Oleh: Afa Nafis Zuharo, Anggota Divisi Public Relation HMPS KPI UIN Salatiga 2025
Selamat Aksi Kamisan yang ke-883. Tepat saat tulisan ini dirangkai, dengan tidak adanya keadilan di negeri yang katanya negara hukum.
INDONESIA
Pejuang keadilan HAM, korban, keluarga korban, teman, atau sekadar manusia yang masih memiliki hati nurani, mereka berdiri setiap hari Kamis, bertumpu pada kaki pemberian Yang Maha Kuasa. Tidak ada senjata. Pistol? Bom? Parang? Tidak ada. Mereka hanya membentagkan payung hitam dan membawa karya mereka sendiri: sebuah karya seni dengan tinta atau cat yang mencoret di atas kertas bertuliskan “ADILI PELANGGAR HAM.”
Sejak tahun ke tahun, dari perpindahan rezim ke rezim, mereka berdiri di seberang Istana Negara, menantikan keadilan. Di bawah bayang-bayang payung hitam, mereka memanggul luka jejak pelanggaran HAM yang darah dan dagingnya telah menyuburkan tanah negeri ini. Tragedi demi tragedi menyusun duka mendalam: para aktivis yang hilang tanpa jejak, entah ke mana, seperti keadilan yang tak kunjung ditemukan di negeri ini.
Tembakan peluru seakan menembak bullseye target yang seolah tak meleset, menembus dada pada Tragedi Trisakti. Racun sunyi perlahan merenggut hidup Munir, yang menyisakan tanya. Jeritan korban dan rintihan kesakitan dalam kerusuhan tahun 1998. Hingga genosida tahun 1965-1966 datang menyapu, meninggalkan bekas luka yang dalam di sejarah negara, tetapi tidak pernah ada tinta yang menggores dalam lembar pelajaran anak penerus bangsa, luka yang hingga saat ini belum dapat dijahit oleh keadilan.
Akankah penjaga negeri ini mengingat Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 71-72 tentang Hak Asasi Manusia? Undang-undang yang menuturkan bahwa pemerintah wajib menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM. Tuturan itu bukan sekadar himbauan, melainkan kewajiban yang harus dilakukan. Namun, hingga detik ini lantunan itu hanya menjadi rangkaian kata-kata yang memperkaya isi buku pedoman negara, namun tidak berdaya.
Negara yang seharusnya menjadi rumah untuk rakyatnya, justru kerap alpa, atau bahkan menjadi tangan yang ikut serta menggoreskan luka. Lembaran-lembaran konstitusi menua tanpa makna. Ia dibaca, dikutip, dipelajari oleh penerus bangsa, namun tak kunjung dipeluk oleh keadilan. Hukum tampak seperi nyanyian yang nyaring di telinga penguasa, tetapi bagaikan nyanyian sumbang oleh rakyat biasa. Janji-janji raja pun hanya sekadar nyanyian dalam kontestasi pemilu, menguburkan diri yang hanya menyisakan kepedihan.
Di sudut negeri ini, rakyat tetap setia menanti meski dalam sunyi, menanti negara kembali pada nuraninya, mengingat rasa sakitnya, dan membagunkan kembali adilnya. Tidak membiarkan masa silam yang terus mengganga dan diturunkan diam-diam pada penerus bangsa. Keadilan bukan sekadar goresan kata dalam lembaran hukum, melainkan roh yang turut hadir dalam persatuan negara ini. Sejatinya negeri ini belum sepenuhnya merdeka, jika isak tangis kepedihan masih terdengar dan belum mendapatkan pembenar. Kebenaran harus ditegakkan, kesalahan dan catatan kelam harus diselesaikan. Kita suarakan kebenaran lewat tulisan, kita bisikan keadilan lewat lukisan, hidupkan empati lewat AKSI KAMISAN.


















