Oleh: Imam Subqi, Dosen UIN Salatiga
Model Project–Service Learning Islami pada dasarnya adalah upaya pembaruan pendidikan Islam yang berangkat dari kritik bahwa pembelajaran agama sering berhenti pada tataran kognitif dan ritual, sementara keterhubungannya dengan problem sosial nyata masih lemah. Peserta didik diajak menghafal ayat dan hadis, memahami rukun iman dan rukun Islam, tetapi belum selalu diarahkan untuk mengubah pemahaman itu menjadi aksi nyata merespons kemiskinan, kerusakan lingkungan, intoleransi, perundungan, atau ketidakadilan di sekitarnya. Di tengah tuntutan era Society 5.0 yang menekankan kemampuan memecahkan masalah kompleks dan bekerja kolaboratif, pendidikan Islam membutuhkan bentuk baru yang tidak hanya melahirkan pribadi saleh secara individual, tetapi juga peka sosial dan siap mengabdi.
Dalam konteks ini, Project–Service Learning Islami dapat dipahami sebagai model pembelajaran yang memadukan proyek terstruktur dengan pengabdian kepada masyarakat, dan seluruh prosesnya dibingkai oleh nilai–nilai Islam. Istilah “project” merujuk pada pendekatan project-based learning, yaitu pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan mengorganisasi kegiatan belajar melalui suatu proyek jangka menengah atau panjang. Peserta didik mengangkat sebuah pertanyaan besar atau masalah tertentu, mengkaji akar persoalan, merancang solusi, dan menghasilkan produk nyata. Sementara “service learning” merujuk pada pembelajaran berbasis pelayanan yang menghubungkan kegiatan belajar dengan pengabdian sosial; peserta didik terjun menjawab kebutuhan nyata komunitas, lalu merefleksikannya secara sistematis sehingga pengalaman lapangan menjadi sumber belajar akademik dan pembentuk karakter. Ketika kedua pendekatan ini dipadukan dalam kerangka nilai Islam, lahirlah sebuah model di mana iman, ilmu, dan amal dipertemukan secara utuh.
Akar konseptualnya dapat ditelusuri pada teori experiential learning yang menempatkan pengalaman sebagai pusat proses belajar. Peserta didik tidak hanya menerima penjelasan guru, tetapi mengalami sendiri situasi nyata, merenungkan, menghubungkan dengan teori, lalu mencoba perbaikan baru. Dalam tradisi Islam sendiri, pola seperti ini sejatinya sudah lama dikenal melalui konsep khidmah dan amal saleh. Santri yang membantu kegiatan pesantren dan masyarakat, siswa yang terlibat dalam kegiatan sosial masjid, atau mahasiswa yang mengikuti KKN tematik sebenarnya sedang menjalani bentuk awal dari service learning. Yang membedakan model Project–Service Learning Islami adalah bahwa proses ini dirancang secara sadar sebagai bagian kurikulum, diberi tujuan pembelajaran yang jelas, diarahkan oleh guru, dan dievaluasi dengan alat ukur yang terencana.
Dalam praktiknya, model ini dimulai dari upaya membaca realitas sosial di sekitar lembaga pendidikan. Guru bersama peserta didik mengamati lingkungan: misalnya menemukan bahwa di sekitar sekolah terdapat keluarga prasejahtera, anak–anak yang kesulitan membaca Al–Qur’an, sampah yang menumpuk di area masjid, atau kasus perundungan di kalangan remaja. Temuan tersebut kemudian dipetakan pada kerangka maqāṣid al-syarī‘ah: masalah kemiskinan terkait dengan penjagaan jiwa dan harta, persoalan buta huruf Al–Qur’an berkaitan dengan penjagaan agama dan akal, kerusakan lingkungan bersentuhan dengan amanah sebagai khalifah di bumi, sedangkan perundungan memukul nilai kehormatan dan kemanusiaan. Dari sini, dirumuskan sebuah proyek yang sekaligus menjadi layanan sosial, misalnya program kelas baca tulis Al–Qur’an untuk anak marjinal, bank sampah masjid, kampanye anti-bullying berbasis nilai ukhuwah, atau pendampingan lansia.
Setiap proyek kemudian dijalin dengan tujuan pembelajaran yang eksplisit. Di ranah kognitif, siswa diharapkan memahami dalil Al–Qur’an dan hadis yang relevan, konsep akhlak dan fiqh sosial, maupun teori tentang keadilan, empati, dan tanggung jawab. Di ranah afektif, proyek ini bertujuan menumbuhkan kepekaan terhadap penderitaan orang lain, rasa tanggung jawab, dan komitmen moral. Di ranah psikomotor, peserta belajar berkomunikasi, memimpin, menyusun proposal, mengorganisasi kegiatan, hingga memanfaatkan media digital. Seluruhnya diberi warna spiritual: kegiatan diawali dengan niat, diiringi doa, disertai sikap tawakal dan syukur, serta ditutup dengan muhasabah tentang bagaimana pengalaman tersebut mendekatkan diri kepada Allah.
Pelaksanaan proyek menjadi fase pengalaman konkret. Peserta didik terjun langsung ke lapangan, berinteraksi dengan warga, menemui penerima manfaat, mengatur jadwal kegiatan, serta menyelesaikan berbagai persoalan praktis yang tidak ditemukan di buku teks. Dalam proses ini, nilai–nilai Islam tidak lagi hadir sebagai wacana abstrak, tetapi diuji dalam situasi nyata: bagaimana menjaga keikhlasan ketika lelah dan kurang dihargai, bagaimana bersikap amanah terhadap dana dan fasilitas, bagaimana bertutur kata santun kepada orang yang sulit diajak kerja sama, atau bagaimana bersabar ketika program tidak berjalan sesuai rencana. Guru berperan sebagai pembimbing yang memantau dinamika di lapangan, sekaligus menjaga agar pelaksanaan proyek tidak keluar dari koridor syariat dan etika.
Setelah fase pelaksanaan, peserta didik diajak memasuki fase refleksi. Di sinilah perbedaan mendasar antara service learning dengan sekadar kegiatan bakti sosial. Refleksi dilakukan melalui jurnal harian, diskusi kelompok kecil, maupun halaqah yang dipandu guru. Siswa diminta menuliskan dan menceritakan apa yang mereka lakukan, apa yang mereka rasakan, situasi apa yang paling menyentuh, konflik apa yang muncul, dan nilai Islam apa yang menurut mereka paling kuat relevansinya. Mereka diajak merenungkan pertanyaan seperti: apa makna pengalaman ini bagi hubungan saya dengan Allah? Apa yang saya pelajari tentang diri saya sendiri? Bagaimana pandangan saya tentang kemiskinan, keadilan, atau lingkungan berubah setelah terjun langsung? Dalam sesi halaqah, refleksi personal ini dipertemukan, sehingga menjadi refleksi kolektif yang memperkaya.
Tahap berikutnya adalah menghubungkan pengalaman dan refleksi tersebut dengan kerangka teori yang telah dipelajari di kelas. Guru membantu peserta didik melihat bahwa apa yang mereka alami terkait erat dengan konsep iman, ihsan, ukhuwah, ‘adl, rahmah, dan maqāṣid al-syarī‘ah. Ayat–ayat Al–Qur’an dan hadis tentang perintah menolong yang lemah, menjaga lingkungan, larangan berbuat zalim atau melecehkan, dan keutamaan berbuat baik kepada sesama diposisikan bukan sekadar sebagai teks untuk dihafal, melainkan sebagai lensa untuk memahami realitas yang baru saja mereka lihat. Demikian pula, teori–teori sosial tentang kemiskinan struktural, budaya konsumtif, atau dinamika kelompok remaja digunakan untuk memperdalam analisis. Dengan cara ini, pembelajaran agama dan ilmu sosial saling menguatkan, dan peserta didik melihat bahwa agama memberi alat konseptual untuk membaca dunianya.
Dari rangkaian pengalaman, refleksi, dan konseptualisasi itu, peserta didik didorong merancang perbaikan atau pengembangan lanjutan. Mereka mungkin menyadari bahwa program yang dilakukan belum menjangkau kelompok tertentu, bahwa metode komunikasi perlu diubah agar lebih efektif, atau bahwa dukungan kebijakan sekolah dan masyarakat masih perlu diperkuat. Kesadaran ini menjadi titik awal untuk merancang proyek pada periode berikutnya dengan bentuk yang lebih matang. Dengan demikian, Project–Service Learning Islami bukan hanya kegiatan sesaat, tetapi siklus yang terus berputar: setiap siklus menghasilkan pemahaman baru dan mendorong aksi yang lebih baik.
Penerapan model ini dapat disesuaikan dengan berbagai jenis lembaga. Di pesantren, khidmah santri kepada kiai, masjid, dan warga dapat dikemas sebagai proyek terstruktur yang punya capaian belajar jelas, rubrik penilaian, dan ruang refleksi reguler. Di madrasah dan sekolah umum, kegiatan pramuka, organisasi siswa, atau program ekstrakurikuler keagamaan bisa diintegrasikan dengan mata pelajaran PAI menjadi proyek pengabdian yang dinilai secara autentik. Di perguruan tinggi keagamaan, KKN tematik, program pengabdian masyarakat, atau praktek profesi guru dapat dijadikan wahana service learning yang menggabungkan kompetensi akademik, profesional, dan spiritual.
Manfaat dari model ini cukup luas. Peserta didik bukan hanya lebih memahami materi agama, tetapi juga menginternalisasikannya sebagai sikap dan perilaku. Mereka belajar berempati kepada kelompok rentan, terbiasa bekerja sama lintas latar belakang, serta terlatih memecahkan masalah secara kreatif. Dari sisi spiritual, mereka merasakan bahwa ibadah dan ilmu bukan sesuatu yang terpisah dari realitas sosial; keduanya justru menemukan maknanya ketika diaktualisasikan untuk menghadirkan kemaslahatan. Dari sisi sosial, komunitas di sekitar lembaga pendidikan mendapatkan manfaat nyata dari kehadiran siswa dan mahasiswa, sehingga citra pendidikan Islam sebagai kekuatan transformasi sosial semakin kuat.
Tentu saja, penerapan Project–Service Learning Islami juga menghadapi tantangan. Perlu ada pengaturan waktu agar proyek tidak menambah beban kurikulum secara berlebihan, pelatihan bagi guru agar mampu merancang dan mengelola pembelajaran berbasis proyek dan pengabdian, serta pengelolaan kemitraan dengan komunitas agar kerja sama berlangsung adil dan berkelanjutan. Aspek penilaian nilai dan akhlak juga perlu dirancang dengan cermat, karena perubahan sikap tidak mudah dilihat hanya dari satu dua indikator. Meski demikian, tantangan–tantangan ini dapat diatasi secara bertahap melalui komitmen kelembagaan, dukungan kebijakan, dan inovasi berkelanjutan.
Secara keseluruhan, Project–Service Learning Islami menawarkan gambaran pendidikan Islam masa depan yang lebih hidup, kontekstual, dan berdampak. Agama tidak lagi hadir hanya dalam bentuk ceramah satu arah, tetapi dalam dinamika merancang program, berinteraksi dengan masyarakat, mengalami kegagalan dan keberhasilan, serta merenungkan semuanya di hadapan Allah. Dalam model ini, peserta didik dibimbing untuk tidak hanya “tahu” ajaran Islam, tetapi “menjadi” Muslim yang berilmu, berakhlak, dan berkhidmah.
















