Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
BudayaLifestyle

Dugderan di Semarang: Antara Jawa, Islam, dan Tionghoa

×

Dugderan di Semarang: Antara Jawa, Islam, dan Tionghoa

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Algazella Sukmasari, S.Pd.

Pengajar di Pesantren-Sekolah Alam Planet Nufo Rembang, Semarang Citizen

Example 300x600

Dugderan menjadi simbol harmoni di Semarang, di mana berbagai budaya hidup berdampingan dan saling memengaruhi. Perpaduan budaya Jawa, Arab, dan Tionghoa menjadi akulturasi yang ciamik. Perayaan menjelang bulan suci Ramadlan yang ditandai dengan makhluk mitologi warak ngendog ini adalah salah satu kearifan lokal yang hanya ada di Kota Lumpia. One and only

Dikutip dari buku “Sejarah Islam Nusantara: Dari Analisis Historis Hingga Arkeologis Tentang Penyebaran Islam di Nusantara” karya Rizem Aizid (2016), Dugderan merupakan cerminan perpaduan 3 budaya di Semarang, yaitu Jawa, Arab, dan Tionghoa. Tradisi ini sudah dilaksanakan sejak tahun 1881 Masehi dan berlangsung sepanjang zaman kolonial sampai kini menjadi bagian dari warisan budaya masyarakat Semarang.

Istilah Dugderan (Dhug Der) berasal dari suara bedug (dug dug) dan suara mercon bambu (der), yang melambangkan semaraknya penyambutan Ramadlan. Tradisi ini pertama kali diperkenalkan pada abad ke-19 oleh Bupati Semarang, Raden Mas Tumenggung Aryo Purbaningrat, untuk menyatukan penetapan awal puasa di kalangan masyarakat.

Menurut jurnal karya R. Njatrijani berjudul “Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Kota Semarang”, pengelompokan masyarakat berdasarkan etnis (Jawa, Arab, Cina) oleh Kolonial Belanda menimbulkan perpecahan pada masa itu. Apalagi di kalangan umat Islam dalam menentukan hari-hari besar agama. Demi mengatasi perbedaan ini, sebagai upaya penetapan awal Ramadlan secara resmi, Bupati KRMT Aryo Purbaningrat memutuskan untuk membunyikan bedug di Masjid Agung dan menyalakan meriam sebanyak tiga kali di halaman.

Tradisi

Kaitannya dengan budaya dan religi, Soekarno pernah berpidato, “Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.”

Dugderan merupakan manifestasi umat Islam dalam memadukan budaya dan agama di Indonesia. Sehingga, terciptalah suatu ciri khas sebagai ajang toleransi etnis-etnis yang ada di pesisir Jawa Tengah. Tradisi Dugderan pun menjadi pesta rakyat tahunan bagi masyarakat Semarang terlepas dari etnis dan agama apa pun. Hal ini menunjukkan bahwa Semarang telah lama menjadi kota multikultural dengan warisan budaya yang kaya.

Dalam pelaksanaan Dugderan, terdapat tiga elemen penting yang berperan dalam keberlangsungannya. Tiga elemen ini di antaranya: pemerintah (diwakili Dinas Kebudayaan dan Pariwisata) yang bertanggung jawab mengatur jalannya acara, ulama yang berperan dalam memastikan awal Ramadlan berdasarkan penghitungan akurat, dan komunitas etnis Jawa-Tionghoa-Arab.

Biasanya, dugderan dimulai dari pagi hingga menjelang maghrib. Prosesi dimulai dengan upacarapembukaan, pengumuman awal puasa, dan karnaval budaya yang dikenal sebagai arak-arakan Warak Ngendog. Sementara itu, pasar kaget atau pasar malam sendiri sudah berlangsung sekitar seminggu atau dua minggu sebelum puncak acara sehari sebelum puasa.

Sejak tahun 2023, ada penyesuaian dalam kirab budaya. Dalam kirab budaya Dudgeran, sudah menjadi tradisi apabila kepala daerah berperan sebagai Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Arya Purbaningrat yang akan mengumumkan masuknya bulan Ramadan. Namun, karena Wali Kota Semarang adalah seorang wanita, yang mana dulu Hevearita, maka diubahlah menjadi Kanjeng Mas Ayu Tumenggung Purbodiningrum.

Setelah upacara di halaman Balai Kota Semarang dan dipimpin oleh Wali Kota Semarang, festival dilanjutkan dengan pemukulan beduk yang menjadi tanda dimulainya pawai arak-arakan peserta Dugderan. Kirab budaya ini ditandai oleh kehadiran prajurit Patang Puluhan memberi nuansa megah pada setiap perayaan.

Selain rombongan kirab prajurit Patang Puluhan, berbagai komunitas akan ikut meramaikan festival ini. Beberapa di antaranya dari Klenteng Tay Kak Sie, kelompok lintas etnis, dan perempuan anggun berkebaya. Tak ketinggalan, organisasi masyarakat Islam, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, ikut andil meramaikan acara. Hal ini semakin meneguhkan keberagaman dalam keharmonisan yang ada di Kota Semarang.

Acara kemudian dilanjutkan dengan penyerahan suhuf halaqah oleh Walikota Semarang di Kauman. Setelah itu, diikuti pembacaan suhuf halaqah dan pengumuman mengenai datangnya bulan puasa. Akhir pawai akan ada pembagian dan rebutan roti ganjel rel.

Warak Ngendog Sebagai Akulturasi Budaya

Patung Warak Ngendog dapat ditemukan di Taman Pandanaran dan menjadi ikon Kota Semarang. Namun, Warak Ngendog yang biasanya ditampilkan dalam perayaan Dugderan menyambut bulan Ramadlan aslinya merupakan makhluk mitologi unsur perpaduan budaya Jawa, Arab, dan Tionghoa. Makhluk rekaan ini memiliki kepala naga (Cina), leher yang panjang seperti unta, tubuh seperti burak (Arab), dan empat kaki seperti kaki kambing (Jawa). Binatang mitologis ini digambarkan sebagai simbol pemersatu tiga etnis mayoritas yang ada di Semarang.

Mitologi Warak Ngendog sudah berkembang sejak awal mula berdirinya Kota Semarang oleh Ki Ageng Pandan Arang.Warak Ngendog ini menjadi salah satu media Ki Ageng Pandan Arang atau Raden Pandanaran pada saat itu untuk mengajarkan ajaran agama Islam menggunakan kebudayaan-kebudayaan lokal masyarakat setempat. Nama Warak Ngendog sendiri berasal dari dua kata, yakni warak atau wara’i yang berarti suci  dalam bahasa Arab dan ngendhog dalam bahasa Jawa yang artinya bertelur. Dua kata tersebut lantas diartikan bahwa siapa saja yang bisa menjaga kesucian di bulan Ramadan hingga di akhir bulan kelak akan menerima pahala pada hari lebaran.

Tradisi Dugderan memiliki beragam nilai dan peran penting, seperti nilai religius, kebersamaan, budaya, dan semangat gotong royong. Selain itu, tradisi ini juga berkontribusi pada perekonomian, terutama melalui pasar malam yang membuka kesempatan bagi masyarakat untuk menambah penghasilan. Lebih dari sekadar simbol keagamaan, Dugderan mencerminkan kebudayaan serta kehidupan sosial masyarakat Semarang yang sarat dengan toleransi dan solidaritas.[*]

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Budaya

Bathari Ratih ing dhamparan akasa Ngranti buta, konjuk…