Oleh: Yuli Roro Angreani, S.S.
Mahasiswa S2 Manajemen Pendidikan Universitas Pamulang
Dalam diskursus pendidikan hari ini, kualitas kerap disederhanakan menjadi urusan fasilitas. Sekolah unggulan identik dengan gedung megah, laboratorium lengkap, dan teknologi mutakhir.
Sementara itu, sekolah di lingkungan sederhana desa terpencil, kawasan padat penduduk, atau wilayah dengan keterbatasan ekonomi sering diposisikan sebagai “kurang ideal” untuk melahirkan pendidikan bermutu.
Pandangan ini bukan hanya keliru, tetapi juga menutup mata dari fakta bahwa pendidikan bermakna justru sering tumbuh dari lingkungan yang paling dekat dengan realitas kehidupan peserta didik.
Lingkungan sederhana bukan berarti miskin nilai. Justru di sanalah pendidikan berjumpa langsung dengan konteks sosial, budaya, dan ekonomi yang nyata. Pendidikan yang bermakna tidak diukur dari seberapa canggih sarana yang dimiliki, melainkan sejauh mana proses belajar mampu membentuk cara berpikir kritis, kepekaan sosial, dan karakter peserta didik.
Dalam konteks ini, lingkungan sederhana sering kali menyediakan ruang belajar yang lebih jujur dan relevan dibanding ruang kelas steril yang terlepas dari kehidupan sehari-hari.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa ketimpangan fasilitas pendidikan di Indonesia masih sangat nyata. Ribuan sekolah, terutama di daerah 3T, masih mengalami keterbatasan ruang kelas layak, perpustakaan, dan akses internet.
Namun, laporan berbagai lembaga pendidikan juga menegaskan bahwa fasilitas bukan satu-satunya penentu keberhasilan belajar. Studi World Bank mengenai kualitas pendidikan di negara berkembang menunjukkan bahwa faktor guru, interaksi pembelajaran, dan keterlibatan komunitas memiliki pengaruh yang jauh lebih besar terhadap capaian belajar dibandingkan infrastruktur semata.
Lingkungan sederhana kerap memaksa pendidik dan peserta didik untuk lebih kreatif. Ketika alat peraga terbatas, lingkungan sekitar menjadi sumber belajar utama. Alam, aktivitas sosial, hingga persoalan ekonomi masyarakat menjadi “buku teks hidup” yang dapat dibaca dan dianalisis. Anak belajar bukan hanya menghafal konsep, tetapi memahami sebab-akibat, relasi sosial, dan dinamika kehidupan. Inilah inti dari pembelajaran kontekstual, yang terbukti mampu meningkatkan pemahaman dan daya ingat peserta didik karena materi belajar berkaitan langsung dengan pengalaman mereka.
Lebih jauh, lingkungan sederhana juga berperan penting dalam pembentukan karakter. Nilai gotong royong, empati, dan tanggung jawab sosial lebih mudah dipraktikkan daripada sekadar diajarkan.
Di sekolah dengan keterbatasan, siswa terbiasa berbagi, bekerja sama, dan menyelesaikan masalah secara kolektif. Nilai-nilai ini justru semakin relevan di tengah krisis sosial dan individualisme yang menguat akibat pendidikan yang terlalu kompetitif dan berorientasi capaian akademik semata.
Namun, mengakui potensi lingkungan sederhana tidak berarti mengglorifikasi keterbatasan. Di sinilah kritik perlu ditegaskan. Negara sering kali berlindung di balik narasi “pendidikan bisa berjalan di mana saja” untuk menormalisasi ketimpangan.
Lingkungan sederhana menjadi wadah pendidikan bermakna bukan karena negara absen, tetapi karena masyarakat dan guru terpaksa beradaptasi. Ketika keterbatasan terus dibiarkan tanpa intervensi serius, pendidikan berisiko menjadi proses bertahan hidup, bukan proses pengembangan potensi secara optimal.
Masalah lain terletak pada kurikulum yang seragam dan kurang sensitif terhadap konteks lokal.
Sekolah di desa nelayan, kawasan pertanian, atau wilayah adat dipaksa menerapkan standar pembelajaran yang sama dengan sekolah di perkotaan. Akibatnya, lingkungan sekitar yang seharusnya menjadi sumber belajar justru terpinggirkan.
Peserta didik belajar tentang hal-hal yang jauh dari realitas hidupnya, sementara pengetahuan lokal dianggap tidak relevan atau “tidak akademis”. Padahal, UNESCO menekankan bahwa pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan kunci pendidikan berkelanjutan dan inklusif.
Lingkungan sederhana juga membuka peluang besar bagi pendidikan berbasis komunitas. Keterlibatan orang tua, tokoh masyarakat, dan lingkungan sosial sekitar sekolah dapat memperkaya proses belajar.
Sekolah tidak lagi berdiri sebagai institusi tertutup, melainkan menjadi pusat pembelajaran bersama.
Model ini terbukti mampu meningkatkan rasa memiliki terhadap pendidikan dan memperkuat relevansi sekolah dengan kebutuhan masyarakat. Sayangnya, pendekatan ini masih jarang mendapat dukungan kebijakan yang memadai.
Di era digital, tantangan pendidikan semakin kompleks. Teknologi sering dianggap solusi tunggal untuk meningkatkan mutu pendidikan. Padahal, tanpa fondasi nilai, literasi kritis, dan kepekaan sosial, teknologi justru berpotensi memperlebar kesenjangan.
Lingkungan sederhana menawarkan keseimbangan penting ruang untuk membangun relasi manusiawi, proses refleksi, dan pembelajaran yang tidak sepenuhnya bergantung pada layar. Pendidikan bermakna membutuhkan waktu, dialog, dan pengalaman nyata hal-hal yang sering terpinggirkan dalam sistem pendidikan serba cepat dan instan.
Pada akhirnya, lingkungan sederhana mampu menjadi wadah pendidikan bermakna karena ia menghadirkan kejujuran hidup. Di sana, peserta didik tidak hanya belajar untuk lulus ujian, tetapi belajar memahami dirinya dan dunia sekitarnya. Tantangan kita bukan memilih antara fasilitas atau kesederhanaan, melainkan membangun sistem pendidikan yang adil menyediakan sarana yang layak sekaligus memaksimalkan potensi lingkungan sebagai sumber belajar.
Pendidikan akan kehilangan maknanya ketika terputus dari realitas. Sebaliknya, ia akan menemukan kekuatannya ketika berakar pada kehidupan sehari-hari.
Ketika lingkungan sederhana mampu menjadi wadah pendidikan bermakna, kita seharusnya tidak hanya berdecak kagum, tetapi juga bertanya mengapa sistem pendidikan kita belum sepenuhnya belajar dari kesederhanaan itu sendiri


















