Oleh: Muhammad Wildan Maulana, Mahasiswa S2 Manajemen Universitas Semarang
Dalam hembusan angin pantai,
Ia renungi kehampaan diri,
Di tepi pantai, ia duduk sendiri,
Sambil menatap gelombang ombak kecil yang datang menghampiri.
Tanpa disadari,
Dirinya telah berada dalam imajinasi,
Bagaikan mugen tsukuyomi,
Seakan-akan ia terbungkus dalam kepompong yang ternyata itu ilusi,
Terlihat nyata, namun semuanya hanya mimpi.
Tentu itu semua tidak berarti,
Sebab ia tak bisa menjadi diri sendiri,
Dengannya, ia hanya berangan-angan kosong tanpa henti,
Ia berusaha sadar dari diri yang kebingungan,
Dan mulai berjalan di atas tali harapan,
Menjaga keseimbangan yang kian rapuh di tangan,
Langkah demi langkah yang ia tempuh mengecewakan,
Orang-orang yang mencintainya tanpa syarat, tanpa alasan.
“Hidupku, adakah maknanya?” bisiknya lirih,
Saat malam menelan cahaya yang kian letih,
Ia mencoba memperbaiki kerusakan di hatinya,
Namun selalu gagal, selalu sia-sia
Hari-hari berlalu seperti angin,
Berhembus pergi membawa sisa-sisa mimpi yang tertunda,
Ia berharap, namun harapan itu kian sirna,
Ia mencintai, tapi rasa itu kian binasa
Ada bisikan gelap di telinganya,
Seolah-olah menawarkan akhir dari segala tangis yang ada,
Hampir saja ia menyerah, hampir putus asa.
Namun, dari dalam hatinya terdengar gema,
Suara kecil yang memanggil namanya,
Mengingatkan bahwa masih ada kesempatan,
Masih ada perbaikan untuk segala kesalahan dan kekecewaan,
Ia menangis bukan karena kelemahan,
Tapi karena sadar, bahwa hidup adalah perjalanan.
Bukan soal keberhasilan yang terus dibicarakan,
Tapi soal bertahan, walau hati terkoyak di ambang kehancuran