Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Mimbar Santri

Peran Pendidikan Pesantren dalam Pembentukan Karakter Nasionalis Santri

×

Peran Pendidikan Pesantren dalam Pembentukan Karakter Nasionalis Santri

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Fatih Janan Husain, Mahasiswa UIN Sunan Kudus

Pesantren merupakan institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia yang telah menjadi bagian penting dalam sejarah bangsa. Tidak hanya sebagai tempat belajar agama, pesantren juga berfungsi sebagai pusat pembentukan kepribadian dan karakter. Sejak masa kolonial hingga kemerdekaan, pesantren berperan besar dalam menumbuhkan semangat nasionalisme dan kecintaan terhadap tanah air. Di tengah derasnya arus globalisasi yang kerap menggerus nilai kebangsaan, pesantren tetap hadir sebagai penjaga moral bangsa. Ia mendidik generasi muda untuk taat beragama sekaligus mencintai Indonesia, menjaga keutuhan NKRI, dan berkontribusi dalam pembangunan nasional.

Example 300x600

Pesantren dan Akar Sejarah Nasionalisme

Untuk memahami kontribusi pesantren dalam membentuk karakter nasionalis, sejarah perjuangan bangsa perlu ditelusuri kembali. Ulama dan santri bukan sekadar pelengkap, tetapi menjadi tulang punggung gerakan kebangsaan. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, merupakan tokoh yang menanamkan kesadaran nasional melalui ajaran dan fatwanya. Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 menegaskan bahwa membela tanah air dari penjajah adalah kewajiban agama. Seruan ini membangkitkan semangat santri untuk mempertahankan kemerdekaan, terutama dalam pertempuran Surabaya. Dari sini tumbuh kesadaran bahwa cinta tanah air (hubbul wathan minal iman) merupakan bagian dari iman.

Menurut Zuhri (2010), perlawanan santri terhadap penjajahan menunjukkan bahwa nasionalisme di pesantren bukan hasil pengaruh Barat, melainkan lahir dari kesadaran religius yang mendalam. Cinta tanah air dipandang sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas anugerah negeri yang harus dilindungi. Tidak mengherankan jika sejak awal berdirinya Republik, santri dan ulama senantiasa berada di garis depan dalam menjaga persatuan bangsa.

Nilai dan Sistem Pendidikan Pesantren

Keistimewaan pesantren terletak pada sistem pendidikannya yang komprehensif, mencakup aspek intelektual, spiritual, moral, dan sosial. Santri tidak hanya mempelajari kitab kuning atau ilmu agama, tetapi juga mengalami pendidikan karakter melalui kehidupan sehari-hari. Mereka dilatih untuk mandiri, disiplin, sederhana, dan bertanggung jawab. Nilai-nilai tersebut diperkuat melalui tradisi seperti khidmah (pengabdian), muhadharah (latihan berpidato), halaqah (diskusi), dan gotong royong. Semua ini membentuk rasa kebersamaan dan jiwa kepemimpinan.

Menurut Nata (2016), pendidikan pesantren bukan hanya proses transfer ilmu, tetapi juga transformasi nilai. Seorang santri dinilai bukan dari banyaknya ilmu yang dikuasai, melainkan kualitas akhlak dan kontribusinya pada masyarakat. Proses pembelajaran tidak berhenti di kelas, tetapi meresap dalam gaya hidup, interaksi sosial, dan teladan para kiai.

Nilai-nilai tersebut membentuk sikap nasionalis. Kemandirian melatih santri untuk bekerja keras, budaya musyawarah menumbuhkan sikap demokratis, sementara khidmah mengajarkan arti pengabdian pada masyarakat dan bangsa. Dengan demikian, pesantren menjadi tempat efektif untuk menumbuhkan nasionalisme yang bersumber dari moralitas dan spiritualitas.

Pesantren dan Keseimbangan Agama–Kebangsaan

Ciri khas pesantren adalah kemampuan mengintegrasikan nilai keislaman dengan kecintaan terhadap tanah air secara seimbang. Banyak kiai menegaskan bahwa mencintai Indonesia merupakan bagian dari ajaran Islam, sebagaimana disampaikan KH. Hasyim Asy’ari. Pandangan ini menumbuhkan keyakinan bahwa keislaman dan keindonesiaan saling mendukung.

Asmani (2012) menyatakan bahwa sejak awal pesantren dirancang untuk memadukan nilai agama dan kebangsaan. Di pesantren, santri belajar fikih, tauhid, sejarah bangsa, pentingnya persatuan, serta penghormatan terhadap keragaman. Pesantren juga aktif dalam kegiatan sosial di masyarakat, seperti mengajar anak-anak atau bergotong royong. Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan wujud konkret cinta tanah air.

Pesantren di Era Globalisasi: Tantangan dan Adaptasi

Di era globalisasi, pesantren menghadapi tantangan baru. Kemajuan teknologi, informasi tanpa batas, serta budaya instan dan materialisme mengubah pola pikir generasi muda. Nilai kebangsaan dan keislaman sering tergerus, sementara radikalisme digital turut mengancam.

Rahim (2018) menyebut ajaran Islam wasathiyah (moderat) sebagai modal utama pesantren untuk menjaga keseimbangan. Santri dilatih berpikir kritis, terbuka pada perkembangan, tetapi tetap berpegang pada nilai keagamaan dan kebangsaan. Mereka diajarkan bahwa perbedaan adalah berkah, bukan ancaman.

Banyak pesantren kini menerapkan kurikulum modern yang mencakup sains, teknologi, ekonomi, hingga kewirausahaan. Pesantren bertransformasi tanpa kehilangan jati diri. Modernisasi ini bertujuan menjadikan pesantren relevan dengan perkembangan zaman sekaligus mempertahankan nilai fundamentalnya.

Integrasi Ilmu dan Nasionalisme

Nurcholish Madjid (1997) menekankan pentingnya pesantren sebagai pusat integrasi pengetahuan, etika, dan spiritualitas. Reformasi pendidikan diperlukan agar santri tidak hanya beriman, tetapi juga produktif secara sosial. Kini, banyak pesantren menghasilkan lulusan yang nasionalis dan kompetitif, menjadi akademisi, pengusaha, politisi, hingga pemimpin masyarakat.

Integrasi ilmu agama dan pengetahuan umum membentuk karakter nasionalis. Pemahaman Al-Qur’an mendorong santri menolak kekerasan dan ketidakadilan, serta menekankan pentingnya kerja keras, menjaga alam, dan menghargai sesama. Nilai-nilai tersebut menjadi dasar pembangunan bangsa yang damai dan bermartabat.

Saat ini, banyak pesantren menjalankan program pertanian organik, pemberdayaan ekonomi, serta gerakan peduli lingkungan. Ini merupakan bentuk baru nasionalisme: menjaga alam dan kesejahteraan masyarakat.

Karakter Santri sebagai Cermin Nasionalisme

Karakter santri mencerminkan nilai-nilai nasionalisme. Mereka dibiasakan menghormati guru, sesama santri, dan masyarakat. Sikap rendah hati, merasa cukup, dan ketulusan menjadi bagian dari keseharian. Karakter ini membentuk pribadi yang kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh ambisi kekuasaan atau kekayaan.

Setelah kembali ke masyarakat, santri membawa semangat pengabdian. Banyak di antara mereka berperan sebagai guru, dai, relawan, atau pemimpin lokal. Di mana pun berada, mereka menerapkan nilai kebangsaan melalui tindakan nyata. Pesantren mengajarkan bahwa nasionalisme tidak hanya tampil melalui simbol besar, tetapi juga melalui disiplin, kejujuran, kerja keras, dan saling menghormati.

Sinergi Pesantren, Pemerintah, dan Masyarakat

Untuk memperkuat peran pesantren dalam membentuk karakter nasionalis, dibutuhkan sinergi antara pesantren, pemerintah, dan masyarakat. Pemerintah perlu memberi dukungan berupa regulasi, pendanaan, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kebijakan seperti Hari Santri Nasional dan Undang-Undang Pesantren merupakan bentuk pengakuan terhadap kontribusi pesantren.

Lebih dari sekadar penghargaan simbolis, pesantren harus dilibatkan dalam program kebangsaan: moderasi beragama, pemberdayaan ekonomi, serta literasi digital untuk melawan hoaks dan radikalisme. Dengan dukungan tepat, pesantren dapat menjadi kekuatan sosial besar dalam menjaga persatuan NKRI.

Masyarakat pun perlu mengapresiasi pesantren sebagai lembaga penting dalam menjaga moral bangsa. Meski sering dipandang tradisional, nilai-nilai yang ditanamkan pesantren—disiplin, kerja keras, kesederhanaan, dan cinta tanah air—sangat relevan di era modern.

Pesantren sebagai Penjaga Identitas Bangsa

Di tengah derasnya arus budaya asing, pesantren berfungsi melindungi identitas bangsa. Pesantren memastikan modernisasi dan teknologi tidak mengikis nilai keislaman dan keindonesiaan. Santri diajarkan menggunakan teknologi secara bijak dan tetap menjaga moralitas.

Rahim (2018) menegaskan bahwa moderasi beragama yang diajarkan pesantren merupakan kunci keberlangsungan bangsa yang majemuk. Pesantren menanamkan toleransi, menghargai perbedaan, dan menolak kekerasan. Prinsip-prinsip ini penting untuk menjaga persatuan di tengah potensi perpecahan.

Dengan karakter moderat dan rasa cinta tanah air, pesantren menjadi benteng terakhir bagi bangsa. Saat sebagian generasi muda kehilangan arah, pesantren tetap konsisten menanamkan nilai moral dan kebangsaan.

Penutup: Dari Pesantren untuk Indonesia

Kontribusi pesantren dalam membentuk karakter nasionalis santri telah terbukti sepanjang sejarah. Dari masa perjuangan hingga era digital, pesantren hadir sebagai penjaga moral, sumber kebijaksanaan, dan pilar persatuan. Melalui pendidikan yang berorientasi pada nilai agama dan kebangsaan, pesantren melahirkan santri yang siap berkhidmat bagi negara.

Rasa cinta tanah air yang diajarkan di pesantren bukanlah nasionalisme yang kaku, tetapi nasionalisme berbasis spiritual: menghargai keberagaman, menegakkan keadilan, dan berlandaskan keikhlasan. Prinsip ini menjadi modal penting bagi Indonesia untuk tetap teguh menghadapi tantangan zaman.

Kita semua bertanggung jawab menjaga warisan ini. Pemerintah, masyarakat, dan dunia pendidikan perlu bekerja sama memperkuat pesantren sebagai benteng moral dan pusat pendidikan karakter. Dari pesantren lahir generasi yang tidak hanya beriman, tetapi juga nasionalis sejati—siap membawa Indonesia menuju masa depan yang damai, beradab, dan bermartabat.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *