Oleh: Astri Nursifa, Mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan – Universitas Pamulang
Keberagaman di sekolah pada era digital menuntut kepemimpinan pendidikan yang inklusif, empatik, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Di tengah derasnya digitalisasi dan meningkatnya intoleransi sosial, sekolah dan kampus di Indonesia menghadapi tantangan penting: merawat keberagaman.
Perbedaan kini tidak hanya soal suku, agama, atau budaya, melainkan juga cara berpikir dan kemampuan beradaptasi terhadap teknologi. Guru muda yang kreatif dengan media digital sering kali berbenturan dengan guru senior yang masih nyaman dengan metode konvensional, sementara siswa dari latar belakang sosial berbeda pun kerap kesulitan berinteraksi. Masalah ini nyata dan membutuhkan kepemimpinan yang tidak hanya cerdas intelektual, tetapi juga cerdas emosional.
Makalah akademik berjudul “Karakteristik dan Keanekaragaman” karya mahasiswa Pascasarjana Magister Manajemen Pendidikan Universitas Pamulang menegaskan pentingnya memahami perbedaan individu dalam dunia pendidikan. Berdasarkan teori perilaku organisasi Robbins & Judge (2017), setiap individu membawa nilai, motivasi, dan pengalaman yang memengaruhi dinamika lembaga pendidikan. Dalam teori manajemen keanekaragaman Kreitner & Kinicki (2018), keberagaman perlu dikelola melalui kebijakan inklusif, pelatihan kesadaran multikultural, serta komunikasi terbuka.
Namun, praktik lapangan menunjukkan bahwa banyak lembaga pendidikan masih memandang perbedaan sebagai hambatan, bukan potensi. Konflik antara guru muda dan senior mengenai metode pembelajaran daring sering kali berawal dari kurangnya komunikasi dan empati. Padahal, jika dikelola melalui dialog terbuka, pengalaman guru senior dapat berpadu dengan inovasi guru muda sehingga menghasilkan pembelajaran yang lebih kaya perspektif.
Kepala sekolah dan pimpinan kampus dituntut menjadi pemimpin transformatif yang mampu menginspirasi, menjembatani kesenjangan generasi, menumbuhkan kolaborasi, dan menanamkan nilai saling menghargai. Kepemimpinan yang terbuka akan menciptakan budaya sekolah yang aman dan produktif. Budaya tersebut tidak lahir dari kebijakan yang kaku, melainkan dari keteladanan serta ruang dialog yang memberi tempat bagi semua suara. Seperti disampaikan dalam makalah tersebut, keberagaman dapat menjadi sumber kreativitas apabila dikelola dengan nilai inklusivitas, keadilan, dan komunikasi empatik.
Era digital menuntut sekolah untuk tidak hanya cerdas teknologi, tetapi juga cerdas sosial. Kemajuan teknologi harus berjalan seiring dengan kemampuan memahami dan menghargai perbedaan. Mahasiswa pascasarjana manajemen pendidikan sebagai calon pemimpin lembaga pendidikan masa depan perlu menanamkan prinsip ini sejak dini. Mereka tidak hanya dituntut memahami teori, tetapi juga mampu menerapkannya dalam tindakan nyata: membangun sekolah yang inklusif, inovatif, dan berorientasi pada kemanusiaan.
Keberagaman bukanlah beban, tetapi energi perubahan. Ketika sekolah mampu mengelola perbedaan dengan empati, komunikasi, dan kepemimpinan transformatif, pendidikan akan menjadi ruang tumbuh bersama, bukan arena saling menonjolkan diri. Sebab pada akhirnya, di tengah derasnya arus digital, nilai paling berharga dalam pendidikan tetaplah kemanusiaan.
Tagar:
#Opini #Pendidikan #Keberagaman #Digitalisasi #KepemimpinanInklusif #ManajemenPendidikan #OrganisasiPendidikan #Empati #TransformasiDigital














