Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
KolomOpini

Dari Neraca Negara ke Neraka Warga

×

Dari Neraca Negara ke Neraka Warga

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh : T.H. Hari Sucahyo, Penggagas Lingkar Studi Adiluhung dan Kelompok Studi Pusaka AgroPol

Gelombang kemarahan rakyat kembali mengguncang tanah air. Kali ini, Pati, sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang selama ini dikenal relatif tenang, menjadi panggung gejolak sosial. Api kemarahan warga tersulut setelah Bupati Sudewo memutuskan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen. Angka yang membuat banyak warga terperangah, bahkan tak sedikit yang menganggapnya sebagai tamparan keras di tengah kondisi ekonomi yang sudah sulit. 

Example 300x600

Kebijakan ini bukan muncul dari ruang hampa. Di baliknya, ada dinamika fiskal nasional yang melibatkan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Pemangkasan anggaran yang ditetapkan pemerintah pusat menjadi awal dari rangkaian domino yang akhirnya menghantam masyarakat di tingkat akar rumput.

PBB-P2 yang semula dianggap beban tahunan yang masih bisa ditoleransi, kini menjadi monster yang mengancam kestabilan rumah tangga. Di Pati, yang mayoritas warganya hidup dari sektor pertanian, kenaikan pajak sebesar itu berarti harus merogoh kantong jauh lebih dalam. Bagi petani yang setiap hari berjibaku dengan ketidakpastian cuaca, harga pupuk yang kian melambung, dan harga jual hasil panen yang fluktuatif, tambahan beban pajak menjadi pukulan telak. 

Banyak dari mereka yang bahkan mempertanyakan logika di balik kebijakan ini. Bagaimana mungkin di saat daya beli merosot, pajak justru melonjak. Pemerintah daerah berdalih bahwa langkah ini tak terelakkan. Selama ini, Kabupaten Pati mengandalkan dana transfer ke daerah (TKD) dari pemerintah pusat untuk membiayai berbagai program dan layanan publik. 

Kebijakan pemangkasan anggaran dari pusat menggerus jumlah TKD secara signifikan. Stres fiskal tak terhindarkan. Bupati Sudewo, di hadapan publik, menyampaikan bahwa daerah tak punya banyak pilihan selain mencari sumber pendapatan alternatif. Salah satunya adalah dengan menggenjot penerimaan dari pajak daerah. Sayangnya, kebijakan yang lahir dari logika fiskal ini berbenturan keras dengan logika sosial di lapangan.

Di pusat, Presiden Prabowo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani memandang pemangkasan anggaran sebagai langkah disiplin fiskal yang perlu diambil demi menjaga stabilitas makroekonomi. Defisit anggaran yang melebar, utang yang harus dikelola, dan kebutuhan untuk mengarahkan dana ke sektor prioritas menjadi alasan yang dikemukakan. Namun, realitasnya, langkah ini seperti memindahkan beban dari neraca ke pundak rakyat. Apa yang secara teknokratis dipandang sebagai rasional, di lapangan justru memicu keresahan yang berpotensi berkembang menjadi instabilitas sosial.

Kerusuhan yang terjadi beberapa hari terakhir di Pati adalah alarm keras. Ratusan warga turun ke jalan, menggelar aksi protes di depan kantor bupati. Spanduk dan poster berisi kecaman menghiasi jalanan. “Pajak Naik, Rakyat Menjerit” atau “Jangan Jadikan Kami Sapi Perah” menjadi teriakan yang menggema. Beberapa aksi berlangsung ricuh ketika massa yang frustrasi mencoba menerobos barikade aparat. Bentrokan pun tak terhindarkan, memunculkan luka fisik dan emosional di tengah masyarakat yang sebelumnya damai.

Fenomena ini bukan hanya soal Pati. Ia adalah gambaran mikro dari persoalan makro yang dihadapi banyak daerah di Indonesia. Pemangkasan TKD oleh pemerintah pusat memaksa kepala daerah mencari cara menutup celah anggaran. Pilihan paling cepat, meski sering kali paling menyakitkan adalah menaikkan pajak daerah atau retribusi. Di daerah dengan basis ekonomi lemah, kebijakan ini bagaikan api di ladang kering. Sedikit percikan saja cukup untuk membakar luas. Pati hanyalah titik awal, dan jika pola ini berulang di daerah lain, gejolak serupa bisa menjadi tren nasional.

Kebijakan fiskal yang diambil di Jakarta sering kali tidak mempertimbangkan sepenuhnya heterogenitas kondisi daerah. Pemangkasan anggaran mungkin terasa logis di tabel-tabel spreadsheet Kementerian Keuangan, namun dampaknya di lapangan bisa berlipat ganda. Terlebih, komunikasi kebijakan yang kurang memadai membuat publik tidak memahami alasan di balik keputusan tersebut. Akibatnya, narasi yang terbentuk di masyarakat adalah: pemerintah pusat memotong dana, pemerintah daerah balas menekan rakyat. Dalam atmosfer ketidakpercayaan yang sudah tinggi, narasi ini mudah membakar emosi publik.

Bagi warga Pati, masalah ini juga terkait rasa keadilan. Mereka mempertanyakan ke mana perginya hasil pajak yang selama ini dibayar. Jalan-jalan desa masih rusak, irigasi pertanian banyak yang mangkrak, fasilitas kesehatan di tingkat kecamatan minim tenaga medis dan obat. Dalam situasi seperti ini, kenaikan pajak dianggap bukan hanya memberatkan, tetapi juga tidak masuk akal. Logika sederhana mereka: mengapa harus membayar lebih untuk layanan publik yang tidak kunjung membaik? Kekecewaan ini, jika dibiarkan, bisa menjelma menjadi apatisme politik atau bahkan perlawanan yang lebih keras.

Dampak sosial-ekonomi dari kebijakan ini bisa panjang. Di sektor pertanian, beban pajak tambahan dapat membuat petani mengurangi luas lahan garapan atau bahkan menjual tanah mereka. Hal ini berpotensi memicu pergeseran kepemilikan lahan dari petani kecil ke pihak yang lebih mampu, memperdalam ketimpangan. Di sektor UMKM, kenaikan pajak dapat memotong modal usaha, menurunkan daya saing, dan pada akhirnya memicu penutupan usaha. Semua ini berkontribusi pada menurunnya pendapatan daerah itu sendiri—ironisnya, justru berlawanan dengan tujuan awal menaikkan pajak.

Persoalan ini mengingatkan kita pada konsep “fiscal stress contagion” di mana tekanan fiskal di satu level pemerintahan menular ke level lainnya, lalu bermuara pada rakyat. Pemerintah pusat mengurangi transfer, pemerintah daerah menaikkan pajak atau mengurangi layanan, dan rakyat menjadi pihak terakhir yang menanggung beban. Jika rantai ini tidak diputus, maka ketahanan sosial bisa runtuh. Kerusuhan di Pati adalah bukti bahwa titik jenuhnya bisa datang lebih cepat dari yang dibayangkan.

Presiden Prabowo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani kini berada di persimpangan sulit. Di satu sisi, mereka harus menjaga disiplin fiskal dan mengelola anggaran negara dengan hati-hati. Di sisi lain, mereka harus menyadari bahwa setiap kebijakan fiskal memiliki implikasi politik dan sosial yang nyata. 

Mengabaikan sisi sosial berarti membuka pintu bagi instabilitas yang justru dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi yang ingin dijaga. Dalam konteks Pati, solusi jangka pendek mungkin bisa berupa intervensi sementara, misalnya memberikan bantuan fiskal darurat atau mengalokasikan kembali sebagian dana pusat untuk meredakan gejolak. Namun, jangka panjangnya, diperlukan reformasi hubungan fiskal pusat-daerah yang lebih adil dan adaptif.

Pati hari ini adalah cermin bagi daerah-daerah lain. Ia mengingatkan bahwa kebijakan fiskal bukan hanya soal angka, tapi soal manusia. Kenaikan PBB-P2 sebesar 250 persen bukan sekadar persoalan persentase; ia adalah soal berapa banyak anak yang mungkin kehilangan biaya sekolah, berapa banyak keluarga yang harus menjual aset, dan berapa banyak orang tua yang menatap masa depan dengan cemas. Ketika rakyat merasa bahwa pemerintah, baik pusat maupun daerah tidak berpihak, rasa memiliki terhadap negara bisa terkikis. Dan itu adalah risiko yang jauh lebih mahal dari defisit anggaran.

Di tengah amarah yang membara, ada harapan bahwa peristiwa ini menjadi pelajaran. Pelajaran bahwa komunikasi kebijakan harus diperbaiki, koordinasi pusat-daerah harus diperkuat, dan keberpihakan pada rakyat kecil tidak boleh hanya menjadi slogan politik. Sebab, sejarah sudah berkali-kali menunjukkan, rakyat yang terpojok akan selalu mencari cara untuk bersuara dan suara itu bisa datang dalam bentuk yang damai atau dalam bentuk yang memecahkan kaca-kaca kantor pemerintahan.

Kerusuhan di Pati adalah babak terbaru dari drama panjang hubungan fiskal antara pusat dan daerah di Indonesia. Jika babak ini diakhiri dengan dialog, empati, dan kebijakan yang berpihak, mungkin akan lahir babak baru yang lebih konstruktif. Jika diakhiri dengan represi dan pengabaian, maka babak-babak selanjutnya hanya akan berisi kisah yang sama, tentang rakyat yang marah, pemerintah yang defensif, dan negara yang kehilangan kepercayaan warganya. Dalam setiap pilihan yang diambil hari ini, tersimpan masa depan keutuhan sosial bangsa. Pati, dengan segala luka barunya, telah mengirimkan pesan yang seharusnya tidak diabaikan.

________

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *