Oleh: Tri Rahayu, Kepala Sekolah SMP Alam Nurul Furqon Rembang
Di pesantren Nurul Furqon, ada seorang santri perempuan yang sedang masyhur: Nur Yamin. Bukan karena dia paling disiplin, bukan karena dia paling rajin, bahkan bukan juga karena dia paling cantik, kendatipun menurut mbak-mbak ndalem, lesung pipinya yang hanya sebelah itu damai, bisa menenangkan santri bayi yang menangis. Namun, karena satu hal: Nur menjual surga.
“Surga, dua ribu satu bungkus!” Nur berteriak setiap sore mengedari pesantren, mengangkat plastik berisi keripik pisang manis buatannya.
Produknya itu sudah berlabel: “Surga Pisang by Nur Yamin, dijamin bikin lidah berzikir.”
Para santri laki-laki paling sering antre. Mereka biasanya menghadang di area tanjakan pesantren yang menjadi jalan utama santri bergerak menuju aula besar.
“Boleh utang, Nur?” tanya si Karim, yang sudah hafal tiga surat modal al-Qur’an; Q.S. Yusuf, al-Kahfi, dan al-Qashash serta juz 1, tapi hafalan niat wudhunya masih berlepotan.
“Boleh dong,” jawab Nur. “Tapi jangan sampai kiamat datang duluan sebelum kau bayar!” Nur mengancam.
Nur sudah hafal dua puluh satu juz, tapi hafalannya itu tidak lantas membuatnya jadi malaikat. Nur juga hafal harga tepung dan minyak goreng. Ia juga menguasai mantra-mantra sakti untuk menolak pinjaman dari teman-temannya, pelanggan Surga.
“Maaf, kali ini aku tidak bisa meminjamkan. Rasulullah memang penyayang, tapi dompetku tidak,” seruan Nur pada suatu hari sambil tersenyum. Nur punya lagam khas: sinis tapi manis.
Suatu malam, Ustazah Ci menegur lembut,
“Nur, kamu ini santri atau pedagang?”
“Dua-duanya, Ustazah,” jawab Nur mantap. “Yang satu untuk bekal akhirat, yang satu untuk bekal masuk kuliah, Zah.”
Dalam menimbang mana yang lebih mendulang pahala, menginspirasi banyak santri untuk berjuang serta tidak menunggu kiriman orang tua atau dosa berdagang dengan modal kecil, Ustazah Ci diam mematung.
Kabar mengenai “santri penjual surga” itu harum sampai pesantren kampung sebelah. Hingga akhirnya santri asing silih berganti mengunjungi Pesantren Nurul Furqon. Mereka mencicipi surga Nur dan sesekali melontarkan candaan,
“Nur berkenan menjadi pendamping saya dan menyiapkan surga tiap hari untuk saya?” pertanyaan ini mengagetkan. Sontak Nur menolak pertanyaan bernada lamaran tersebut,
“Tidak. Saya belum selesai berdagang dengan Tuhan.”
Kini, Nur tidak hanya sibuk menjual keripik. Ia sudah menambah varian jualannya sabun kelor, hand shock jahitannya sendiri, bahkan juga menerbitkan buku kumpulan puisi perdana yang ia beri judul “Doa yang Tersangkut di Tali Jemuran.”
Banyak teman santri menduga ini buku parodi, karena menyimpulkan sesaat makna sampul buku Nur yang lucu, tergambar jemuran sarung dan mukena. Namun, mereka salah sangka. Karya Nur murni menuangkan kesungguhan doa, harapan, dan perjuangan santri yang identik dengan busana ibadah harian yaitu sarung dan mukena.
Nur menyapa pembaca pada lembaran awal puisinya, “Hidup santri itu seperti mukena di tali jemuran. Dijemur, diterpa angin, tapi tetap putih dan wangi kalau tahu caranya.”
Begitulah kisah Nur. Konon sekarang, kalau ada yang mampir ke pasar dekat pesantren, mereka masih bisa mendengar teriakan Nur:
“Surga! Dua ribu satu bungkus!”
Hanya saja sekarang ada yang berbeda. Bungkus surga lebih nyentrik, ada barcodenya.
Nur juga sudah punya toko online.
selesai