“Hidup itu memang susah. Jadi, kita tetap harus bertahan meski kita ditahan.”
Oleh: Maulidia Tsaniyatul Latifah, Santri-Murid Kecil (Sancil) Planet Nufo Rembang
“Duar… juar…!” Suara petir menggelegar diikuti suara rinai hujan yang sangat deras, ditambah suara khas dari atap seng rumah yang bocor.
“Wah, sepertinya kita harus ganti atap, ya?” seru ibuku.
“Ya… pinginnya sih begitu, tapi… mau bagaimana lagi, tidak ada uang,” balas ayah dengan suara agak lesu.
“Ayah… Ibu!” ucap adikku dengan suara menggelegar dari luar rumah.
“Wah… adik, sepertinya kamu harus mandi!” ucap ibu dengan nada sedikit kesal kepada adikku yang basah kuyup akibat kehujanan.
“Ibu… aku ingin makan, Bu…” ucapku dengan nada memelas agar diperhatikan.
“Duh… sebentar! Sabar, ya, lagi pusing!!” bentak ibuku kepadaku.
“Ta…” ucapku yang dipotong oleh ibuku.
“Diam! Jangan banyak bicara!” ucap ibuku sambil menyodorkan piring berisi makanan sisa.
Aku pun membawanya ke kamarku di gudang dengan sedikit gemetar.
Hai, sebelumnya perkenalkan namaku Felicia, biasa dipanggil Feli. Aku berumur 12 tahun. Aku empat bersaudara. Aku anak kedua. Kakakku yang pertama sudah meninggal. Karena itu aku jadi begini ceritanya.
—19 Agustus 1999
“Ibu, aku harus ke sekolah!” ucap Veni, kakakku.
Saat itu aku masih berumur delapan tahun, sedangkan kak Veni berumur 12 tahun. Ya, kami berbeda empat tahun.
Lalu kenapa aku yang menjadi penyebab kemalangan kakakku?
Oke, mari kita lanjut.
Setelah kakakku pergi ke sekolah, aku ikut diantarkan. Karena saat itu aku baru berumur delapan tahun, jadi masih kelas dua SD.
“En, tolong bawakan buku ini, ya. Kakak mau susul ke kelas enam,” ucap kak Veni kepada ibu.
Sejak dulu, aku memang terbiasa disuruh-suruh oleh keluargaku sendiri.
“Oh, oke, Kak,” ucapku agak takut.
“Ya sudah, bawakan ke kelas enam, ya,” ucap kak Veni sambil tersenyum.
“Iya, Kak!” jawabku.
Di seberang jalan aspal sekolah, suasana ramai sekali.
Saat aku keluar kelas, aku segera menaruh buku itu di kursi, lalu berlari ke kelas kakakku. Namun, aku melihat keramaian di jalan aspal depan sekolah.
“Eh, itu kenapa?” ucapku. Bukan hanya aku yang berkata begitu, orang lain pun sama. Lalu aku segera berlari menuju kerumunan itu.
“Eh, ini kenapa?” tanyaku.
“Ah, ada Feli,” ucap salah satu guru.
“Feli, turut berduka cita,” ucap seorang guru bernama Bu Zari.
“Eh, kenapa, Bu?” tanyaku penasaran.
“Kamu belum tahu?” jawab Bu Zari.
“Belum, Bu, apa?” tanyaku lagi.
“Hm… itu kakakmu,” ucap Bu Zari berat hati sambil menunjuk mayat yang ditutupi kain kafan.
“Hah?! Masa?!” ucapku sambil berteriak dan menangis.
“Kakak!!!” teriakku histeris.
Sejak saat itu, aku selalu disalahkan oleh keluargaku. Sejak hari itu juga, aku merasa bersalah dan akhirnya tidak diizinkan lagi melanjutkan sekolah.
“Ibu… aku ingin sekolah!” ucapku memohon kepada ibuku.