Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Kolom

Korupsi dan Moralitas: Menyelami Akar Psikologis dan Sosiologis Perilaku Koruptif

×

Korupsi dan Moralitas: Menyelami Akar Psikologis dan Sosiologis Perilaku Koruptif

Sebarkan artikel ini
Oplus_131072
Example 468x60

Oleh: Harun, Mahasiswa KPI UIN Salatiga

Korupsi bukan hanya sekadar pelanggaran hukum yang merugikan negara. Ia adalah luka moral dan sosial yang menggerogoti kepercayaan publik, menumpulkan nurani, dan menodai sendi-sendi kehidupan berbangsa. Lebih dari itu, korupsi adalah potret rapuhnya manusia menghadapi godaan kekuasaan, harta, dan gengsi sosial.

Example 300x600

Untuk memahami akar masalahnya, kita tidak cukup melihat korupsi dari sisi hukum semata. Ia perlu ditelaah dari dua kacamata penting: psikologis dan sosiologis — dua bidang yang membantu kita memahami bagaimana individu dan masyarakat saling berkelindan dalam membentuk perilaku koruptif.

Tinjauan Psikologis: Ketika Moralitas Terkikis oleh Nafsu dan Rasionalisasi

Secara psikologis, korupsi tumbuh dari dalam diri manusia—dari dorongan dasar yang sering kali tak terkendali: keserakahan, ambisi kekuasaan, dan kebutuhan akan pengakuan. Teori Basic Human Values dari Schwartz menjelaskan bahwa nilai-nilai seperti achievement, power, dan self-direction bisa menjadi pedang bermata dua. Jika diarahkan pada prestasi dan kemandirian, ia memunculkan energi positif. Namun jika disertai kerakusan dan pemberontakan terhadap norma, nilai itu justru melahirkan perilaku koruptif.

Dari sudut pandang psikoanalisis, korupsi adalah kegagalan moral internal. Dorongan naluriah (id) tidak lagi dikendalikan oleh hati nurani (superego). Akibatnya, tindakan curang dianggap biasa, bahkan rasional. Seperti yang dikatakan Hannah Arendt dalam konsep banality of evil, kejahatan bisa terjadi tanpa kebencian atau niat jahat — cukup dengan ketidaksadaran moral dalam sistem yang sudah rusak.

Menariknya, penelitian menunjukkan bahwa kemakmuran bukan faktor utama pendorong korupsi. Banyak pelaku korupsi berasal dari kalangan yang tidak kekurangan secara ekonomi. Artinya, korupsi lebih terkait pada nilai dan persepsi moral daripada sekadar kebutuhan hidup. Ketika nurani tumpul dan moralitas digantikan kalkulasi untung-rugi, maka ruang untuk kejujuran menjadi sempit.

Tinjauan Sosiologis: Ketika Budaya dan Sistem Ikut Menyuburkan Korupsi

Dari sisi sosiologis, korupsi merupakan cermin dari masyarakat yang permisif terhadap penyimpangan. Ia bukan lagi tindakan individu semata, tetapi gejala sosial yang mengakar. Lemahnya kontrol sosial, birokrasi yang tidak transparan, serta budaya “asal ada bagian” menjadikan korupsi sebagai kebiasaan yang nyaris dianggap normal.

Dalam masyarakat yang mengagungkan harta dan tahta, jabatan publik sering kali bukan dipandang sebagai amanah, melainkan sebagai peluang. Teori means-ends scheme dari Robert K. Merton menggambarkan fenomena ini dengan tepat: ketika masyarakat menekan individu untuk sukses, tetapi tidak memberi jalan yang adil untuk mencapainya, maka sebagian orang memilih jalan pintas — termasuk lewat korupsi.

Budaya gratifikasi, tekanan keluarga, bahkan pembiaran sosial turut memperkuat perilaku koruptif. Tidak jarang, korupsi menjadi semacam warisan sosial — perilaku yang ditiru dari generasi ke generasi. Akibatnya, pemberantasan korupsi tak ubahnya menebang pohon yang akarnya dibiarkan tetap tumbuh.

Penutup: Revolusi Moral sebagai Jalan Panjang

Korupsi pada hakikatnya adalah krisis moral dan sosial. Ia tidak bisa diberantas hanya dengan hukuman dan regulasi. Penegakan hukum memang penting, tetapi tanpa kesadaran moral dan budaya antikorupsi yang hidup di masyarakat, upaya itu akan selalu setengah hati.

Pemberantasan korupsi harus dimulai dari revolusi nilai: menanamkan kejujuran sejak dini, meneguhkan integritas di lingkungan pendidikan dan keluarga, serta membangun budaya malu terhadap perilaku menyimpang. Dalam konteks ini, hukum hanyalah pagar luar; sedangkan benteng sesungguhnya adalah nurani manusia.

Ketika individu berani berkata “tidak” pada penyimpangan, ketika masyarakat berhenti memaklumi perilaku curang, maka di situlah awal dari kemerdekaan moral bangsa dimulai.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *