Oleh: Ayyub Fatwa Ibrahim, Mahasiswa Pendidikan Kimia UIN Walisongo Semarang
Dewasa ini, tidak sedikit kaum muslim merasa asing membicarakan politik (siyasah) dalam konteks agama. Bahkan, sebagian orang beranggapan bahwa agama seharusnya tidak dicampur dengan urusan politik. Padahal, pandangan semacam ini sebenarnya merupakan pengaruh dari sejarah peradaban Barat. Di masa lalu, gereja Kristen pernah menyalahgunakan otoritas agama untuk menekan ilmuwan seperti Galileo Galilei, yang kemudian memicu lahirnya gerakan sekularisasi sebagai upaya memisahkan agama dari urusan kenegaraan.
Islam justru punya contoh terbaik: Nabi Muhammad ﷺ membangun Negara Madinah yang adil dan maju, jauh sebelum zamannya. Ketika orang-orang shaleh memimpin dengan pedoman Al-Qur’an, kekuasaan bukan untuk menindas, tapi untuk menolong. Seperti doa dalam QS. Al-Isra’: 80:
وَقُلْ رَّبِّ اَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَّاَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَّاجْعَلْ لِّيْ مِنْ لَّدُنْكَ سُلْطٰنًا نَّصِيْرًا
Dan katakanlah: “Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong. (QS. al-Isra’: 80).
Jadi, dalam Islam, politik dan agama tidak perlu dipisahkan. Yang penting, pemimpinnya harus orang baik yang berpegang pada ajaran Allah.
Sejak dulu, kekuasaan selalu memiliki dua wajah – ada yang lembut dan adil, ada pula yang kejam dan menindas. Banyak penguasa yang hidup dalam kemewahan sambil menindas rakyatnya yang menderita. Tak heran jika dalam pandangan politik Barat, negara sering dianggap sebagai alat untuk menindas rakyat.
Namun, Al-Qur’an memberikan pandangan yang lebih bijak. Kekuasaan itu seperti pisau – bisa digunakan untuk memotong sayur dan membantu pekerjaan rumah, tapi juga bisa melukai orang. Baik buruknya tergantung pada orang yang memegangnya.
Al-Qur’an menceritakan berbagai contoh pemegang kekuasaan. Ada Raja Jalut (Goliat) yang sangat kuat tapi menggunakan kekuatannya untuk menindas. Kekuatannya begitu besar sampai pasukan biasa tidak mampu melawannya. Maka Allah mengutus Thalut untuk memimpin perlawanan.
Saat Thalut dan pasukannya hendak berperang, mereka diuji dengan sebuah sungai. Hanya yang mampu menahan diri dari minum (kecuali seteguk) yang boleh ikut berperang. Kebanyakan gagal dalam ujian ini. Ketika menghadapi Jalut, banyak yang takut karena jumlah musuh lebih besar. Tapi orang-orang beriman yakin: “Berapa banyak kelompok kecil yang mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.”
فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ : فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ ، فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ ، قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ، وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku”. Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya”. Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. al-Baqarah: 249)
فَهَرَمُوهُمْ بِإِذْنِ اللَّهِ وَقَتَلَ دَاوُودُ جَالُونَ وَآتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ بِمَا يَشَاءُ، وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ
Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam. (al-Baqarah: 251).
Setelah wafatnya Thalut, tampuk kepemimpinan beralih kepada Nabi Daud – seorang pahlawan yang sebelumnya berjasa besar dalam mengalahkan kezaliman Jalut hingga kemudian diangkat sebagai menantu oleh Thalut. Dalam Al-Qur’an, kekuasaan Nabi Daud digambarkan sebagai anugerah ilahi yang diemban dengan tanggung jawab mulia. Allah SWT memerintahkannya untuk menjadikan kekuasaan tersebut sebagai sarana menegakkan kebenaran, menebarkan keadilan, dan menjadi pelindung bagi kaum yang tertindas.
Kepemimpinan Daud menjadi teladan abadi tentang bagaimana seharusnya kekuasaan dijalankan – bukan untuk ambisi pribadi, melainkan sebagai amanah suci untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang berlandaskan ketakwaan dan keadilan ilahi. Setiap kebijakan dan keputusannya senantiasa berorientasi pada penegakan nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari wahyu Allah.
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ : إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الحساب
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (Shad: 26)
Al-Qur’an menegaskan bahwa Daud sebagai pemimpin diwajibkan menegakkan hukum-hukum Allah dalam setiap aspek pemerintahannya. Allah secara tegas memperingatkan sang Nabi agar senantiasa berpegang pada ketentuan ilahi dan tidak terjerumus dalam mengikuti dorongan hawa nafsu. Sebab, kecenderungan mengikuti hawa nafsu akan menjadi penyebab utama penyimpangan dari jalan kebenaran, yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan malapetaka besar baik bagi diri sang pemimpin maupun masyarakat yang dipimpinnya.
Tidak hanya dalam al-Qur’an, Nabi Muhammad saw. juga memberikan pandangan yang sangat positif tentang kekuasaan. Dalam sebuah hadits yang sangat terkenal, Beliau menyebutkan bahwa salah satu golongan yang akan mendapat perlindungan khusus di hari akhir nanti adalah pemimpin yang adil. Sabda Rasulullah saw.:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌ نَشَأَ في عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابًا فِي اللَّهِ اجْتَمَعًا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَا
Ada tujuh (golongan orang beriman) yang akan mendapat naungan (perlindungan) dari Allah dibawah naunganNya (pada hari kiamat) yang ketika tidak ada naungan kecuali naunganNya. Yaitu; Pemimpin yang adil, seorang pemuda yang menyibukkan dirinya dengan ‘ibadah kepada Rabnya, seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid, dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah, keduanya bertemu karena Allah dan berpisah karena Allah, seorang laki-laki yang diajak berbuat maksiat oleh seorang wanita kaya lagi cantik lalu dia berkata, “aku takut kepada Allah”, seorang yang bersedekah dengan menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya, dan seorang laki-laki yang berdzikir kepada Allah dengan mengasingkan diri sendirian hingga kedua matanya basah karena menangis”.
Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW banyak mengungkap nilai positif kekuasaan ketika dijalankan dengan benar. Nabi sendiri beserta empat khalifah penerusnya telah memberikan teladan nyata bagaimana mempraktikkan kekuasaan sebagai bentuk ibadah. Hal ini seharusnya membentuk persepsi umat Islam bahwa kekuasaan adalah amanah mulia, bukan sesuatu yang harus dijauhi atau dipandang negatif semata.Umat Islam justru dituntut untuk bersikap proaktif dalam menyiapkan dan mendukung calon pemimpin yang kompeten—yang memiliki kematangan spiritual, intelektual, dan kapasitas finansial.
Terutama di era demokrasi liberal seperti sekarang, di mana persaingan kekuasaan sangat terbuka, kita harus mendorong orang-orang terbaik untuk mengambil peran politik.
Dukungan material dan moral mutlak diperlukan agar kekuasaan dapat diraih oleh mereka yang akan menggunakannya sesuai tuntunan al-Qur’an. Dengan demikian, cita-cita membangun “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” – negeri yang baik dan mendapat ampunan Tuhan – dapat diwujudkan. Kekuasaan yang dipegang orang-orang shaleh akan menjadi sarana transformasi nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara. Walláhu a’lam bi al-shawwáb.