Oleh: Alhamana Dafa Akbar
Ketua Umum PK PII Planet Nufo, Santri-Murid Kelas VII SMP Alam Nurul Furqon asal Nusa Tenggara Timur (NTT)
Suara batu besar yang menutup di belakang mereka masih menggema, membuat dada Arga, Bima, dan Sinta terasa semakin sesak. Sekarang, mereka benar-benar terjebak di dalam gua yang dingin dan gelap.
Arga menyalakan senternya, menyorotkan cahaya ke sekeliling. Dinding gua terlihat kasar dan lembap, dengan akar-akar pohon menjalar di permukaannya seperti urat nadi yang hidup. Bau tanah basah yang sudah ribuan tahun tak tersentuh manusia.
Sinta menggigil. “Kita benar-benar masuk ke dalamnya,” gumamnya, suaranya sedikit bergetar antara rasa takut.
Bima melipat tangannya di dada, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Dan sekarang, kita terjebak,” katanya dengan suara rendah.
Arga menarik napas panjang. “Tidak ada jalan kembali. Satu-satunya pilihan kita adalah maju ke depan.”
Sinta mengangguk. “Kita harus mencari jalan keluar. Atau… mencari tahu apa yang sebenarnya ada di tempat ini.”
Mereka bertiga saling bertukar pandang. Dalam hati, mereka tahu bahwa keputusan ini lebih besar daripada sekadar keberanian, ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Saat mereka berjalan lebih dalam, gua itu terasa semakin luas, bukan hanya sekadar terowongan biasa. Ada lorong-lorong bercabang, beberapa lebih sempit daripada yang lain, beberapa lebih besar dengan dinding yang terlihat seperti diukir dengan tangan manusia.
Dinding-dinding gua dipenuhi ukiran simbol aneh, mirip dengan yang mereka lihat di batu besar di luar. Sinta menyentuh salah satu simbol itu, mencoba merasakan sesuatu yang familiar.
“Aku pernah melihat simbol seperti ini dalam buku sejarah kuno,” bisiknya. “Ini bukan sekadar gua biasa. Ini mungkin… peninggalan peradaban lama.”
Bima menelan ludah. “Peradaban lama yang mana?”
Sinta menggeleng. “Mungkin peradaban yang diceritakan oleh Kakek”
Mereka terus melangkah, melewati lorong yang semakin dalam. Sesekali, air menetes dari langit-langit gua, membuat situasi semakin mencekam.
Tiba-tiba, di tengah perjalanan, mereka menemukan sesuatu yang lebih aneh sebuah pintu batu raksasa dengan ukiran yang jauh lebih rumit dari sebelumnya.
Gerbang Menuju yang Tidak Diketahui
Gerbang batu itu berdiri kokoh, tingginya sekitar dua kali lipat tinggi Arga, dan di tengahnya terdapat lambang mata yang dikelilingi oleh pola lingkaran misterius. Lambang itu terasa sangat familiar, seperti sesuatu yang mereka lihat di mimpi atau legenda.
Arga menyinari dinding menggunakan senternya, mencari petunjuk. “Kalian lihat ini? Ada ukiran yang sepertinya memberitahu kita sesuatu.”
Mereka mendekat, mengamati lebih saksama. Ternyata, di bagian bawah gerbang, ada tiga batu yang berbentuk tangan, seolah-olah meminta mereka untuk menempelkan tangan mereka di sana.
Bima menyipitkan mata. “Jangan bilang kita harus… menyentuhnya?”
Sinta menatapnya . “Mungkin itu kunci untuk membukanya?”
Arga menarik napas dalam-dalam, lalu mengulurkan tangannya. “Tak ada cara lain. Kita harus mencobanya.”
Dengan sedikit ragu, mereka bertiga menempelkan tangan mereka ke batu tersebut. Begitu tangan mereka menyentuhnya, terasa sebuah getaran halus menjalar dari dinding batu, seperti ada energi yang hidup di dalamnya.
Tiba-tiba, gerbang batu mulai bersinar samar, dan lambang mata di tengahnya berubah warna menjadi keemasan.
Bima mundur selangkah. “Apa yang kita lakukan?!”
Namun sebelum ada yang bisa menarik tangan mereka, suara keras terdengar—”KRAKK!”—dan gerbang batu mulai bergeser, membuka perlahan dengan suara berderak yang menggema di dalam gua.
Dari dalam celah yang terbuka, mereka bisa melihat sesuatu yang tak terduga—sebuah ruangan luas, dihiasi oleh pilar-pilar kuno yang bercahaya redup, dan di tengahnya… ada sesuatu yang berkilauan.
Ruang Rahasia dan Harta yang Terlupakan
Ketika gerbang itu terbuka sepenuhnya, mereka bertiga melangkah masuk dengan hati-hati. Langit-langit ruangan ini jauh lebih tinggi daripada lorong gua, dan cahaya redup yang berasal dari kristal-kristal di dinding membuat suasana terasa mistis.
Di tengah ruangan, terdapat altar batu besar, dimana sesuatu tampak bersinar keemasan sebuah benda berbentuk bulat, seperti bola kristal, namun dengan cahaya.
Sinta melangkah mendekat, matanya berbinar. “Apa ini…?”
Namun sebelum ia bisa menyentuhnya, tiba-tiba terdengar suara geraman dalam, seperti suara makhluk yang terbangun dari tidurnya.
Mereka bertiga membeku. Dari bayangan di sudut ruangan, dua pasang mata merah menyala dalam kegelapan.
Sesuatu yang kuno dan telah lama tertidur… kini telah bangun.