Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Fiksi Mini

Kalau Bisa Lambat, Ngapain Harus Cepat?

×

Kalau Bisa Lambat, Ngapain Harus Cepat?

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Warung kopi di belakang fakultas itu seperti tak pernah berubah. Kursinya masih miring sebelah, lampunya redup, dan gelas-gelasnya lebih sering jadi saksi perdebatan daripada tempat minum. Di pojok, seperti biasa, duduk dua sosok yang bagi mahasiswa baru lebih legendaris dari rektor: Bang Kaydin dan Bang Satrio.

Malam itu, ada satu wajah baru di antara mereka — Lee Moo Sin, mahasiswi semester tiga yang sedang menulis esai berjudul “Akademisi yang Membumi.” Ia datang dengan mata penuh kagum, dan sedikit takut salah bicara.

Example 300x600

“Bang Kay,” katanya hati-hati, “Aku dengar Abang kemarin hampir di-DO, ya? Tapi sering banget diundang ngisi kuliah umum. Kok bisa, Bang?”

Bang Sat langsung terkekeh. “Itu, Dek Lee, bukti kalau hidup ini absurd. Dulu yang dianggap beban akademik, sekarang jadi bahan studi akademis.”

Bang Kay tersenyum tipis. Ia menatap kopi yang sudah dingin, seperti menatap masa lalu yang belum benar-benar selesai.

“Ya, dulu hampir di-DO. Alasannya simpel: aku terlalu lama berpikir. Kampus ini sabar pada mahasiswa malas, tapi tidak pada yang kebanyakan tanya.”

Lee Moo Sin menunduk, mencatat cepat. Tapi matanya tetap memperhatikan cara Bang Kay berbicara — tenang, pelan, tapi setiap katanya seperti baru saja disepakati dengan nasib.

“Dulu aku pikir, kalau aku menulis skripsi dengan sungguh-sungguh, dosen akan senang,” lanjut Bang Kay. “Ternyata mereka takut. Katanya aku ‘terlalu kritis’. Padahal aku cuma jujur.”

Bang Sat menimpali, “Bang Kay ini lulus semester empat belas, Dek. Dosen pembimbingnya sampai bilang, ‘Kay, kalau kau cinta kampus ini, cepatlah keluar, biar kau tak makin bikin gaduh.’”

Satrio menghela napas, lalu berkata pelan tapi pedas, “Lucu ya, Bang Kay. Di negeri ini, yang berpikir terlalu lama disebut malas, yang bertanya terlalu banyak disebut pembangkang, dan yang tak bertanya sama sekali justru naik pangkat. Kita semua sibuk berapologi, bilang bahwa lambat bukan berarti bodoh, padahal diam-diam kita iri pada yang cepat—meski yang cepat itu sering kali cuma pandai meniru tanpa mengerti.”

Lee Moo Sin terkekeh kecil, tapi matanya sendu. “Terus abang nggak nyesel lama banget di kampus?”

Bang Kay menggeleng pelan. “Ilmu itu bukan lomba lari, Dek. Kadang kita perlu tersesat biar tahu jalan pulang. Kalau bisa lambat, kenapa harus cepat? Yang cepat cuma nilai, bukan pemahaman.”

Bang Sat menyalakan rokok, asapnya naik ke langit-langit warung. “Bang Kay ini dulu idealis betul. Demo tiap minggu, diskusi tiap malam. Tapi sidang skripsinya malah tiga kali gagal. Ironi paling akademis: yang paling cinta ilmu, hampir diusir dari rumah ilmu itu sendiri.”

Bang Kay tertawa kecil. “Aku diancam di-DO bukan karena tak mengerjakan tugas, tapi karena tugasnya membuat orang berpikir.”

Lee Moo Sin diam lama. Ia melihat dua lelaki di depannya — satu dengan wajah yang tenang seperti air lama, satu lagi dengan tawa getir yang memeluk lelah.
Mereka bukan lagi mahasiswa, tapi juga belum benar-benar jadi “orang besar.” Mereka hanya sisa-sisa perlawanan yang menua dengan sopan.

“Bang,” katanya lirih, “aku kagum sama Abang. Tapi jujur, aku juga takut. Takut kalau nanti idealismeku malah bikin aku gagal lulus.”

Bang Kay menatapnya lama, lalu tersenyum. “Kalau kau benar-benar takut, berarti kau sudah mulai berpikir. Tak semua idealisme harus dibayar dengan nilai merah, tapi semuanya butuh keberanian.”

Bang Sat menepuk meja. “Tulis itu di esaimu, Dek! ‘Kampus mengajarkan berpikir, tapi takut pada yang benar-benar berpikir.’”

Mereka bertiga tertawa. Suara tawa itu ringan, tapi di dalamnya ada sejarah panjang: perdebatan, tekanan, surat peringatan, dan sidang-sidang senat yang pernah hampir menghapus nama Bang Kay dari daftar mahasiswa.

Malam semakin larut. Angin lewat membawa bau debu dari gedung tua fakultas. Bang Kay menatap bangunan itu lama. “Dulu aku tidur di tangga situ, Sin. Sekarang aku diundang dosen untuk bicara soal ‘Etika Akademik’. Dunia memang aneh. Kadang yang diusir hari ini, besok dijadikan contoh.”

Lee Moo Sin menutup bukunya. “Boleh aku tulis tentang Abang di esai, Bang?”
“Boleh,” kata Bang Kay, “Asal jangan jadikan aku pahlawan. Aku cuma mahasiswa yang kelamaan di kampus karena betah mencintai kebenaran.”

Bang Sat menghembuskan asap rokok terakhir. “Betah mencintai, tapi nggak lulus-lulus. Romantis sekali, Bang.”
Mereka tertawa lagi—tawa yang pelan, tapi panjang.

Sebelum beranjak, Bang Kay berkata pelan, hampir seperti pada dirinya sendiri:
“Kalau bisa lama, ngapain harus cepat? Toh yang cepat cuma waktu, tapi yang membuatnya berarti adalah perjalanan.”

Ia menatap Lee Moo Sin sejenak, lalu menambahkan, “Dan ingat, Dek— yang cepat belum tentu sukses. Kadang yang lama justru belajar lebih banyak tentang arti berjalan.”

Lalu ia berdiri, merapikan kemeja lusuhnya. Suaranya masih tenang, tapi matanya menyiratkan lelah yang dalam.
“Cuma ya, Dek,” katanya sambil tersenyum tipis, “jangan salah paham. Dalam sistem yang kita jalani, yang cepat itu tetap dipuji. Yang mantap, tetap disayang. Yang seperti kami ini—yang lama dan banyak tanya—biasanya cuma diundang setelah semuanya selesai.”

Malam itu berakhir seperti banyak malam sebelumnya: kopi dingin, tawa kecil, dan keyakinan yang mereka ulang-ulang agar tetap terasa benar.

Mereka menyebut kelambanan sebagai proses, menyebut keterlambatan sebagai kedewasaan, menyebut ketidakdisiplinan sebagai pencarian jati diri. Padahal, di antara asap rokok dan kalimat yang terdengar filosofis itu, sesungguhnya mereka hanya dua orang yang tak pandai membagi waktu—dan terlalu bangga untuk mengakuinya.

Mereka menyebut dirinya peziarah ilmu, padahal sekadar pengembara yang betah di persimpangan.

Sambil menyeruput sisa kopi yang pahit, mereka menertawakan dunia yang terlalu tergesa, tanpa sadar bahwa yang paling sibuk berapologi seringkali justru yang paling tak bergerak.

Diambil dari buku “Apologia Aktivis Kampret” karya Mokhamad Abdul Aziz

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fiksi Mini

Oleh: Hasbi Ubaidillah Zuhdi, Santri-Murid Kelas VIII SMP…