Oleh: Afif Mutahar Fuadi, Mahasiswa KPI UIN Salatiga 2024-2025
Money politics atau politik uang merupakan sebuah praktik pemberian uang, barang, atau fasilitas lainya yang digunakan untuk mempengaruhi pemilih dalam pemilu, politik uang ini digunakan untuk membeli suara atau dukungan dalam proses pemilihan. Money Politics bukanlah sebuah fenomena baru di Indonesia. Dalam setiap pemilu, banyak calon legislatif atau kepala daerah yang rela mengeluarkan dana yang tak banyak hanya untuk membeli suara pemilih.
Di Indonesia sendiri politik uang ini disebut “Serangan Fajar”, praktik Serangan Fajar ini seakan akan sudah menjadi budaya di setiap pemilu yang ada di Indonesia, Uang dibagikan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi kepada masyarakat, dengan harapan suara mereka dapat dibeli. Hal inilah yang menjadi bentuk korupsi paling awal yang dapat merusak integritas demokrasi. Ia mengubah proses pemilihan calon dari yang seharusnya berdasarkan visi, misi, dan kapabilitas calon yang malah menjadi ajang jual beli suara.Sayangnya diberbagai tempat, khususnya Indonesia politik uang ini justru dianggap hal yang biasa. Beberapa dari pemilih bahkan merasa mereka berhak untuk menerima uang tersebut dari para calon, seolah-olah itu sudah menjadi bagian dari budaya saat pemilu. Banyak yang tidak menyadari bahwa praktik ini merupakan suatu bentuk manipulasi suara yang dapat membahayakan masa depan bersama.
Money Politics begitu mudah dilakukan saat pemilu, karena salah satunya yaitu rendahnya literasi pemilih, banyak pemilih yang tidak memahami tentang pentingnya suara mereka dalam menentukan arah masa depan bangsa. Masyarakat belum terbiasa menilai calon berdasarkan progam kerja, rekam jejak, visi dan misi, serta integritas calon. Sebagian masyarakat menganggap yang penting adalah perilah uang saja, tanpa berpikir panjang perihal akibatnya dikemudian hari.
Literasi tentang politik tidak hanya perihal bagaimana cara mencoblos saja, akan tetapi juga memahami sistem politik, hak dan kewajiban sebagai warga negara, serta kemampuan bagaimana kita dapat berpikir secara kritis terhadap para calon. Minimnya pemahaman tentang hak dan tanggung jawab pemilih dapat membuat sesorang lebih mudah terhadap praktik politik uang, yang tentunya hal ini dapat berdampak negatif pada kualitas demokrasi.
Banyak masyarakat yang masih belum benar-benar memahami tentang hak pilihnya, atau pentingnya memilih calon berdasarkan visi misi, progam, dan rekam jejak calon. Akibat dari hal ini adalah pilihan politik sering didasarkan pada apa yang diberikan hari ini yaitu uang dan janji-janji, bukan apa yang akan dikerjakan esok hari. Pemilih dengan literasi rendah cenderung akan melihat pemilu sebagai momen transaksional, bukan keputusan strategis untuk masa depan beberapa tahun ke depan.
Rendahnya literasi pemilih di Indonesia merupakan sebuah fakta yang sulit dibantah, berdasarkan hasil survei UNESCO, tingkat literasi umum masyarakat Indonesia masih rendah. Bahkan, dalam laporan Most Literate Nations In the World (2016) oleh Central Connecticut State Universitu, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei. Literasi yang rendah ini tidak hanya berkaitan tentang kemampuan membaca saja, akan tetapi juga kemampuan untuk berpikir secara kritis dan memahami informasi politik. Hal ini tentunya mencerminkan rendahnya pemahaman terhadap prinsip demokrasi.
Ketika suara dapat dibeli, maka politik akan kehilangan esensinya sebagai sarana memperjuangkan kepentingan rakyat. Akibatnya politik uang yang tumbuh di tengah masyarakat yang berliterasi rendah, pemilu tidak lagi menghasilkan wakil rakyat yang ideal. Calon yang jujur dan kompenten akan kalah oleh mereka yang memiliki modal yang besar untuk mencalon. Yang terpilih adalah mereka yang mampu membeli suara, bukan mereka yang benar-benar mempunyai kapasitas atau integritas, Akibatnya setelah terpilih, mereka cenderung mencari cara untuk mengembalikan biaya politik yang besar, termasuk dengan cara-cara yang melanggar hukum, hal inilah yang memperkuat siklus korupsi dan memperburuk kualitas pelayanan publik.
Pada akhirnya, masyarakat sendirilah yang akan menanggung akibatnya, seperti pelayanan publik yang buruk, pembangunan yang tidak merata, dan siklus korupsi yang terus terjadi secara berulang-ulang. Ketika money politics dan rendahnya literasi pemilih ini sudah menjadi hal yang wajar, maka yang dirugikan bukan hanya sistem demokrasi, tetapi juga rakyat itu sendiri. Dengan hal tersebut kita bisa saja memilih pemimpin yang salah, tidak kompeten, atau bahkan bermaslaah hukum.
Pemilu seharusnya menjadi ajang adu gagasan antar calon, bukan malah menjadi adu uang siapa yang paling banyak memberi. Pemilih harusnya memilih dengan akal sehat, bukan karena isi amplop. Namun, semua ini hanya bisa dapat tercapai jika literasi masyarakat meningkat dan praktik politik uang dapat ditekan dengan penegakan hukum yang kuat.
Upaya untuk mengatasi money politics dan rendahnya literasi ini harus menjadi agenda prioritas dan membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak seperti pemerintah, lembaga pendidikan, media, tokoh agama, hingga masyarakat sipil. Pemerintah harus menjadi pelopor penting dalam menciptakan regulasi yang berpihak pada integritas pemilu.
Pendidikan politik harus dijadikan sebagai kurikulum wajib yang aplikatif, yang harus dimulai dari tingkat sekolah dasar hingga universitas, agar kesadaran politik dapat terbentuk sejak dini dan tidak hanya menjelang saat pemilu saja. Lembaga pendidikan juga memegang peranan penting dalam membentuk karakter generasi pemilih yang kritis dan idealis. Kegiatan seperti diskusi, forum demokrasi di sekolah atau dikampus dapat menjadi ruang pembelajaran politik yang nyata perihal bagaimana demokrasi yang sehat. Media juga memiliki tanggung jawab yang besar.
Di era serba digital ini, media tidak hanya berperan sebagai penyebar berita saja, akan tetapi juga sebagai agen literasi publik. Media harus berani mengedukasi, mengungkapkan praktik Money Politics, dan menghadirkan narasi politik yang bukan hanya sekedar sensasi atau serangan personal antar calon saja. Selain itu tokoh agama dan tokoh masyarakat juga tidak boleh tinggal diam saja. Mereka merupakan sosok yang harus dihormati dan dipercaya.
Pesan-pesan moral untuk menolak praktik jual beli suara harus digunakan secara konsisten, apalagi ketika menjelang pemilu di mana godaan uang kerap sekali datang. Yang tidak kalah penting tentunya adalah aparat penegak hukum. Tanpa sebuah sanksi yang tegas, money politics akan terus dianggap sebagai “hal yang biasa”. Seperti halnya Bawaslu, KPU, hingga kepolisian dan kejaksaan, harus berani menindak tegas siapapun yang melanggar aturan pemilu tanpa pandang bulu.
Selama masyarakat masih dengan sukarela untuk menjual suara mereka hanya demi uang yang sesaat dan tak seberapa, selama itu pula demokrasi kita akan terus pincang. Pemilu bukan hanya sekedar rutinitas lima tahunan, tetapi juga merupakan sebuah momen yang sakral dalam menentukan arah bangsa, setiap suara didalamnya adalah sebuah amanah, bukan komoditas.
Kita membutuhkan demokrasi yang dapat dibangun di atas integritas, kesadara, dan kejujuran, bukan hanya pada transaksionalitas dan kebohongan semata. Oleh karena itu, mari kita jaga hak pilih kita untuk menjaga masa depan bangsa kita sediri. Karena pada akhirnya, demokrasi yang sehat hanya akan tumbuh dari pemilih yang cerdas dan pemimpin yang berintegritas.


















