Oleh: Muhammad Abdul Hakim, Mahasiswa UIN Salatiga
Di sebuah desa kecil dengan suasana asri yang dikelilingi oleh sawah hijau, tinggal seorang remaja bernama Ardi. Ardi adalah seorang pemuda yang dikenal baik di desa nya. Ia tinggal bersama orang tuanya di sebuah rumah kayu yang sederhana. Ardi memiliki beberapa teman dekat yang memiliki latar belakang dan kebiasaan yang sangat berbeda. Di antaranya ada Dimas, sahabat Ardi sejak kecil, seorang pemuda yang cerdas, rajin beribadah, dan selalu mengutamakan kebaikan dalam hidupnya.
Dimas selalu berpakaian rapi dan tidak pernah ketinggalan hadir di setiap acara keagamaan di desa. Lalu ada Yuda, teman sekelas yang sangat suka bergaul dengan teman-temannya yang dikenal sering nongkrong hingga larut malam, bahkan terlibat dalam kebiasaan merokok dan sesekali ikut dalam pergaulan yang tidak sehat. Tidak jarang Ardi juga bergaul dengan Farel, yang lebih suka bergadang dan sering terlihat nongkrong di warung kopi atau bermain game online.
Pada suatu liburan sekolah, Dimas mengajak Ardi untuk ikut pengajian yang diadakan di masjid desa. Dimas bercerita dengan antusias tentang betapa bermanfaatnya mengikuti acara tersebut untuk meningkatkan iman dan ketakwaan. Ardi sebenarnya merasa sedikit ragu. Teman-temannya yang lain, seperti Yuda dan Farel, tentu saja tidak akan tertarik dengan acara seperti itu. Mereka lebih memilih untuk bersenang-senang, dan nongkrong di warung kopi.
Ardi tahu, dunia mereka sangat berbeda. Namun, karena sudah lama tidak berbicara serius dengan Dimas tentang kegiatan keagamaan, Ardi akhirnya memutuskan untuk ikut. Hari itu, masjid desa penuh dengan jamaah muda yang antusias. Meskipun sedikit canggung, Ardi merasa nyaman berada di sana. Dimas mengenalkan Ardi kepada teman-temannya yang semuanya sangat religius dan peduli dengan kehidupan spiritual mereka.
Ardi merasa terinspirasi oleh mereka, tetapi di sisi lain, ia juga teringat pada Yuda dan Farel yang sering mengajaknya ke tempat-tempat yang jauh dari suasana seperti ini.
Esoknya, Yuda mengajak Ardi untuk pergi ke warung kopi yang sudah mereka kenal. Meskipun sedikit bimbang, Ardi ikut saja. Di warung itu, Farel sudah menunggu bersama teman-temannya. Mereka semua sedang seru-seruan main gitar dan ngobrol lepas, sering bercanda dengan kata-kata yang nggak terlalu sopan. Ardi mencoba ikut berbicara, meski hatinya merasa tidak nyaman dengan obrolan mereka yang tidak ada kaitannya dengan hal-hal positif.
Setelah pulang malam ke rumah, Ardi merasa bingung. Dunia teman-temannya begitu beragam, dan ia merasa terjebak di antara dua pilihan yang berbeda. Di satu sisi, ada Dimas dengan dunia yang penuh ketenangan dan kedamaian, tetapi di sisi lain ada Yuda dan Farel yang sering membawanya ke tempat-tempat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ingin ia pegang.
Keesokan harinya, Ardi akhirnya memutuskan untuk ngobrol sama ayahnya. Ia menceritakan kegelisahannya tentang pergaulan yang begitu berbeda dalam hidupnya. Ayahnya mendengarkan dengan sabar, lalu berkata, “Ardi, dalam hidup, kita pasti akan berhadapan dengan banyak pilihan. Teman-temanmu memang berbeda-beda, tetapi yang penting adalah kamu tahu siapa dirimu. Kamu bisa berada di dunia mereka tanpa harus terbawa arus. Pilihlah yang terbaik untuk dirimu, dan jangan takut untuk menjadi dirimu sendiri.”
Kata-kata ayahnya menyentuh hati Ardi. Ia sadar bahwa hidup itu penuh dengan pilihan dan perbedaan. Namun, yang terpenting adalah bagaimana ia menjaga dirinya dan tetap setia pada nilai-nilai yang diyakininya. Ardi tidak perlu mengabaikan teman-temannya, tetapi ia bisa tetap menjadi dirinya sendiri dengan tidak terpengaruh oleh kebiasaan yang tidak baik.
Hari berikutnya, Ardi bertemu dengan Yuda dan Farel. Ia mengajak mereka berbicara dengan hati-hati, menjelaskan bahwa ia tetap ingin bergaul dengan mereka, tetapi dengan batasan yang jelas. Ardi menyadari bahwa ia bisa tetap berteman dengan Yuda dan Farel, tetapi tanpa harus ikut dalam kebiasaan mereka yang buruk. Ia tidak akan meninggalkan mereka, tetapi ia juga tidak akan membiarkan dirinya terbawa arus pergaulan yang tidak Baik.
Ardi merasa lebih tenang setelah pembicaraan itu. Ia menyadari bahwa hidupnya memang penuh warna, dan itu adalah bagian dari proses pendewasaan diri. Setiap teman yang ia miliki membawa pelajaran berbeda, dan Ardi berusaha untuk memetik pelajaran dari setiap pertemanan tersebut, tanpa kehilangan jati dirinya.
Dari cerita di atas, kita belajar bahwa pergaulan yang warna warni atau beragam mengajarkan kita untuk menghargai perbedaan. Kita mungkin akan bertemu dengan teman-teman yang memiliki kebiasaan dan prinsip yang berbeda, tetapi yang terpenting adalah kita tetap menjaga diri dan memilih hal-hal yang baik dalam hidup. Setiap pertemanan memberi pelajaran, dan kita bisa mengambil sisi positif dari masing-masing pergaulan yang kita jalani.