Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Kolom

Orang Tua, Guru, dan Anak di Era AI

×

Orang Tua, Guru, dan Anak di Era AI

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah dan Ketua Satupena Kabupaten Blora

Di tengah derasnya gelombang revolusi teknologi, kita tak hanya berhadapan dengan kemajuan perangkat keras dan lunak, tetapi juga lahirnya Kecerdasan Artifisial (KA) yang mengubah lanskap kehidupan manusia. Di ruang keluarga, ruang kelas, bahkan ruang batin, KA memaksa kita untuk merenungkan kembali peran dan relasi antara orang tua, guru, dan anak.

Example 300x600

Orang tua yang dulu menjadi sumber utama informasi kini harus berdamai dengan kenyataan bahwa anak-anak dapat mengakses jutaan pengetahuan hanya dengan beberapa klik. Namun, bukan berarti peran orang tua menjadi usang. Justru, kehadiran KA memperkuat urgensi peran mereka sebagai penuntun nilai, etika, dan kebijaksanaan yang tidak bisa digantikan algoritma.

Guru, sebagai penjaga peradaban di ruang kelas, kini juga menghadapi tantangan dan peluang yang tak terbayangkan sebelumnya. Materi pelajaran dapat disampaikan oleh video interaktif, chatbot edukasi, atau platform daring cerdas. Namun, sentuhan manusiawi, empati, dan keteladanan guru tetap menjadi jembatan penting bagi lahirnya karakter yang utuh.

Bagi anak-anak, era KA adalah dunia yang penuh kemungkinan. Mereka dapat belajar bahasa asing dengan tutor virtual, menulis esai dibantu asisten AI, atau mengeksplorasi sains lewat simulasi digital. Namun, di balik kemudahan itu, muncul tantangan baru, yakni menjaga rasa ingin tahu tetap murni, tidak semata demi “likes” dan “views”.

Relasi segitiga orang tua, guru, dan anak harus diwarnai kerja sama dan keterbukaan. Orang tua dan guru perlu saling mendukung, berbagi praktik baik dalam mendampingi generasi muda, serta menguasai literasi digital agar tak tertinggal. Anak pun perlu diajak berdialog tentang etika penggunaan teknologi, bukan hanya dibatasi.

Refleksi mendalam penting agar kita tak terjebak menjadi budak teknologi. KA harus ditempatkan sebagai alat bantu, bukan pengganti. Nilai-nilai luhur seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kerja keras harus tetap diajarkan melalui teladan, bukan hanya ceramah.

Dalam konteks pendidikan, kolaborasi menjadi kunci. Guru yang kolaboratif dapat memanfaatkan AI untuk mempersonalisasi pembelajaran, sementara orang tua mendukung proses ini di rumah. Anak pun belajar bahwa belajar adalah perjalanan yang tak berhenti di kelas.

Era KA juga menuntut guru untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat. Tak cukup hanya menguasai materi, guru perlu mengasah keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan komunikasi lintas budaya, agar dapat membimbing anak menavigasi dunia yang kian kompleks.

Orang tua, di sisi lain, dituntut lebih peka pada perubahan psikologis dan sosial anak akibat paparan teknologi. Bukan sekadar mengontrol layar, tetapi juga membangun relasi emosional yang hangat dan penuh kepercayaan, sehingga anak merasa aman berbagi.

Anak-anak kita adalah “digital native” yang hidup di dunia serba cepat. Namun, mereka tetap membutuhkan fondasi karakter dan kasih sayang. Orang tua dan guru berperan sebagai “kompas moral” yang membantu anak menemukan arah di tengah hiruk-pikuk data dan informasi.

Inspirasi juga lahir ketika orang tua dan guru tidak hanya mengajarkan “apa” dan “bagaimana”, tetapi juga “mengapa”. Pertanyaan filosofis tentang makna, tujuan, dan dampak teknologi menjadi bekal penting agar anak tak hanya cerdas, tetapi juga bijak.

Pada akhirnya, era KA adalah peluang bagi transformasi pendidikan menjadi lebih inklusif, adaptif, dan relevan. Bukan untuk memisahkan peran manusia dan mesin, melainkan menyatukan keduanya demi kebaikan bersama.

Kita perlu menanamkan kepada anak bahwa teknologi adalah mitra, bukan musuh. Dan bahwa kemanusiaan – rasa empati, cinta, dan kebersamaan – tetap menjadi inti identitas kita sebagai manusia.

Di era KA, tugas kita bukan hanya mendidik anak untuk menguasai teknologi, tetapi juga untuk menjaga hati dan budi tetap menyala. Karena pada akhirnya, masa depan bukan hanya soal inovasi, tetapi juga soal nilai-nilai yang kita wariskan.

Dengan refleksi, kolaborasi, dan kebijaksanaan, orang tua, guru, dan anak dapat bersama-sama menapaki jalan perubahan ini, bukan sebagai korban, tetapi sebagai agen transformasi peradaban. (*)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *