjun setinggi belasan meter jatuh dari tebing batu hitam, mengalir ke kolam berwarna hijau toska. Cahaya matahari menembus kabut, menciptakan pelangi kecil yang berputar di antara butiran air. Di sekelilingnya, pakis liar tumbuh subur, sementara bebatuan hitam membentuk lingkaran alami. Tidak ada suara lain kecuali alam yang bernyanyi dalam harmoni sempurna.
Aku duduk di atas batu besar, menatap pusaran air yang berputar pelan di tengah kedung. Di dalamnya, aku melihat pantulan diriku sendiri — lelah, namun tenang. Aku sadar, perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan tempat tersembunyi, tetapi menemukan kembali bagian diriku yang sempat hilang.
Aku menulis dalam buku catatan kecil:
“Ketika alam berbicara, ia tidak menggunakan kata-kata. Ia berbicara lewat angin, air, dan kesunyian. Dan hanya hati yang hening yang mampu mendengarnya.”
Tak lama kemudian, seorang lelaki tua muncul dari arah hulu sungai. Rambutnya memutih, wajahnya legam oleh matahari, namun sorot matanya jernih. Ia tersenyum dan berkata pelan, “Sedikit orang yang datang ke sini untuk memahami, Nak. Banyak yang hanya ingin memotret. Padahal, Kedung Sriti bukan untuk diabadikan, melainkan untuk disyukuri.”
Aku terdiam. Lelaki itu kemudian membasuh wajahnya dengan air kedung dan berbisik, “Alam tak pernah meminta apa pun, tapi selalu memberi pelajaran.” Setelah itu ia pergi, meninggalkanku bersama hening yang terasa begitu hidup.
Sriti — burung walet — dalam budaya Jawa melambangkan kesetiaan dan kedamaian. Mungkin itulah mengapa tempat ini dinamakan demikian. Airnya setia mengalir tanpa pamrih, sementara alamnya tetap damai meski jarang disapa. Di sanalah aku benar-benar mendengar suara alam — bukan lewat telinga, melainkan lewat hati.
Saat senja turun perlahan, kabut kembali menutup tebing dan sungai, menyembunyikan Kedung Sriti dari pandangan dunia. Namun kali ini aku tidak merasa kehilangan. Aku tahu, keindahan itu tidak hilang — ia hanya kembali ke sunyinya.
Dalam perjalanan pulang, aku menatap langit Tawangmangu yang berwarna jingga dan menulis kalimat terakhir di buku catatanku:
“Ketika alam berbicara, manusia seharusnya belajar mendengarkan — sebab di dalam diamnya, tersimpan kebenaran yang paling jernih.”
Tawangmangu, 2025


















