Warung kopi itu hampir tutup. Meja-meja sudah mulai kosong, tapi satu sudut masih ramai. Bang Kotan, nama lengkapnya Kotan Robert Sanjoyo berdiri dengan wajah merah, tangannya mengepal di atas meja, seolah meja itu adalah kepala-kepala junior yang ingin ia ketuk dengan keras.
“BEBAAAL! Kalian ini dikasih tahu kok susah banget ngerti, hah?! Mau organisasi ini maju atau nggak?!” suaranya menggelegar, membuat beberapa pengunjung warung melirik dengan penasaran.
Di hadapannya, tiga junior duduk diam, menunduk seperti anak SD yang baru saja ditegur guru killer. Salah satunya, Danar mencoba membela diri.
“Tapi, Bang, cara yang Abang usulkan itu kayaknya udah nggak relevan. Kita butuh pendekatan yang lebih baru.” Bang Kotan menatap Danar seperti melihat seekor kecoak yang berani menatapnya balik.
“OH, JADI KAMU LEBIH PANDAI DARI AKU?! Aku sudah di organisasi ini sebelum kamu tahu cara pegang spanduk! Aku udah demo waktu kamu masih sibuk ngoleksi stiker Ultraman! JANGAN AJARI AKU PERJUANGAN!
Junior-junior itu diam. Mereka sudah tahu, kalau Bang Kotan sudah marah seperti ini, tak ada gunanya berdebat. Percuma. Di organisasi ini, kalau senior sudah bicara, junior cuma punya tiga pilihan: mengangguk, bilang siap, atau keluar.
Bang Kotan meninggalkan mereka dengan langkah berat, sesekali menggerutu, “Organisasi ini bakal hancur kalau dipimpin bocah-bocah bebal ini.”
Bang Sat terkekeh pelan. “Bang Kay, lihat itu? Drama tahunan. Senior marah-marah karena junior nggak mau nurut.”
Bang Kay menyandarkan punggungnya, menatap langit yang mendung. “Bang Sat, kau sadar nggak? Dalam organisasi ini, matahari itu hanya boleh terbit dari satu arah—arah senior.”
Bang Sat mengangkat alis. “Maksudmu?”
Bang Kay terkekeh. “Coba lihat. Kalau ada ide baru dari junior, pasti dibilang belum matang, kurang pengalaman, atau dianggap nggak paham sejarah perjuangan. Tapi kalau senior ngomong hal yang sama? Wah, tiba-tiba jadi pencerahan, jadi pedoman organisasi!”
Bang Sat menyeringai. “Benar juga. Junior kalau punya pendapat, pasti dikasih wejangan panjang dulu. Dibilang harus banyak baca, banyak diskusi, jangan gegabah. Tapi kalau senior yang ngomong, meski ngawur, semua mengangguk-ngangguk kayak burung pelatuk.”
Bang Kay tertawa pendek. “Dan yang lebih lucu, kalau junior membantah, langsung dicap bebal, nggak hormat tradisi, atau lebih parah—nggak paham perjuangan!”
Bang Sat menghela napas panjang. “Padahal perjuangan ini harusnya seperti sungai. Mengalir terus, menerima arus baru. Bukan seperti sumur tua yang airnya hanya untuk mereka yang sudah lama tinggal di situ.”
Hening sejenak. Angin malam menyapu warung kopi yang semakin sepi.
Bang Kay melirik ke arah junior-junior yang masih terlihat murung. “Bang Sat, kau tahu? Kita ini sebetulnya hidup di dunia yang aneh. Dulu waktu kita junior, kita dianggap bocah yang harus diam dan mendengar. Sekarang, kita sudah jadi senior, dan kita disuruh merasa paling tahu segalanya.”
Bang Sat tertawa sinis. “Mungkin ini hukum alam. Senior selalu benar, junior selalu bebal. Matahari hanya boleh terbit dari kepala mereka yang lebih dulu berada di sini.”
Tapi kali ini, Bang Kay tak tertawa. Ia menatap gelas kopinya yang kosong, lalu mendongak menatap Bang Sat dengan tatapan yang lebih serius.
“Bang Sat, kalau kita sadar ini nggak benar, kenapa kita nggak ubah?”
Bang Sat mengernyit. “Maksudmu?”
Bang Kay mencondongkan tubuhnya ke depan. “Selama ini kita cuma bercanda, mentertawakan situasi ini seolah cuma drama yang bakal berulang terus. Tapi kalau nggak ada yang mulai mengubah, kita cuma jadi bagian dari siklus itu. Besok atau lusa, kita juga bakal jadi Bang Kotan. Menganggap junior nggak tahu apa-apa, dan mengulang kebodohan yang sama.”
Bang Sat terdiam. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang ia kira.
“Kita butuh revolusi, Bang Sat. Sebuah akselerasi. Kebenaran nggak boleh lagi ditentukan dari siapa yang ngomong, tapi dari apa yang diucapkan. Dari ilmu dan pemahaman. Kalau ada junior yang lebih paham, lebih cerdas, lebih mampu, ya mereka yang harus didengar.”
Bang Sat menarik napas panjang. “Dan kita yang senior harus mulai belajar menerima itu…”
Bang Kay mengangguk. “Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi?”
Mereka saling menatap, lalu sama-sama meneguk sisa kopi yang sudah dingin. Malam makin larut, tapi kali ini bukan hanya pertanyaan yang menggantung di udara. Ada keputusan yang mulai mengakar.
Besok, matahari akan terbit lagi. Dan mungkin, kali ini, ia akan terbit dari arah yang berbeda.
Dari buku “Apologia Aktivis Kampret” oleh Mokhamad Abdul Aziz