Oleh: Gunawan Trihantoro
Ketua Satupena Kabupaten Blora dan Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah
Di tengah derasnya arus digital dan kemunculan kecerdasan buatan yang mengguncang lanskap pengetahuan, budaya menulis tangan tampak seperti lentera kecil di tengah kota yang tak pernah tidur. Namun siapa sangka, lentera itulah yang justru menjaga nyala kesadaran, refleksi, dan jati diri manusia di era yang serba cepat dan instan ini.
Menulis tangan bukan sekadar keterampilan motorik halus yang diwariskan dari masa lalu, tetapi sebuah proses mental dan emosional yang memperkaya jiwa. Ketika jemari menari di atas kertas, ide-ide tidak hanya keluar dari kepala, melainkan mengalir dari hati yang jujur dan sadar akan tiap makna.
Penelitian dalam bidang neuropsikologi menunjukkan bahwa menulis tangan membantu memperkuat memori, membangun konsentrasi, serta menumbuhkan rasa tenang yang kini semakin mahal di tengah bisingnya notifikasi. Tulisan tangan memperlambat waktu dalam arti positif, yakni memberi ruang untuk merenung.
Di sekolah, kebiasaan menulis tangan mengajarkan disiplin dan kesabaran. Tidak ada tombol hapus atau “undo” -kesalahan harus diterima, dicoret, dan diperbaiki. Sebuah pelajaran hidup yang tak dapat ditanamkan oleh kecanggihan teknologi mana pun.
Kini, dengan hadirnya artificial intelligence (AI) yang mampu menulis esai, puisi, hingga laporan ilmiah dalam hitungan detik, manusia dihadapkan pada tantangan -apakah akan menyerahkan seluruh proses berpikir kepada mesin, atau tetap memelihara ruang batin yang penuh kesadaran melalui menulis tangan?
Menulis tangan adalah bentuk resistensi terhadap dehumanisasi. Ia menjadi pengingat bahwa manusia tidak hanya berpikir, tetapi juga merasakan. Ia tidak hanya logis, tapi juga kontemplatif. Di balik goresan tinta, tersimpan makna yang tak dapat dipindahkan begitu saja ke dalam baris kode algoritma.
Budaya menulis tangan juga sarat nilai estetika. Setiap tulisan memiliki karakter, lekuk yang khas, bahkan bisa menjadi identitas. Sementara AI menghasilkan huruf sempurna dan seragam, tulisan tangan menyimpan keunikan yang lahir dari kisah dan perjalanan masing-masing penulisnya.
Refleksi dalam menulis tangan mengundang kita untuk menyadari bahwa ide bukanlah produk instan, melainkan buah dari pergulatan batin. Ketika menulis tangan, seseorang tak bisa multitasking -ia hadir sepenuhnya. Fokus ini melahirkan kedalaman.
Di ruang-ruang kerja modern, kertas mungkin telah digantikan layar, namun jurnal pribadi, catatan pinggir, atau surat tulisan tangan masih punya tempat yang tak tergantikan. Ia menjadi medium kejujuran, bukan sekadar efisiensi.
Maka, menghidupkan budaya menulis tangan bukanlah romantisme masa lalu, tapi ikhtiar masa kini untuk tetap waras dan utuh sebagai manusia. Ini adalah praktik mindfulness yang tak terbungkus jargon, tetapi nyata dalam tiap gerakan tinta di atas kertas.
Kita perlu mendorong anak-anak muda untuk tidak hanya pintar mengetik, tetapi juga cakap menulis tangan. Di balik keterampilan ini tersimpan kekuatan berpikir mandiri, empati, dan daya tahan mental yang jarang dibentuk oleh teknologi.
Budaya menulis tangan bisa menjadi jalan sunyi melawan banalitas informasi. Di saat semua orang tergoda menyebarkan kata-kata instan, tulisan tangan menawarkan ruang untuk berpikir, memperlambat, dan menghayati makna sebelum ia ditulis dan dibaca.
Sekolah, komunitas literasi, dan keluarga memiliki peran penting dalam menjaga tradisi ini tetap hidup. Mari ajak anak-anak menulis surat, membuat jurnal, dan mencatat pelajaran harian. Jadikan menulis tangan sebagai bagian dari gaya hidup sadar dan reflektif.
Menulis tangan adalah ruang perjumpaan antara diri dan ide, antara batin dan bahasa. Dalam satu goresan, kita merekam jejak kemanusiaan yang paling otentik -sesuatu yang belum tentu bisa ditiru bahkan oleh kecerdasan buatan tercanggih sekalipun.
Di tengah dunia yang kian tergesa, tulisan tangan adalah seni untuk berhenti sejenak dan mendengar diri sendiri. Dan dalam jeda itulah, manusia menemukan kembali siapa dirinya -sebelum ia menjadi terlalu mirip mesin. (*)