Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Esai

Pengaruh Beban Kerja, Konflik Peran, dan Kepuasan Kerja terhadap Kesejahteraan Guru Sekolah Dasar

×

Pengaruh Beban Kerja, Konflik Peran, dan Kepuasan Kerja terhadap Kesejahteraan Guru Sekolah Dasar

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Ibnu Zidan Alfarisi, Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah

Guru Sekolah Dasar (SD) memegang peran fundamental dalam membentuk karakter, kecerdasan, serta masa depan generasi bangsa. Pada jenjang inilah fondasi moral, kognitif, dan sosial siswa dibangun. Namun, di balik ekspektasi besar terhadap kualitas pendidikan dasar, para guru justru sering menghadapi tantangan berat berupa beban kerja tinggi, tuntutan administratif yang kompleks, serta konflik peran dalam kehidupan pribadi maupun profesional.

Example 300x600

Berbagai faktor tersebut tidak hanya memengaruhi performa kerja, tetapi juga berdampak pada kesejahteraan fisik, mental, dan emosional guru. Beban kerja berlebih dan konflik peran memberikan pengaruh negatif terhadap kinerja, sedangkan kepuasan kerja memberikan pengaruh positif. Konflik peran juga dapat memunculkan tekanan psikologis dan ketidakpuasan kerja.

Tantangan Beban Kerja Guru: Antara Dedikasi dan Tekanan

Salah satu persoalan utama yang dihadapi guru SD saat ini adalah beban kerja yang tidak seimbang. Guru dituntut mengajar, membimbing siswa, serta menyiapkan rencana pembelajaran yang bermutu. Namun, pekerjaan mereka tidak berhenti di sana. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa lebih dari 40% waktu kerja guru justru terserap untuk tugas non-pengajaran, seperti pengisian administrasi, laporan penilaian, program sekolah, dan berbagai aktivitas birokratis lainnya.

Guru menghadapi tekanan signifikan akibat beban kerja berlebihan yang dapat mengikis dedikasi dan memicu kelelahan (burnout). Beban administratif yang besar serta tugas di luar kegiatan mengajar, seperti penyusunan RPP, pelaporan, dan manajemen data, sering kali memakan waktu berjam-jam dan menjadi keluhan utama guru. Perubahan kurikulum yang cepat dan tuntutan penggunaan teknologi baru juga menambah tekanan, karena memerlukan proses adaptasi dan pelatihan berkelanjutan. Di sisi lain, kesejahteraan yang belum optimal serta ketidakseimbangan antara dedikasi tinggi dan gaji yang belum memadai turut menjadi penyebab tekanan dan menurunnya motivasi kerja.

Situasi ini semakin terlihat dalam laporan nasional. Survei Teacher Working Condition Survey Kemendikbudristek tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari separuh guru SD mengalami kelelahan emosional akibat penumpukan tugas administratif. World Bank (2020) juga mencatat bahwa guru Indonesia menghabiskan lebih sedikit waktu untuk mengajar dibanding guru di negara ASEAN lain akibat banyaknya agenda birokrasi. Hal ini menunjukkan bahwa beban kerja guru tidak hanya terkait jam mengajar, tetapi juga penugasan tambahan yang tidak selalu berkaitan langsung dengan pembelajaran.

Beban ganda pada guru perempuan semakin memperumit kondisi. Riset Pusat Studi Gender dan Anak tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 67% guru perempuan menghadapi tekanan psikologis akibat konflik peran antara tanggung jawab domestik dan profesional, yang berdampak pada penurunan kepuasan kerja dan meningkatnya risiko kelelahan kronis. Pergantian kurikulum yang berlangsung cepat—misalnya dari Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka—sering kali diterapkan tanpa masa transisi yang memadai, sehingga guru harus beradaptasi sambil tetap memenuhi tuntutan pekerjaan sehari-hari.

Keterbatasan fasilitas turut memperberat beban guru. Laporan Ombudsman tahun 2023 menunjukkan bahwa banyak sekolah dasar belum mendapatkan buku dan modul pembelajaran tepat waktu pada awal implementasi Kurikulum Merdeka, sehingga guru harus menyusun bahan ajar secara mandiri.

Sebuah studi pada guru SD, SMP, dan SMA di Kecamatan Peulimbang, Kabupaten Bireuen, menunjukkan bahwa beban kerja dan konflik peran, serta iklim organisasi, berpengaruh terhadap kepuasan kerja guru. Beban kerja memberikan pengaruh negatif signifikan sebesar 27,61%, sementara konflik berpengaruh negatif sebesar 28,37%. Secara keseluruhan, variabel-variabel tersebut memberikan kontribusi 67,1% terhadap kepuasan kerja guru.

Perbandingan dengan kondisi di negara lain menunjukkan perbedaan signifikan dalam manajemen beban kerja guru. Di Finlandia, guru mendapat ruang kerja profesional yang mandiri dengan beban administratif minimal. Administrasi sekolah lebih banyak ditangani tenaga kependidikan khusus sehingga guru dapat fokus pada kegiatan pembelajaran. Setiap perubahan kurikulum selalu disertai masa transisi 3–5 tahun serta pelatihan berkelanjutan. Sementara di Kanada, keseimbangan kerja–hidup guru menjadi prioritas. Guru perempuan yang memiliki anak diberikan pengaturan waktu fleksibel dan akses layanan kesehatan mental. Saat kurikulum berubah, pemerintah menyediakan paket pendukung pembelajaran lengkap agar guru tidak perlu menyusun materi dari awal.

Studi Kasus dan Inspirasi Nasional

Guru SD di Indonesia dihadapkan pada tuntutan administratif yang semakin kompleks. Data Kemendikbudristek 2023 mencatat bahwa lebih dari 40% waktu kerja guru digunakan untuk tugas non-pembelajaran, seperti pengisian platform digital, laporan program sekolah, hingga pelaporan penilaian siswa. Kondisi ini memengaruhi keseimbangan kerja–hidup, meningkatkan risiko burnout, serta mempersempit ruang kreativitas dalam mengajar. Temuan World Bank 2020 juga menunjukkan bahwa interaksi langsung antara guru dan siswa lebih sedikit dibandingkan negara Vietnam dan Thailand karena tekanan administratif.

Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2022) menyebutkan bahwa 67% guru perempuan mengalami konflik peran kerja–keluarga, yang berdampak pada penurunan kesejahteraan psikologis dan kepuasan kerja. Beberapa contoh di SD negeri di Jawa Barat dan Jawa Tengah menunjukkan bahwa guru perempuan kesulitan menyeimbangkan agenda mengajar, kegiatan ekstrakurikuler, dan pengasuhan anak, terutama saat ada pelatihan atau perubahan kebijakan mendadak.

Di Kabupaten Kulon Progo dan Sleman, sejumlah sekolah dasar menerapkan sistem “administrasi kolaboratif,” di mana tugas pelaporan dibagi antara guru kelas, guru mata pelajaran, dan tenaga administrasi sekolah. Sistem ini terbukti mengurangi beban administratif hingga 30% dan meningkatkan fokus guru terhadap pembelajaran. Di Jawa Barat, beberapa sekolah juga menerapkan kebijakan fleksibilitas bagi guru perempuan yang memiliki anak balita, seperti penyesuaian jadwal mengajar atau kesempatan menyelesaikan perangkat ajar dari rumah. Kebijakan ini memberikan dampak positif pada kesejahteraan emosional guru dan menurunkan tingkat stres.

Program Guru Penggerak menjadi salah satu contoh intervensi yang efektif. Program ini memberikan pelatihan berkelanjutan, pendampingan, dan ruang refleksi yang mendorong guru untuk berkembang secara profesional. Guru yang mengikuti program ini melaporkan peningkatan kepuasan kerja karena merasa lebih dihargai dan memperoleh arah pengembangan karier yang lebih jelas.

Solusi dan Rekomendasi

Jika Indonesia terus menambah beban kerja guru tanpa memperkuat sistem pendukungnya, maka reformasi pendidikan tidak akan mencapai hasil yang optimal. Data menunjukkan bahwa guru lebih banyak tersita pada aspek administratif dibandingkan pada kegiatan pedagogis yang seharusnya menjadi inti profesi. Peran ganda guru perempuan, pergantian kurikulum yang cepat, dan kurangnya fasilitas pendukung menciptakan lingkaran tekanan yang memengaruhi kesejahteraan guru.

Belajar dari praktik negara maju, Indonesia perlu menerapkan pendekatan yang lebih manusiawi dalam menata ulang struktur kerja guru, memberikan ruang profesional yang lebih luas, memperkuat dukungan administrasi, dan memastikan setiap kebijakan baru memiliki masa transisi yang jelas dan terencana.

Banyak guru honorer, khususnya di tingkat sekolah dasar, masih menerima gaji di bawah standar minimum. Hal ini memengaruhi motivasi dan semangat kerja mereka. Pemerintah pusat dan daerah perlu mempercepat pemerataan insentif, memastikan pembayaran tepat waktu, serta memperluas akses terhadap program pengembangan profesional yang bebas biaya. Ketika guru merasa dihargai secara ekonomi, loyalitas dan kepuasan kerja mereka cenderung meningkat, yang pada gilirannya berdampak pada kesehatan mental dan kualitas pengajaran.

Dukungan lingkungan kerja juga memegang peranan penting. Kepala sekolah dapat mendorong budaya kolaboratif melalui kelompok kerja guru, berbagi praktik baik, sesi refleksi, dan pengembangan profesional berbasis komunitas. Kolaborasi antarguru dapat mengurangi beban psikologis individual dan menciptakan rasa kebersamaan.

Selain itu, penyediaan layanan kesehatan mental bagi guru perlu menjadi prioritas. Pemerintah dan sekolah dapat menghadirkan psikolog pendidikan secara berkala, menyediakan jalur konseling, serta mengadakan kegiatan pendukung kesehatan emosional seperti pelatihan mindfulness, manajemen stres, atau aktivitas komunitas. Sekolah yang memperhatikan kesehatan mental guru akan menghasilkan pendidik yang lebih stabil secara emosional dan lebih siap menghadapi dinamika pekerjaan.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *