Oleh: Novi Arizatul M, Pengajar di Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO Rembang
Pendidikan adalah jembatan yang menghubungkan masa kini dengan masa depan, juga merupakan fondasi peradaban. Tentu saja di dalamnya ada harapan sangat besar untuk dapat mencetak generasi yang berkarakter, bertanggungjawab, disiplin dan memiliki integritas tinggi.
Namun dibalik idealisme tersebut, realitas di lapangan seringkali tidak sejalan dengan harapan. Bisa kita lihat di mana saja; ada banyak sekolah-pesantren yang sudah berusaha membentuk karakter siswa dengan berbagai aturan sangat jelas, namun baik siswa maupun orangtuanya sangat sulit untuk diajak bekerjasama.
Sebagai seorang pendidik, saya melihat bagaimana sistem pendidikan kita semakin kehilangan arah. Ketidakdisiplinan siswa, ekspektasi berlebihan dari orangtua, serta kompromi terhadap nilai-nilai integritas menjadi tantangan besar yang membuat idealisme pendidikan terasa semakin sulit diwujudkan. Keadaan ini diperparah juga dengan adanya kebijakan pemerintah yang melarang sekolah menahan siswanya tidak naik kelas, meskipun mereka jelas belum siap secara akademik dan mental. Ini bukan lagi sekadar tantangan biasa. Ini adalah dilema moral dan profesional yang terus menghantui para pendidik: Haruskah kami bertahan pada prinsip, atau menyerah pada tekanan?
Disiplin yang Diabaikan
Salah satu tantangan terbesar dalam dunia pendidikan saat ini adalah kedisiplinan siswa yang semakin rapuh. Banyak siswa yang sulit diatur, tidak mengikuti agenda sekolah dengan baik, mengabaikan tanggungjawab akademiknya, bahkan terang-terangan melanggar aturan-aturan berat secara sadar hingga merasa terbiasa dengan berbagai hukuman.
Dalam ingatan saya saat memberi teguran, mereka justru menjawab dengan santai: “Nanti juga tetap naik kelas dan lulus. Kalau tidak, maka orangtua saya yang akan mengurusnya.” Ini adalah gejala yang mengkhawatirkan, bukan? Jawaban seperti ini menunjukkan bahwa mereka tidak merasa perlu bertanggung jawab atas tindakannya karena yakin akan selalu ada pihak lain yang membela: orangtua.
Mereka sungguh tidak menyadari keberadaannya di sekolah yang sekaligus juga pesantren, yang seharusnya bisa menjadi tempaan hidup untuk berkembang lebih baik. Mereka merasa bahwa konsekuensi yang diberikan tidak akan berdampak besar pada tangga kehidupannya. Padahal, ketidakdisiplinannya tidak hanya menghambat proses belajar-mengajar, tetapi juga menciptakan lingkungan yang kurang kondusif bagi siswa lain yang ingin belajar dengan sungguh-sungguh.
Tuntutan Tinggi, Tanggung Jawab Rendah
Dalam sistem pendidikan yang sehat, sekolah dan orangtua seharusnya berjalan beriringan. Di sisi lain, ada ekspektasi besar yang datang dari orangtua. Banyak orangtua ingin anak-anak mereka mendapatkan nilai tinggi dan prestasi gemilang, tetapi di saat yang sama, mereka enggan bekerja sama dalam mendisiplinkan anak-anaknya. Mereka hanya menuntut nilai yang harus tinggi paripurna, anak harus diperlakukan “istimewa”, serta guru harus sabar tanpa batas dalam menghadapi anaknya; tanpa disertai dengan introspeksi mendalam bagaimana peringai dan watak anak yang sebelumnya ditanamkan keluarganya.
Banyak pula fenomena meresahkan. Alih-alih turut menanamkan dan memantau kedisiplinan anaknya setelah dimasukkan ke pesantren, banyak orangtua justru memanjakan anaknya hingga menjadi boomerang. Entah secara sadar mendukung polah anaknya yang melanggar aturan, mengirimkan paket barang dan makanan yang sebetulnya dilarang, bahkan diam-diam menyelundupkan ponsel padahal itu merupakan larangan keras di lembaga pendidikan anaknya. Ada-ada saja memang. Lalu saat pihak sekolah memberi teguran, mereka justru berdalih bahwa hukuman yang diberikan sekolah terlalu keras, teguran dari para guru dianggap tidak pantas, dan lebih parah, ada yang secara gamblang menunjukkan sikap permisif dengan alasan “yang penting anak saya nyaman.” Lalu saat ada kejadian tidak pantas diluar kendali para guru akibat ulahnya itu, siapa yang kemudian mereka salahkan?
Apakah para orangtua tidak berfikir, bahwa kondisi yang meresahkan itu dapat menciptakan anak-anak yang tidak siap menghadapi konsekuensi, tidak tahu arti perjuangan, dan tidak menghargai proses? Maka tak heran jika di masa depan ketika mereka menghadapi kesulitan, mereka tidak mampu mencari solusi dengan usaha lebih keras, tetapi mencari jalan pintas dengan mengandalkan intervensi orangtua.
Integritas Diuji: Ketika Permintaan Orangtua Penuh Manipulasi
Salah satu pengalaman yang paling mengejutkan bagi saya adalah sebuah permintaan revisi nilai untuk dimanipulasi. Bayangkan, ada orangtua alumni datang ke sekolah, meminta revisi nilai ijazah. Alasannya? Karena ia ingin memasukkan anaknya ke sekolah lanjutan favorit, tetapi nilainya kurang. Mereka meminta agar sekolah menaikkan nilainya, seolah-olah pendidikan bisa dinegosiasikan seperti harga barang di pasar.
Sebetulnya tentu saja para guru pun sangat berkomitmen untuk turut mendorong cita-cita semua anak setinggi mungkin, namun jika memang mereka sadar memiliki cita-cita tinggi, mengapa tidak mencoba untuk bersungguh-sungguh sejak awal? Padahal ruang sekolah selalu terbuka untuk berkonsultasi. Bukankah setiap pembagian raport semesteran sudah diberi waktu untuk menyampaikan kesan perihal raport anaknya? Mengapa tidak mencoba untuk evaluasi sejak awal?
Jika tiba-tiba datang hanya saat sudah lulus dengan permintaan sedemikian tak masuk akalnya, maka permintaan ini bukan hanya mencerminkan ketidaktahuan, tetapi juga keberanian untuk mengorbankan integritas pendidikan demi kepentingan pribadi. Apakah mereka lupa bahwa ijazah adalah dokumen resmi, dan mengubah nilai di dalamnya secara tidak sah adalah tindakan melawan hukum?
Mari kita renungkan; apa jadinya jika seseorang masuk dunia pendidikan dengan diawali sebuah kebohongan besar? Bagaimana jika di kemudian hari, ia selalu mengambil jalan pintas dalam menjalankan tugasnya? Jika sejak awal ia terbiasa dengan manipulasi, bagaimana kita bisa berharap ia akan menjadi pemimpin yang jujur dan bertanggung jawab?
Dilema Pendidik: Bertahan atau Menyerah
Dalam kondisi seperti ini, para pendidik berada dalam dilema besar. Di satu sisi, kami ingin menanamkan kedisiplinan dan mempertahankan integritas sistem pendidikan. Namun di sisi lain, lingkungan tidak selalu mendukung. Ketika aturan ditegakkan, guru bisa dianggap terlalu keras. Ketika nilai diberikan secara objektif, guru bisa dianggap tidak peduli dengan masa depan siswa.
Lebih jauh lagi, dilema juga datang dari kebijakan pemerintah: aturan yang melarang sekolah menahan siswa agar tidak naik kelas. Secara teori, kebijakan ini bertujuan baik, yakni agar tidak ada anak yang tertinggal dan semua bisa mendapatkan kesempatan belajar yang sama. Namun, realitas di lapangan berkata lain. Banyak siswa yang belum bisa membaca dan menulis dengan baik di jenjang yang lebih tinggi, tidak memiliki keterampilan dasar yang diperlukan untuk naik kelas, bahkan menjadi apatis dan tidak mau menunjukkan usaha atau tanggung jawab dalam belajarnya.
Ironisnya, sebab adanya kebijakan tersebut, akhirnya banyak siswa dan orangtua yang semakin menyepelekan. Ketika anak lulus dengan kemampuan yang lemah, alih-alih mencari solusi bersama, orangtua justru lebih menyalahkan sekolah. Mereka lupa bahwa sejak awal, sekolah tidak diberi wewenang untuk menegakkan standar yang sebenarnya.
Sungguh, kami ingin membentuk generasi yang tangguh dan jujur, tetapi sering kali harus menghadapi tekanan dari berbagai pihak yang justru ingin menempuh jalan pintas demi hasil instan. Akibatnya, banyak pendidik yang akhirnya memilih untuk “mengalah”, bukan karena mereka tidak peduli, tetapi karena lelah menghadapi tekanan yang terus-menerus datang.
Kemana Arah Pendidikan Kita?
Jika kondisi ini terus dibiarkan, kemana arah pendidikan kita? Bagaimana kita bisa membentuk generasi yang kuat jika orangtua sendiri mengajarkan anak-anak mereka untuk menghindari tantangan? Pendidikan yang ideal hanya bisa terwujud jika ada kerja sama yang baik antara sekolah, orangtua, dan kebijakan yang mendukung kualitas pendidikan.
Sekolah tidak bisa bekerja sendiri. Orang tua harus ikut berperan dalam membentuk karakter anak, dan pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan pendidikan tidak hanya berbasis angka, tetapi juga berbasis kualitas dan karakter.
Kini, mari kita bergandengan tangan bersama, saling mendukung untuk terus berusaha menuju ke jalur yang benar. Sekolah, orangtua, dan siswa harus berjalan bersama untuk menciptakan sistem pendidikan yang tidak hanya mencetak generasi pintar, tetapi juga generasi yang memiliki karakter dan tanggung jawab. Sebab pada akhirnya, keberhasilan sejati dalam pendidikan bukanlah sekadar nilai tinggi, tetapi bagaimana kita membentuk manusia yang siap menghadapi kehidupan dengan kejujuran, kedisiplinan, dan integritas yang kokoh.
Saya percaya bahwa masih ada harapan untuk memperbaiki sistem pendidikan kita. Namun, perubahan tidak akan terjadi jika hanya sekolah yang bergerak. Orangtua harus mulai memahami bahwa disiplin bukanlah hukuman, melainkan bentuk kasih sayang yang akan membentuk anak menjadi pribadi yang lebih baik. Jika kebijakan sistem pendidikan sudah melarang sekolah untuk menahan siswa tidak naik kelas, maka minimal orangtua sadar dengan penuh kesungguhan mendukung sekolah tempat anaknya belajar dengan turut memberi pendampingan positif kepada anak secara berkala.
Jangan sampai menjadi orangtua yang abai terhadap kebiasaan buruk anak, atau bahkan pada potensi dan prestasinya. Konsultasikan jika memiliki keinginan ataupun kendala, jangan hanya datang disaat komplain nilai saja. Selain itu, kita juga perlu untuk tetap membangun budaya kejujuran dalam pendidikan. Nilai tinggi yang diperoleh dengan cara curang tidak akan membawa manfaat dalam jangka panjang. Sebaliknya, usaha keras dan ketekunan akan menciptakan karakter yang lebih kokoh dan siap menghadapi tantangan kehidupan.
Pendidikan bukan sekadar tentang angka di atas kertas, tetapi tentang bagaimana kita membentuk generasi yang memiliki karakter kuat. Jika disiplin diabaikan, jika orangtua hanya menuntut tanpa memberi teladan, dan jika integritas terus dikorbankan demi kepentingan sesaat, maka pendidikan kita benar-benar akan kehilangan arah. Jika kita ingin melihat perubahan yang nyata, maka perubahan itu harus dimulai dari kesadaran bersama—bahwa pendidikan adalah tanggung jawab kita semua. Wallahu a’lam bi al-shawaab.