Oleh: Putri ‘Aisyah Nurul Iman
Ketua Pondok Pesantren Alam Nurul Furqon 2024, Ketua Komunitas Puisi Esai Pelajar Kabupaten Rembang
Kau dan aku seperti dua titik di peta buta—
Kompasku selalu menunjuk ke arahmu,
tapi langkah ini terjebak di garis lintang yang salah.
Malam-malam, kuhitung bintang yang sama,
seperti kode rahasia yang hanya kita pahami.
Musim berganti, tapi wajahmu di foto itu tetap sama:
senyum yang membeku di antara rintikan hujan.
Di sini, kusemai taman dengan bunga-bunga musim panas,
tapi akarnya tak pernah sampai ke tanah tempatmu berpijar.
Lautan antara kita bukan sekadar air dan garam—
ia adalah ribuan detik yang mengambang,
pesan dalam botol yang tersangkut karang.
Kadang kudengar suaramu di gemuruh ombak,
tapi itu hanya echo dari mercusuar yang mati.
Kuberjalan di jalan yang kau lewati kemarin,
menghirup udara yang mungkin masih menyimpan jejakmu.
Bayang-bayang kita pernah bersentuh di aspal panas,
sekarang ia jadi puisi tanpa rima yang kubaca sendiri.
Layar ponsel ini seperti jendela ke duniamu:
kutonton kau tertawa, kutonton kau berlari,
tapi jari ini tak bisa menyentuh cahaya yang memantul.
“Baik-baik di sana,” tulisku di kolom komentar,
disamarkan jadi emoticon senyum datar.
Jarak mungkin hanya ilusi waktu yang malas—
kau di sana, aku di sini, tapi langit kita satu.
Jika nanti bertemu, biar semua angka ini jadi debu,
dan jantung yang menunggu ini kubungkus jadi bulan.