Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
CerpenSastra

Diam atau Bicara?

×

Diam atau Bicara?

Sebarkan artikel ini
Img 20241218 Wa0002
Example 468x60

Oleh: Rizqina Kamalia Aini, Mahasiswa KPI UIN Salatiga

Malam itu hujan turun dengan lebat. Terlihat seorang anak perempuan yang tengah duduk memandangi pintu rumah yang sedikit terbuka dari ruang tengah ia adalah Alea. Angin dingin menerobos masuk ke dalam tubuhnya, namun ia tidak peduli. Ayah dan ibunya sedang bertengkar di kamar sebelah, suara mereka terdengar jelas meski berusaha ditahan.

Example 300x600

“Kenapa kamu selalu diam seperti ini mas?” Suara ibu terdengar pecah.

“Aku udah gak tau harus gimana lagi, apa yang ada di otak kamu sekarang pun aku gak tau. Aku udah kaya hidup sendiri di rumah ini!”.

Suara pertanyaan ibu yang baru saja dilontarkan membuat hati Alea tercabik-cabik. Rasanya sakit sekali mendengar perkataan ibunya yang begitu memilukan.

“Apa gunanya aku bicara kalau akhirnya akan memperburuk suasana?” balas ayah dengan suara datar namun menusuk.

Rasa sesak menghantam dadanya, rasanya sakit sekali mendengar orang tua nya bertengkar seperti itu. Ia mengepalkan tangannya, sudah biasa baginya mendengar pertengkaran ini. namun tetap saja ini terasa sangat menyesakkan bagi Alea. Ayahnya selalu memilih untuk diam, sementara ibunya terus menuntut penjelasan.

Keheningan Ayah seperti tembok yang memisahkan mereka tinggi menjulang tanpa celah untuk diruntuhkan, tembok itu berdiri tanpa suara tapi keberadaanya begitu nyata membuat setiap upaya ibu untuk mendekat hanya berakhir dengan rasa lelah. Sementara kemarahan ibu seperti gelombang yang menghantam tanpa henti. Tidak pernah tetap, tapi selalu ada, menghantam tembok itu dengan intensitas yang berubah-ubah. Terkadang lembut, seolah hanya mengetuk untuk meminta jawaban. Tapi seringkali, gelombang itu mengamuk, memukul-mukul dengan suara keras, mencoba meruntuhkan keheningan Ayah yang dingin.

Alea ingin berteriak, ingin mengatakan sesuatu untuk menghentikan mereka. Namun ia tak mampu melakukan semua itu, pada akhirnya ia hanya diam di sudut ruangan tanpa tau apa yang harus ia lakukan.

Beberapa hari setelahnya suasana rumah semakin dingin. Ayah dan ibu bahkan hampir tidak saling berbicara satu sama lain. Seperti orang asing yang tinggal di bawah atap yang sama. Alea merasa hampa, ia sangat merindukan suasana hangat dirumahnya. Alea rindu saat sang ayah menggoda ibunya atau ketika mereka tertawa bersama diruang keluarga.

“Alea kenapa kamu juga ikut diam seperti ini?” tanya sang ibu suatu malam, setelah ayahnya pergi keluar tanpa berpamitan dengan ibunya bahkan Alea.

Alea bingung, “Apa yang harus aku katakan, Bu?”

“Katakan sesuatu! Apa saja! Jangan seperti Ayahmu yang selalu diam. Kamu tau Alea diam hanya membuat luka semakin dalam!” Mata ibu berkaca-kaca.

“Ibu hanya ingin tau bahwa kamu peduli…”

Alea merasa ada gumpalan besar di tenggorokannya, ia ingin mengatakan bahwa ia peduli, bahwa ia selalu mendengar, selalu memperhatikan. Tapi kata-kata itu tidak pernah keluar. Alea terlalu takut untuk berbicara, takut kalau apa yang ia utarakan akan memperburuk keadaan. Hari-hari telah berlalu dan keretakan dirumahnya semakin lebar. Suatu pagi saat Alea bangun dari tidurnya, ia menemukan sebuah surat di meja makan. Surat dari sang ayah, isinya sangat singkat.

“Maafkan aku, tapi mungkin kepergianku lebih baik untuk kita semua.”

Alea tidak tau apa yang ia rasakan saat itu, rasanya benar-benar kacau. Dadanya terasa sesak namun tidak ada air mata yang keluar dari mata nya. Alea hanya berdiri disana, memandangi surat itu dengan bergetar. Ibu yang baru saja masuk ke dapur pun ikut membeku melihat surat perpisahan yang tergeletak di meja makan itu.

“Dia pergi?” suara ibu nyaris tak bisa di dengar.

Alea hanya mengangguk. Hatinya terasa kosong tapi juga penuh, penuh dengan semua kata yang seharusnya ia katakan. Seharusnya Alea memohon pada ayahnya untuk tidak pergi. Seharusnya Alea memeluk ibunya lebih erat saat sang ibu menangis malam-malam. Seharusnya Alea bisa menjadi penengah untuk ayah dan ibunya. Seharusnya ia berbicara.

Tapi kini semuanya terlambat. Ayah sudah pergi meninggalkan rumah yang sunyi. Malam itu Alea duduk termenung di kamarnya. Ia memandang keluar jendela, mencoba mencari jawaban. Apakah diam benar-benar lebih baik? Atau apakah bicara meskipun menyakitkan adalah satu-satunya cara untuk menjaga kebersamaan?

Dalam keheningan Alea menangis. Untuk pertama kalinya ia merasa betapa beratnya beban kata-kata yang tak pernah terucap.***

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen

Tangannya kesemutan diikat dibelakang, kakinya tertekuk dengan darah…