Oleh: Insan Faisal Ibrahim, S.Pd
Di tengah derasnya arus perubahan zaman dan modernisasi sistem pendidikan, masih banyak orang yang memandang profesi guru hanya dari satu sisi: mengajar di depan kelas, menyampaikan materi, lalu pulang. Seakan-akan pekerjaan guru hanyalah berdiri di depan murid sambil menuliskan rumus, menjelaskan teori, dan memberikan soal ujian. Pandangan ini sangat keliru, dan bahkan cenderung merendahkan kompleksitas tugas seorang guru dalam dunia nyata. Faktanya, menjadi guru bukan hanya soal menyampaikan ilmu. Di balik papan tulis dan buku pelajaran, terdapat tanggung jawab sosial, emosional, bahkan moral yang sangat besar. Guru, dalam kesehariannya, harus mampu memainkan berbagai peran yang mungkin tidak tercantum dalam kontrak kerja mereka. Mereka bukan hanya pendidik, tetapi juga harus menjadi hakim, psikiater, dokter, aktor, pelayan, hingga komedian. Itulah sebabnya, guru pantas disebut sebagai satu peran dengan sejuta profesi.
Dalam ruang kelas, guru sering dihadapkan pada berbagai konflik antar siswa seperti perselisihan, pelanggaran tata tertib, bahkan tindakan bullying. Dalam situasi seperti itu, guru harus bertindak layaknya seorang hakim, yang mampu menimbang dan menilai mana yang benar, mana yang salah, tanpa memihak, dan tetap menjunjung keadilan. Keputusan yang diambil guru dapat memengaruhi dinamika hubungan sosial siswa. Jika guru salah menilai dan memperlakukan siswa secara tidak adil, hal ini bisa menimbulkan trauma, kecemburuan, atau bahkan ketidakpercayaan kepada institusi pendidikan. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijaksanaan luar biasa untuk memainkan peran ini dengan benar.
Selain itu, guru juga harus memperhatikan sisi psikologi anak. Sebab tidak semua murid datang ke sekolah dengan kondisi mental yang sehat. Ada yang mengalami tekanan di rumah, ada yang kehilangan kepercayaan diri, ada pula yang merasa tidak berharga. Dalam situasi seperti itu, guru harus mampu menjadi psikiater yang memahami kondisi emosional siswanya.
Tanpa pelatihan formal dalam bidang psikologi, banyak guru yang secara naluriah belajar mendengarkan, memberi nasihat, dan menenangkan. Mereka menjadi tempat curhat, menjadi penyemangat, bahkan menjadi penyelamat bagi siswa yang sedang berada di ujung putus asa. Mungkin tak terhitung sudah berapa kali seorang guru harus turun tangan ketika muridnya sakit, pingsan, atau terluka. Tanpa pendidikan medis, guru kerap menjadi “dokter darurat” yang memberikan pertolongan pertama. Sayangnya, kontribusi ini sering tidak terlihat dan tidak dihargai sebagaimana mestinya oleh beberapa pihak.
Dalam dunia pendidikan, penyampaian materi bukanlah hal yang mudah. Seorang guru harus tahu bagaimana mengatur intonasi, ekspresi wajah, bahkan gestur tubuh agar siswa tertarik mendengarkan. Ia harus tahu kapan harus bersikap serius, kapan harus bercanda, dan kapan harus memerankan tokoh tertentu agar pesan yang disampaikan dapat dimengerti dengan baik. Peran sebagai aktor ini sangat melelahkan karena membutuhkan energi besar. Guru harus bisa “bermain peran” di depan kelas selama berjam-jam, walau di saat bersamaan ia sedang dilanda masalah pribadi, sakit, atau kelelahan. Tak jarang, guru mengorbankan waktu istirahat, akhir pekan, bahkan waktu dengan keluarganya sendiri demi mendampingi siswa dalam kegiatan sekolah. Semua ini dilakukan bukan karena tuntutan, melainkan karena rasa tanggung jawab dan cinta terhadap profesinya.
Setelah melihat betapa beragamnya peran yang dimainkan oleh guru setiap hari, masih pantaskah kita menganggap bahwa guru adalah salah satu profesi yang paling ringan dan mudah kerjanya atau profesi yang banyak liburnya. Sudah waktunya paradigma masyarakat terhadap profesi guru berubah. Penghargaan terhadap guru tidak cukup hanya dengan upacara Hari Guru atau ungkapan pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka membutuhkan pengakuan yang nyata dengan peningkatan kesejahteraan, pengurangan beban administratif, pelatihan psikologis, dan dukungan moral dari masyarakat. Sebab di tengah segala keterbatasan, guru tetap berdiri. Mereka tetap tersenyum di depan kelas, tetap menjadi teman, tetap menjadi teladan. Dalam satu hari, seorang guru bisa memerankan banyak profesi tanpa pernah menuntut balasan. Mereka tidak hanya mengajar dengan ilmu, tetapi juga dengan hati. Jika bangsa ini ingin maju, maka guru harus diperlakukan sebagai fondasi utama pembangunan.