Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Cerpen

LEMBAYUNG

×

LEMBAYUNG

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Ida Ariyani, M. Sos., Guru Literasi Pesantren-Sekolah Alam Nurul Furqon (Planet Nufo) Rembang

Setelah lima belas tahun menetap di kota bersama orang tuanya, akhirnya Eknath Hadinata—atau yang akrab disapa Mas Nath—menjejakkan langkahnya kembali di desa tanah kelahiran. Desa yang menyimpan jejak-jejak kenangan, di mana masa kecilnya tertinggal dalam garis-garis sketsa yang ia goreskan di tebing setinggi dua meter di tepian jalan desa. Dari sana, matanya leluasa menari di hamparan sawah yang meluas bagai permadani hijau, di antara gubuk-gubuk kecil yang bersandar pada sunyi, serta pepohonan yang berdiri bak penjaga setia. Segala yang pernah ia tinggalkan kini menyambutnya kembali, seperti lagu lama yang tak pernah benar-benar usang.

Example 300x600

Sore itu, langit berias keindahan—biru lembut dengan sapuan jingga yang merekah di ufuk barat. Matahari perlahan merunduk, menumpahkan cahaya hangat yang membelai bumi dengan kelembutan senja. Seperti biasa, Nath membawa serta buku sketsa kesayangannya, tumbler berisi kopi yang masih mengepul hangat, dan kursi lipat yang setia menemaninya. Di bawah teduhnya lembayung, ia bersiap menyesap kenangan, membiarkan waktu mengalun pelan dalam goresan-goresan yang bercerita.

“Wah… ternyata masih sama,” sejenak Nath menikmati aroma tanah sawah yang tidak pernah ia hirup lagi setelah belasan tahun. Tidak ingin kehilangan momen indah itu, Nath mengambil ponsel di saku celana cargonya. Dia meraba saku depan yang isinya hanya kunci. Saku belakang diraba juga, namun ia hanya menemukan tiket game di tempat langganannya di Jakarta. Nath beralih merogoh saku bawah yang berukuran lebih besar. Nath harus sedikit merunduk karena saku berada di area lutut. Gerakan sederhana itu membuat buku sketsa yang ia himpit di ketiak meluncur.

“Waduh!” Nath berusaha menangkapnya, tapi membuat buku itu malah terlempar jauh ke bawah tebing.

Terdengar suara dari bawah, “Klotak! Astaghfirullah!”

Nath kaget. Ia buru-buru melihat ke bawah dan mendapati seorang bapak paruh baya tengah memegang kepalanya yang baru saja tertimpa buku sketsanya.

“Ya Allah, maaf, Pak! Saya turun!” Nath meletakkan barang-barangnya dan bergegas turun ke tebing. Sesampainya di bawah, ia langsung membungkuk meminta maaf.

Sang bapak hanya tersenyum lebar, menepuk pundaknya dengan ramah.

“Tidak apa, Nak. Kau ini seperti burung pipit yang jatuh dari sarangnya saja,” canda sang bapak.

Nath tersenyum kaku, masih merasa bersalah. “Bapak tidak apa-apa? Maaf, saya benar-benar ceroboh.”

“Ah, tidak apa. Untung bukan batu yang jatuh,” kata bapak itu sambil tertawa kecil. “Saya juga memang mau ke sini cari sinyal, Nak. Mau telpon anakku.”

Nath menghela napas lega. Ia pun memilih menemani bapak itu naik ke tebing, sesekali membantunya agar tidak tergelincir. Setelah sampai di atas, mereka duduk berdampingan di atas bongkahan batu besar. Kursi lipat yang Nath bawa hanya berakhir menjadi tempat barang. Mereka menikmati hamparan sawah dan langit senja.

Saat bapak itu mengangkat telepon, Nath masih asyik menggambar, tetapi telinganya tak sengaja menangkap percakapan mereka.

“Halo, Nak. Iya, bajunya pas, bagus sekali,” suara bapak itu terdengar hangat. “Sendalnya juga enak dipakai. Pokoknya bapak tambah keren kalau pakai hadiah dari anaknya.”

Nath melirik bapak itu dari sudut matanya. Ia memperhatikan kemeja yang dipakai bapak itu—terlalu besar, menggantung di tubuhnya. Lalu sendalnya—kekecilan, separuh tumitnya menyentuh tanah.

Bapak itu sepertinya menyadari tatapan Nath yang penuh keheranan. Namun, ia hanya tersenyum dan menepuk pundak Nath pelan.

Setelah menutup telepon, bapak itu memulai percakapan. “Siapa namamu, Nak? Sepertinya bukan anak sini?”

“Saya Eknath Hadinata, Pak. Orang sini juga, tapi sudah 15 tahun tinggal di kota dan baru datang kemarin.”

“Anaknya siapa?”

“Saya anaknya Pak Karyo dan Bu Rini, Pak. Cucunya Pak Hadi.”

Bapak itu mengangguk-angguk. “Ooalah cucunya Pak Hadi to. Pantas saja agak mirip ya.”

Nath hanya tersenyum kaku. “Iya, Pak.”

Bapak itu tertawa. “Wah, sudah besar rupanya! Kalau nama saya Sunar. Rumahnya dekat dari sini, itu kelihatan.” Pak Sunar menunjuk rumah yang tidak jauh dari tebing.

Eknath melihat dengan seksama arah jari Pak Sunar. Ada satu rumah yang terpisah dengan pemukiman. Rumah yang cukup familiar, tapi Eknath tidak bisa mengingat dengan pasti.

Hening sejenak. Angin sore berembus lembut. Lalu bapak itu kembali menatap Nath.

“Apa yang mau kau tanyakan, Nak? Jangan ditahan.”

Nath tersenyum malu-malu. Ia merasa seperti tertangkap basah.

“Maaf, Pak. Tapi…” Nath ragu sejenak. “Baju yang bapak pakai kebesaran, dan sendalnya kekecilan. Kalau nanti anak bapak kirim hadiah lagi, bagaimana?”

Bapak itu tertawa, penuh kharisma. Ia memandang langit dengan mata berbinar.

“Nak,” katanya pelan, “bapak ini tidak tahu ukuran baju dan sendal, apalagi anakku sudah lama di perantauan. Di Jakarta juga,” kata Pak

Sejak remaja, dia sudah ikut orang untuk sekolah sambil bekerja. Hidupnya sudah berat. Mana tega aku mengeluh?”

Nath terdiam, mendengarkan dengan saksama.

“Yang penting dia sehat dan ingat orang tuanya. Itu sudah hadiah terbaik,” lanjut bapak itu dengan senyum penuh kebanggaan. “Meskipun bajunya kebesaran dan sendalnya kekecilan, aku tetap memakainya ke mana-mana. Bangga rasanya, Nak.”

Nath tersenyum, matanya sedikit berkaca-kaca.

“Nama anak bapak siapa?” tanyanya pelan.

“Galuh Dhatu Widuri.”

Nath sontak mengangkat kepala. Nama itu tidak asing.

“Bapak tahu atau tidak, dia di Jakarta mana?”

“Wah, bapak tahunya ya cuma Jakarta gitu saja, Nak.”

Nath semakin penasaran dan sedikit yakin bahwa itu nama yang tidak asing. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri.

“Pak, boleh pinjam HP bapak sebentar?”

Bapak itu menyerahkan ponselnya tanpa curiga. Nath mengetuk nama di daftar panggilan, membuka profil WhatsApp sang anak.

Seketika, wajah gadis dengan senyum manis muncul di layar.

Nath menahan napas. Dugaannya benar. Galuh Dhatu Widuri adalah teman satu organisasinya di Jakarta.

Ia menatap bapak itu dengan mata berbinar.

“Pak… saya kenal anak bapak.”

Bapak itu terkejut, lalu tertawa lebar. “Iya kah? Wah, dunia ini sempit rupanya!”

Nath ikut tertawa kaku. Ia tahu, pertemuan ini bukan kebetulan. Ada cerita besar di baliknya yang harus diketahui bapak itu.

(Bersambung…)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen

Tangannya kesemutan diikat dibelakang, kakinya tertekuk dengan darah…

Cerpen

Oleh: Siti Efrilia, Mahasiswa UIN Salatiga “Kayaknya bapak…

Cerpen

Oleh: Anak Pagi Siang hari di tengah ketangguhan…

Cerpen

Di sebuah desa kecil, terdapat hutan yang terkenal…

Cerpen

Oleh: Algazella Sukmasari, S.P.d., Pengajar di Pesantren-Sekolah Alam…