Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Kolom

Merayakan Perbedaan: Membaca Ikhtilaf dari Kaca Mata Adonis

×

Merayakan Perbedaan: Membaca Ikhtilaf dari Kaca Mata Adonis

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Lalu Rifki Rahman, S.Ag.,

Mahasiswa Magister Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga, Anggota Himpunan Masyarakat Lombok (Himalo)

Example 300x600

“Ikhtilaf adalah rahmat.” Kalimat ini begitu akrab di telinga umat Islam. Ia sering diucapkan di masjid, di majelis, atau bahkan di kolom komentar media sosial. Tapi benarkah perbedaan itu rahmat? Atau justru menjadi pangkal konflik berkepanjangan dalam sejarah Islam?
Jika kita jujur menengok realitas, ikhtilaf sering kali justru memecah, bukan menyatukan. Umat Islam terpecah dalam berbagai golongan, saling menyalahkan, bahkan saling mengkafirkan hanya karena perbedaan pandangan mazhab, fiqih, atau tafsir. Slogan “ikhtilaf adalah rahmat” seolah menjadi bumerang yang menggambarkan harapan, bukan kenyataan.

Ungkapan itu pun sebenarnya tidak memiliki sanad kuat. Para ulama hadis seperti Syaikh al-Albani menyebutnya sebagai hadis lemah bahkan tidak ada asalnya. Imam as-Suyuthi dalam Jami’ al-Shaghir hanya menyatakan mungkin ungkapan itu berasal dari tradisi keilmuan yang tidak sampai kepada kita. Maka yang perlu ditekankan adalah bukan pada apakah ucapannya sahih atau tidak, melainkan bagaimana kita memahami makna perbedaan itu sendiri.

Sejak zaman sahabat, ikhtilaf sudah menjadi bagian dari dinamika umat Islam. Saat Umar bin Khattab mengusulkan pembukuan Al-Qur’an, Abu Bakar sempat menolak karena merasa itu adalah hal baru yang tidak pernah dilakukan Nabi. Tapi melihat kondisi umat, Abu Bakar akhirnya menerima. Ikhtilaf tidak harus berujung konflik, ia bisa menjadi jalan untuk mencari kebenaran bersama.

Namun, sejarah juga menunjukkan ikhtilaf yang berujung tragis. Perang Jamal, Perang Shiffin, dan munculnya firqah-firqah seperti Syiah, Khawarij, hingga Murji’ah, menunjukkan bagaimana perbedaan yang tidak dikelola dengan bijak bisa berubah menjadi perpecahan ideologis dan politis yang panjang. Bahkan hingga kini, luka-luka itu masih membekas dalam wacana dan relasi antar-kelompok dalam dunia Islam.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, kita juga melihat wajah-wajah perbedaan itu. Ada NU, Muhammadiyah, Salafi, dan kelompok lainnya.

Perbedaan pandangan kadang menjadi kekayaan, tapi tak jarang pula menjadi sumber ketegangan. Yang mayoritas merasa paling benar, yang minoritas merasa terpinggirkan. Alih-alih membangun dialog, kita sibuk membangun tembok. Lalu bagaimana seharusnya umat Islam menyikapi perbedaan?

Di sinilah pemikiran Adonis, seorang penyair dan pemikir asal Suriah, bisa memberikan perspektif segar. Dalam teorinya tentang Tsabit dan Mutahawwil, ia membagi dua kecenderungan dalam tradisi pemikiran Arab-Islam. Tsabit adalah yang kaku, mapan, dan enggan berubah. Mutahawwil adalah yang terbuka, dinamis, dan berani berinovasi. Dalam kasus pembukuan Al-Qur’an tadi, Abu Bakar mewakili Tsabit, sedangkan Umar adalah Mutahawwil, meski pada akhirnya Abu Bakar pun bergeser ke posisi pembaruan.

Adonis melihat stagnasi umat Islam disebabkan oleh dominasi pikiran-pikiran yang tsabit, lebih mencintai masa lalu daripada menjawab tantangan zaman. Dalam bukunya al-Tsabit wa al-Mutahawwil, ia menyebut umat Islam terlalu sibuk menjaga simbol dan warisan masa lalu, tapi melupakan kebutuhan hari ini. Maka tak heran jika Barat melaju dengan sains dan kebudayaan, sementara dunia Islam tertinggal, terjebak dalam romantisme kejayaan sejarah.

Adonis tidak mengajak kita meninggalkan tradisi, tapi menghidupkan kembali semangat ijtihad dan kreativitas dalam menyikapi realitas modern. Dalam konteks ikhtilaf, artinya adalah: jangan takut berbeda. Jangan memusuhi yang tidak sepaham. Justru dari perbedaan itulah ide-ide besar lahir, selama ia dikelola dengan etika dan niat baik.

Maka perbedaan bukan untuk dipertentangkan, tapi untuk dikelola menjadi energi kolaborasi. Dalam masyarakat yang kompleks dan multikultural seperti Indonesia, kita butuh lebih banyak ruang dialog, bukan mimbar saling menghakimi. Kita perlu membaca ulang makna “ikhtilaf adalah rahmat” bukan sebagai dogma, tapi sebagai prinsip hidup sosial yang berorientasi pada kemaslahatan.

Adonis memberi kita pelajaran bahwa Islam bukan hanya agama masa lalu, tapi juga agama masa depan. Dan masa depan dibangun oleh mereka yang mampu berdamai dengan perbedaan. Bukan dengan menolak, tapi dengan merangkul. Bukan dengan melabeli, tapi dengan memahami.

Dengan semangat itulah, perbedaan benar-benar bisa menjadi rahmat. Bukan sekadar slogan di mimbar, tapi kenyataan di tengah masyarakat. Seperti kata Adonis, “Perbedaan adalah pintu menuju kemungkinan.” Tinggal apakah kita berani membukanya, atau terus hidup di balik pintu yang tertutup rapat oleh rasa takut dan fanatisme.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Feature

Oleh: Muhammad Aufal Fresky*) Sepertinya saya harus mengakui…