Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Fiksi Mini

Selesai yang Tak Pernah Dimulai

×

Selesai yang Tak Pernah Dimulai

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Matahari sore mengintip malu-malu di balik awan, seolah tahu ada seseorang di kafe ini yang sedang sibuk membangun citra di dunia maya, meskipun kenyataan di dunia nyata justru berkebalikan.

Di sudut kafe langganan aktivis, duduklah dua lelaki muda dengan aura berbeda.

Example 300x600

Kaydin, yang lebih akrab dipanggil Bang Kay, tampak santai dengan hoodie lusuhnya, membaca chat dari grup diskusi yang sibuk membahas aksi turun ke jalan minggu depan. Di seberangnya, seorang lelaki bersandar angkuh, menyeruput Americano dengan gaya seseorang yang seolah baru saja menyelesaikan negosiasi bisnis besar—padahal, di kantongnya, saldo tinggal cukup untuk kafe ini saja.

Dia adalah Satrio Piningit, atau lebih dikenal sebagai Bang Sat.

“Bang Kay, lo nggak pengen upgrade branding lo sebagai aktivis?” tanya Bang Sat tiba-tiba.

Bang Kay mengangkat alis, masih fokus di chat-nya. “Maksud lo?”

“Bro, aktivis zaman sekarang tuh nggak cukup cuma modal idealisme dan aksi nyata. Itu udah old school. Sekarang yang penting branding, positioning.”

Bang Kay menoleh sekilas. “Maksud lo, aktivis harus jualan citra, Bang Sat?”

Satrio tersenyum penuh percaya diri. “Lebih dari itu. Aktivis tuh harus kelihatan selesai. Lo liat gue sekarang.”

Kay mengamati sahabatnya ini. Bang Sat memang terlihat “jadi orang” di media sosial. Twit-twitnya penuh retorika perjuangan, unggahan Instagram-nya selalu estetik dengan caption tentang perlawanan, dan kalau ada event diskusi, Bang Sat selalu ada di barisan depan, siap angkat bicara.

Tapi ada satu masalah: setiap yang dia pegang, pasti ada masalah.

Sekretariat yang pernah ia kelola, bubar. Komunitas yang ia bentuk, pecah. Bahkan warung kopi tempat ia biasa ngutang pun, sudah kapok memberinya bon.

“Tuh liat, engagement gue naik. Followers bertambah. Gue sering bikin thread soal perjuangan rakyat kecil, soal independensi ekonomi, soal gimana aktivis tuh harus punya kemandirian finansial,” lanjut Bang Sat.

“Terus?” tanya Bang Kay datar.

“Terus? Ya jelas, sekarang orang respect sama gue! Gue diundang ke podcast, ada yang nawarin endorse produk UMKM, bahkan kemarin ada yang ngajak collab bikin seminar tentang ‘Aktivis dan Kemapanan Finansial’!”

Bang Kay hampir tersedak kopinya. “LO? Ngajar orang soal aktivis yang selesai secara finansial?”

Bang Sat tersenyum miring. “Lo underestimate gue?”

“Bukan underestimate, bro. Gue cuma bingung. Lo yang setiap hari makan nebeng di sekret, sering pinjam duit nggak dikembali, ngajarin orang soal kemandirian finansial?”

Bang Sat terkekeh, sama sekali tidak tersinggung. “Bro, lo masih pake mindset kuno. Yang penting itu image dulu. Realitas nyusul belakangan.”

Lee Moo Sin Datang

Tiba-tiba, dari balik pintu kaca kafe, muncullah seorang perempuan dengan jilbab panjang dan langkah tergesa. Ia adalah Lee Moo Sin, perempuan cerdas yang terkenal vokal dalam forum, tetapi juga punya sisi lembut yang membuatnya disukai banyak orang.

“Bang Kay, Bang Sat!” sapanya dengan senyum merekah.

Bang Sat langsung menegakkan punggungnya, matanya berbinar seolah baru saja mendapatkan audiens terbaiknya.

“Lee! Wah pas banget lo dateng. Gue sama Kay lagi ngobrol soal gimana aktivis zaman sekarang harus mandiri secara finansial,” kata Bang Sat, suaranya naik setengah oktaf, khas orang yang sedang menjual sesuatu.

Lee menarik kursi dan duduk di antara mereka. “Oh ya? Wah, gue setuju banget tuh, Bang. Aktivis harus mandiri. Nggak boleh bergantung sama organisasi terus. Apalagi kalau udah usia segini.”

Bang Sat tersenyum penuh kemenangan. “Nah, itu dia, Lee. Makanya gue udah mulai bangun branding sebagai aktivis yang selesai secara finansial. Sekarang, gue lagi develop beberapa proyek, collab sama pebisnis, bahkan lagi rintis usaha kecil-kecilan buat edukasi aktivis muda soal kemandirian ekonomi.”

Lee tampak kagum. “Wah, keren banget Bang Sat! Jadi lo beneran udah mapan sekarang?”

Bang Kay, yang sedari tadi diam, hanya mengangkat kopinya dan meneguk pelan.

“Ya bisa dibilang begitu,” jawab Bang Sat santai. “Yang penting itu mindset dulu. Kalau kita udah merasa selesai, orang lain juga bakal ngeliat kita selesai. Dari situlah kesempatan mulai datang. Gue nih, contohnya.”

Lee mengangguk antusias. “Ya ampun, gue jadi termotivasi, Bang. Aktivis nggak cukup cuma punya idealisme, tapi juga harus realistis. Kayaknya gue harus banyak belajar dari Bang Sat!”

Bang Sat menyeringai, matanya berbinar. “Anytime, Lee. Gue selalu siap berbagi ilmu.”

Tak lama kemudian, ponsel Lee berbunyi. “Aduh, gue harus pergi nih. Makasih banget ya, Bang Sat, Bang Kay. Obrolan ini bener-bener insightful!” katanya, lalu pergi dengan langkah ringan.

Bang Sat bersandar kembali di kursinya, tersenyum puas. “Tuh kan, Bang Kay? Lo liat nggak? Gue berhasil bikin Lee percaya sama konsep gue.”

Bang Kay menghela napas panjang. “Iya, Bang Sat. Dan lo tau apa yang lebih hebat lagi?”

“Apa?”

“Lo bahkan berhasil bikin dia pulang dengan kebahagiaan semu.”

Bang Sat terkekeh. “Bro, di zaman sekarang, kebahagiaan itu soal persepsi. Kalau orang udah percaya mereka bahagia, itu lebih dari cukup.”

Bang Kay menatap sahabatnya ini, lalu menggeleng. “Bang Sat, lo sadar nggak sih? Lo ini udah kayak seminar motivasi MLM yang dibungkus dengan jargon perjuangan. Ngajak orang sukses, tapi lo sendiri nggak bisa nunjukin bukti konkret. Lo bicara soal aktivis yang selesai, tapi gue nggak yakin lo sendiri pernah mulai.”

Bang Sat terdiam. Untuk pertama kalinya dalam sehari, ia kehabisan kata-kata.

Di luar, matahari akhirnya tenggelam. Persis seperti citra palsu—bisa bersinar sebentar, tapi pada akhirnya tetap hilang ditelan kenyataan.

Dari buku “Apologia Aktivis Kampret” oleh Mokhamad Abdul Aziz

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fiksi Mini

Oleh: Ficky Prasetyo Wibowo, Guru Seni Musik Sekolah…