Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
KolomOpini

Masalah Bertubi dari Makanan Bergizi

×

Masalah Bertubi dari Makanan Bergizi

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Insan Faisal Ibrahim, S.Pd, Guru di MIS AR-RAUDHOTUN NUR Garut.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu inisiatif yang pada awalnya digadang-gadang sebagai solusi konkrit terhadap persoalan gizi anak di Indonesia, khususnya siswa sekolah dasar dan menengah. Konsepnya terlihat sangat mulia, yakni menyediakan makanan bergizi secara gratis kepada pelajar sebagai bagian dari peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Namun seiring berjalannya waktu, program ini justru menimbulkan polemik yang tak kunjung reda. Mulai dari indikasi penyimpangan anggaran, praktik manipulasi data, hingga kasus keracunan massal yang melibatkan para siswa. Semuanya menjadi bayangan kelam dari program yang seharusnya berbuah kebaikan.

Example 300x600

Tidak dapat dimungkiri bahwa MBG merupakan salah satu program unggulan yang lahir dari janji politik. Dalam setiap pemilu, isu kesejahteraan dan pendidikan selalu menjadi komoditas utama yang dijual kepada publik. Janji-janji seperti tidak akan ada anak kelaparan di sekolah atau setiap siswa akan mendapatkan asupan bergizi gratis setiap hari sangat efektif untuk menggugah emosi pemilih. Namun yang menjadi persoalan, apakah realisasi program ini benar-benar dirancang dan dijalankan secara matang, atau sekadar menjadi pemenuhan janji politik agar tidak dianggap ingkar. Fakta di lapangan justru menunjukkan bahwa banyak elemen dari program ini yang terkesan terburu-buru, tidak terencana dengan baik, dan bahkan diwarnai praktik-praktik yang jauh dari transparansi.

Salah satu isu paling mencolok adalah adanya indikasi penggelapan dana oleh oknum-oknum tertentu yang terlibat dalam pelaksanaan MBG. Modusnya beragam, mulai dari pengurangan bahan makanan, manipulasi jumlah penerima, hingga penyelewengan dana logistik. Di beberapa daerah, muncul laporan bahwa menu makanan yang seharusnya memenuhi standar gizi, justru sangat minim nilai nutrisinya. Ada yang hanya mendapat nasi dan kerupuk, atau nasi dengan lauk yang tidak layak konsumsi. Ironis, karena program yang seharusnya meningkatkan gizi justru terindikasi mengorbankan kesehatan anak-anak. Belum lagi dugaan adanya kerja sama yang tidak sehat antara pihak dapur MBG dan institusi pendidikan. Banyak lembaga sekolah yang ‘dipaksa’ menjalin MoU (Memorandum of Understanding) dengan pihak penyedia makanan tertentu, sering kali disertai embel-embel potongan anggaran. Dalam praktiknya, tiap porsi makanan yang dipesan sekolah dari dapur mitra, ternyata tidak sepenuhnya dibayar penuh kepada penyedia karena ada potongan untuk pihak tertentu yang tidak jelas posisinya dalam struktur program. Ini tentu menjadi ruang yang sangat rawan terhadap praktik korupsi berjamaah.

Apalagi sekarang yang paling menyedihkan adalah terjadinya sejumlah kasus keracunan yang menimpa siswa setelah mengonsumsi makanan dari program MBG. Beberapa insiden terjadi di berbagai wilayah, menyebabkan puluhan siswa harus dirawat di puskesmas bahkan rumah sakit. Ini menjadi bukti nyata bahwa standar keamanan pangan dalam program ini belum sepenuhnya terpenuhi. Keracunan massal bukan sekadar kesalahan teknis atau insiden tunggal. Ini adalah akibat dari sebuah sistem yang tidak bekerja sebagaimana mestinya. Ada kelalaian dalam pengawasan kualitas makanan, distribusi, hingga proses pengolahan. Jika ini dibiarkan, bukan hanya program MBG yang dipertaruhkan, tetapi juga keselamatan anak-anak yang menjadi sasaran dari program ini.

Masalah lainnya adalah minimnya evaluasi independen terhadap pelaksanaan program MBG. Pemerintah cenderung memberikan laporan yang bersifat positif saja, tanpa menyertakan data dan temuan dari lembaga-lembaga eksternal atau masyarakat sipil. Padahal, transparansi dan evaluasi berkala adalah kunci dalam menjalankan program sosial berskala nasional. Tanpa adanya audit yang kredibel, sulit untuk mengetahui sejauh mana efektivitas program ini dalam mengatasi persoalan gizi dan pendidikan. Banyak pihak juga menyoroti bagaimana program ini seakan menjadi proyek ‘asal jadi’ demi memenuhi deadline dan target politik. Alih-alih melakukan uji coba terbatas dan bertahap, program ini langsung disalurkan secara masif tanpa memastikan kesiapan SDM, logistik, dan regulasi pengawasan.

Meskipun diwarnai banyak masalah, bukan berarti program MBG sepenuhnya buruk. Ide dasarnya masih sangat relevan, terutama di negara berkembang seperti Indonesia yang masih menghadapi tantangan gizi buruk, stunting, dan angka putus sekolah yang tinggi. Program semacam ini sejatinya bisa menjadi game changer, asalkan dijalankan dengan penuh integritas, transparansi, dan pengawasan yang ketat. Pemerintah perlu melakukan reformasi besar-besaran dalam tata kelola program MBG. Mulai dari proses tender penyedia makanan, audit keuangan, pengawasan kualitas pangan, hingga keterlibatan masyarakat dan media dalam memantau pelaksanaannya. Tidak ada salahnya pula melibatkan lembaga independen seperti BPK, KPK, atau Ombudsman untuk menelusuri dugaan penyimpangan yang telah muncul di banyak daerah. Selain itu, program ini harus dilandasi oleh semangat kolaboratif, bukan instruksi sepihak. Sekolah, komite orang tua, dinas kesehatan, dan pelaku UMKM lokal harus dilibatkan secara aktif agar kebermanfaatannya bisa dirasakan lebih luas. Pendekatan berbasis komunitas bisa menjadi solusi agar dana MBG tidak hanya tersedot oleh segelintir penyedia besar yang belum tentu paham kebutuhan lokal.

Program MBG adalah contoh nyata bagaimana niat baik bisa berakhir buruk jika tidak dirancang dan dikelola dengan baik. Alih-alih menjadi simbol keberpihakan negara terhadap anak-anak dan pendidikan, program ini kini berubah menjadi sumber polemik dan kekecewaan publik. Pertanyaannya kini bukan lagi soal apakah ini janji politik, tapi apakah negara serius dalam menjamin hak anak untuk hidup sehat dan layak. Jika MBG hanya menjadi alat politik tanpa komitmen pada tata kelola yang baik, maka sudah saatnya publik mempertanyakan ulang legitimasi dan moralitas di balik program ini. Namun jika pemerintah mampu mengambil pelajaran dari kekacauan ini, melakukan pembenahan menyeluruh, serta membuka ruang bagi kritik dan evaluasi, maka bukan tidak mungkin MBG benar-benar menjadi batu loncatan menuju Indonesia yang lebih sehat dan cerdas.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *